Selasa, 30 Juli 2019

Manusia Dunia Ketiga

Berita terlawas. Seorang bocah kelas XII, beberapa tahun yang lalu—namanya juga lawas—ditemukan terbujur pening setelah nekat membaca MADILOG (Tan Malaka, 1946). Melalui berbagai sumber yang dirangkum, keputusannya tersebut dilatarbelakangi oleh rekomendasi buku oleh blog Zenius.net. Di momen pertama persinggungan bocah tersebut dengan platform pendidikan itu, mendadak intelektualitasnya bertambah beberapa angka… dalam akar (). He-he—HE-HE.


(Intelektualitas perlu diasah, kawanku, tak dapat sekonyong-konyong, dan bocah itu adalah aku sendiri—tentu saja)

“Bahwa kebiasaan menghafal itu tidak menambah kecerdasan, malah menjadikan saya bodoh, mekanis, seperti mesin.” (Madilog)

Masih di pendahuluan, aku sudah terkekeh. Bapak Malaka yang terhormat, apakah maksud anda selama sekolah ini, saya—aku mengganti kata subjek, untuk menegaskan rasa hormat—hanya berbodoh-bodoh ria? Atau bahkan, level saya mungkin di bawah bodoh, karena saya sama sekali tidak menghafal—dengan kata lain, tidak belajar sama sekali.

Saat SMA, mana kutahu kalau saingan-sainganku adalah orang-orang yang menghabiskan puluhan juta rupiah untuk sebuah bimbingan belajar. Dan lagi, mereka adalah siswa-siswi di sekolah unggulan dengan sistem belajar paling efektif dan efisien di negara berkembang ini. Menurut hematku yang kadang boros ini, takkan terkejar pelajar-pelajar unggulan itu kalau dibanding denganku yang kualitasnya di bawah mereka.

Pernah suatu waktu aku pusing tak terkira. Nilai matematika sama sekali tak tertolong; tak lebih dari jumlah provinsi di Indonesia. Matematika menjadi begitu menyeramkan setelah huruf-huruf itu ikut mengambil peran dalam perhitungan angka-angka yang sebetulnya telah runyam. Kelas XI kala itu, dan kuliah adalah makhluk asing, sebuah pengejawantahan yang di luar logikaku.

Sikap pesimis adalah aura jahat yang masuk ke pori-pori kulit hingga menyebar seolah nila setitik yang merusak keseluruhan tubuh. Aku menjadi manusia yang pesimis akan pendidikan. Orang boleh saja bilang kalau bodoh itu tidak ada, tetapi hanya malas. Maka boleh saja orang itu belum bertemu seseorang yang perpaduan malas dan bodohnya begitu paripurna sepertiku. Namun, khalayak perlu tahu, kalau sikap pesimis—pada beberapa kesempatan—adalah sebilah belati yang lebih berbahaya ketimbang bodoh dan malas.

Pesimis membuatku tak ke mana-mana. Pesimis menjadi gerbang alasan yang makin membuat individu sepertiku malas dan bodoh. Pesimis adalah sebuah sikap pertahanan diri yang terlalu malas untuk berusaha, dan berubah menjadi ketidaktahuan. Maka sesungguhnya, ketidaktahuan adalah bentuk halus dari bodoh.

Orang pesimis sepertiku, layaknya pejalan kaki di kegelapan malam. Begitu ada setitik cahaya, maka harus segera dikejar dan ditangkap. Titik kerlip cahaya yang mampu membuatku berkompromi dengan rasa pesimisku dalam perkara pendidikan itu adalah: Zenius.

Persinggungan dengan Zenius

Aku dahulu anak IPA. Masuk jurusan itu karena circle keseharian sejak kelas X masuk di jurusan itu. Jadilah kami semua anak badung tanggung. Maksudnya adalah, ingin bersikap rebel tetapi masih melibatkan value sebagai pelajar. Kekonyolan inilah yang membuat kami berdebat panjang untuk memutuskan akan bolos upacara bendera 17 agustus atau tidak. Membolos pelajaran untuk nongrong di kantin saja harus melalui drama voting. Bersikap moderat memang menyulitkan terkadang. Kalau diingat-ingat, dahulu memang sedikit konyol. Belajar tidak, nakal juga tidak, tak tahu arah.

Saat kelas XII—sebagaimana mestinya seorang pelajar—barulah aku sadar akan lulus dan kekonyolan beberapa tahun ini membuatku tak tahu materi apa pun walau seujung kuku. Ingin ikut bimbingan belajar tetapi tak ada uang—klise? Memang iya, karena permasalahan di dunia ini kalau ingin dirunut, adalah sekumpulan klise yang terus berputar pada porosnya.

Di momen pertama aku tahu Zenius. Aku melambung bahagia tak terperi. Bagaimana mungkin semua materi pelajaran begitu lengkap di website ini—sekarang ada aplikasinya, curang! Dan... begitu aku tahu kalau aku perlu membayar untuk mengakses semua videonya, aku justru senang! Karena aku selalu bertindak dengan pola pikir pasar. Kalau dia berbayar, tentu ada kualitas yang berusaha dijualyaelah mahal juge kagakKalau saat itu gratis, mungkin aku justru kecewa karena aku paham betul modal itu menggerakkan inovasi—meski tak selalu.

Ada satu kenekatan yang menjalar di sekujur badanku begitu tahu ada website yang begitu lengkap materi pelajarannya. Yaitu kalau ditanya guru di kelas, tentang rencanaku selepas lulus, dengan konyolnya aku menjawab: Universitas Indonesia. Duh... sekelas tertawa mendengarnya, karena memang itu lelucon yang cukup menghibur. Ini sebenarnya tak dapat kusalahkan, karena di sekolahku, Universitas Indonesia adalah pengejawantahan yang begitu jauh. Pun tak pernah ada alumni yang berkuliah di sana. Universitas itu menjadi begitu fantasi untukku.

Aku menyesal karena terlalu blak-blakan terhadap tujuan kuliah. Karena teman-teman sekelas benar-benar menyaksikan perubahan yang aku alami. Dahulu setiap pelajaran matematika aku hanya terduduk diam serupa menyaksikan khotbah jumat. Namun, begitu kontrasnya orang sepertiku nekat maju ke depan kelas untuk mencoba menjawab soal. Kalau sudah begini, teman-teman sekelas akan bersuara, dengan kata-kata yang sekarang amat aku rindukan:
"Ehh, ada anak UI tuhh," Aku benar-benar mendengar sindiran itu dengan nyata, "Universitas Insyaallah yaa maksudnya...," ditambah dengan efek suara cekikikan. Aku malu, kalau ingin jujur. Anak daerah ini memang terlalu naif kadang. Di lingkungan kos—iya, aku mulai kos saat SMA, jadi perantau ulung—bahkan hal ini telah menyebar! Yaampun, seseorang sepertiku terlibat dalam perhitungan matematika runyam, hanyalah dongeng atau fantasi—dahulu, kupikir perlu untuk menaklukkan monster terbesarku, yaitu matematika, dan seiring berjalannya fase belajar, ternyata hal itu tidak tepat. Kok? Kenapa tidak tepat? Nanti akan kujelaskan di akhir artikel.

Aku melalui sebuah perjudian besar dengan Zenius sebagai kartu AS-nya. Perjalanan menuju SBMPTN kulalui bersama Zenius—tanpa bimbel konvensional, tanpa tryout akbar-akbar yang biasa membayar itu; hanya aku, Zenius, wifi numpang, dan soal-soal belajar dari Zenius yang sengaja ku-print tanpa warna, tentulah perekonomian belum memadai untukku sekadar melihat logo ‘Zenius’ yang dikelilingi warna kuning—kalau print tanpa warna, jadinya warna hitam, tetapi lebih murah. Hal ini sepele, tetapi dahulu sedikit menyinggung semangatku.

Tetapi, diam-diam, ada motivasi minor yang selalu aku pikul kalau-kalau sedang down. Yaitu kecepatan download file—dengan internet download manager tentunya, he-he—dengan Wifi UI yang saat itu tak habis kupikir dapat mencapai dua-digit-Mbps, angka ini terlalu muluk karena internet di sekolahku terseok-seok di angka 500 Kbps. Sebuah motivasi 'kan?

Perjalanan menjadi manusia dunia ketiga

Ini sebetulnya hanya istilah konyol yang kuciptakan sepanjang perjalanan. Mungkin, anak-anak kota dengan sistem belajar dan fasilitas terpadu itu tak ubahnya adalah negara adidaya yang akan melihat diriku sebagai negara berkembang karena ketimpangan pada setiap aspek pendidikan. Namun, Arai memang benar, karena tanpa mimpi, manusia dunia ketiga sepertiku akan mati.

Mendapat pendidikan yang layak merupakan hak semua orang. Namun, tak banyak yang tahu kalau pendidikan berada pada level yang sama dengan makan dan minum—dalam skala prioritas. Di Zenius, intelegensiku tertantang karena sekumpulan anak muda di video hitam-putih itu memberiku paradigma di luar teritori pelajaran, hal ini menyangkut dengan bagaimana pelajaran-pelajaran itu dimaknai secara filosofis. Cerdiknya adalah, Zenius telah berhasil memberikan 'nyawa' pada setiap pembelajaran, sehingga tiap-tiap yang kusaksikan seumpama pertunjukan ilmu pengetahuan yang 'hidup', bukan hanya sekadar ilmu-ilmu pasti/tak pasti tanpa adanya makna.

Rasional dan berseni. Mungkin itu kira-kira bagaimana Zenius membentukku secara individu. Ada beberapa hal yang secara lahiriah telah terpaku sakral dalam tubuhku yang tak dapat diubah. Namun, pola pikir yang terarah dan sikap terhadap diri dapat saja dilatih. Inflasi kecerdasan mungkin saja tercipta di negara dunia ketiga ini jika semua orang merasakan harumnya ilmu pengetahuan seperti yang aku rasakan.

Madilog adalah perkenalan awalku terhadap berbagai karya sastra yang umat manusia pernah ciptakan. Jangan tanyakan padaku apa itu sastra, cukuplah menikmatinya saja—aku pun tak tahu sejujurnya. Madilog juga merupakan gerbang awal betapa aku sadar sekolah itu seharusnya menyenangkan, karena belajar adalah penghargaan tertinggi bagi seorang individu. Jim Carrey boleh bilang kalau uang dan ketenaran bukan segalanya, tetapi pendidikan adalah jawaban untuk manusia dunia ketiga sepertiku.


“Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.” (Madilog)

Sudah gila. Untuk orang seperti Malaka, buku adalah kebutuhan primer. Bukan kebutuhan primer biasa, sebuah kebutuhan utama yang prioritasnya mampu menyalip sandang dan pangan! Di dunia ini, memang terdapat orang-orang dengan pola pikir tak biasa yang kalau tidak open-minded sedikit saja, akan dengan mudah dianggap asing dan absurd.

Melalui Zenius, aku perlahan sadar kalau belajar bukan sedangkal mengetahui persamaan akar kuadrat bla-bla-bla. Namun, sebuah proses pendewasaan seumur hidup. Karena aku mengerti betul kalau otak ini tak pernah berhenti bekerja, maka akan sangat bijaksana untuk tahu cara menggunakannya. Dan Zenius, bahkan mengantarkanku untuk sampai ke tahap mengkritisi argumen-argumen dari tutor-tutor di Zenius sendiri. Salah satu hal yang dapat aku kritisi sekarang adalah, kenapa domain Zenius itu '.Net'?! Kenapa tidak '.com' atau '.co.id' sebagaimana umumnya?!—maaf kalau tidak lutju haha.

Perjalanan menjadi akademisi dan kontemplasi

Aku sedang antre jakun—jaket kuning. Makara jingga. Sesuai dengan yang kuupayakan. Maka makin bertambah tanggung jawab. Satu almamater dengan orang-orang hebat, atau anak dari orang-orang hebat, atau anak-anak hebat. Memang sulit. Adaptasi perlu dilakukan. Tetapi hidup memang perkara pindah dan adaptasi.

Bertahun di perkuliahan. Lalu tak sengaja, aku menyaksikan betapa megahnya sebuah bangunan sekolah di Ibu Kota. Aku gigit jari kalau terkenang Sekolah Dasar-ku terdahulu yang saling sikut dengan rumah penduduk. Aku menjadi ingat perutku yang ngilu akibat dicubit guru karena perkalian empat tak dapat kuhafalkan di kelas empat—kelas empat, teman-teman!
Hal tersebut yang membuatku cukup tertarik dengan isu pendidikan dasar.

Pendidikan memang bukan segalanya, tetapi akan sangat sayang kalau hidup tanpa tahu manisnya ilmu pengetahuan. Semakin aku sadar, kalau hidup bukan sekadar punya uang atau tidak, tetapi bagaimana value kita sebagai manusia. Dan value tertinggi versiku sebagai manusia adalah, tentang seberapa jauh aku dapat memberikan manfaat untuk selain aku.

Aku belajar. Bahwa manusia dapat memilih bagaimana ia bermanfaat, dan aku memilih satu hal yang mengubah hidupku: pendidikan. Maka, dengan didorong oleh masa lalu tentang pendidikan yang sangat berjasa dalam hidupku, salah satu kehidupan di kampus kuisi dengan keterlibatan di Gerakan Universitas Indonesia Mengajar (GUIM) yang sekarang telah sampai di tahun kesembilan. Aku tak dapat berbuat banyak, hanya tenaga dan sedikit donasi yang dapat kusisihkan untuk pendidikan di pelosok negeri.

(Kalau kawan-kawan juga ingin berdonasi untuk adik-adik kita di daerah pelosok, dengan penuh rasa syukur saya haturkan terima kasih yang tak hingga. Donasi dapat dilakukan di sini: https://www.kitabisa.com/asauntukpesisirbarat)

“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali." (Madilog)

Hal ini beberapa kali menyentuhku. Bahwa sebagai akademisi, tak ada ruang untuk bersikap superior terhadap orang lain. Karena pendidikan, seharusnya melunakkan, bukan membuat bebal. Karena menerima hak pendidikan tinggi adalah hutang yang harus dibayar, maka tiap-tiap individu sebenarnya dituntut bagaimana caranya mengambil peran—dalam rangka melunasi hutang.

Manakala dini hari ketika setumpuk tugas kuliah sedang menunggu untuk diselesaikan. Aku menyaksikan garis-garis pesimis yang dahulu menjalar dalam tubuhku dalam berupa-rupa wujudnya menjadi pudar. Bapak Coelho memang benar, ketakutan kadang lebih menyeramkan ketika di benak, ketimbang kenyataan di pelupuk mata. Maka sikap pesimis memang perlahan-lahan perlu untuk dijinakkan, supaya menjadi mekanisme pertahanan diri yang dapat dikuasai, bukannya menguasai. Aku belajar bahwa pesimis juga diperlukan sebagai media mawas diri. Aku semakin belajar bahwa serangkaian elemen penyusun diri ini menciptakan sebuah kesesuaian semesta individu.

"Namun, ada sebuah titik dalam kehidupan, ketika sudah mantap untuk meninggalkan sikap pesimis, lalu mengejar dan menangkap titik kerlip cahaya  asa itu, maka harus sampai akhir diperjuangkan." (Bijak adalah hak segala warga negara)
Melalui ini, ada beberapa hal yang ingin aku rangkum selama tahun-tahun mengesankan bersama Zenius, karena belajar bukan perihal substansi saja, tetapi bagaimana kita bersikap terhadap otak:
  • Mengapa keputusan mempelajari monster terbesarku—matematika—di SBMPTN adalah sebuah kesalahan? Karena ini SBMPTN, kawan. Aku menghabiskan waktu satu bulan penuh hanya untuk mempelajari matematika dan tak banyak yang kudapat, karena dalam setiap pertarungan, yang harus kita latih adalah senjata yang paling dikuasai, bukan yang terlemah.
  • Menurut hematku yang sudah kubilang kadang boros, sebelum mengkritik sesuatu, seseorang perlu mengkritik diri sendiri. Mengapa begitu? Entahlah, aku rasa orang yang mengkritik dirinya sendiri kadang dapat berlaku bijak. Aku juga akan menyampaikan kritik sesopan mungkin kalau mengetahui diriku masih penuh celah.
  • Membangun sikap skeptis terhadap berbagai tetek-bengek di negeri ini—juga semesta. Artinya adalah, kalau ada berita, jangan langsung heboh. Berita-berita penuh kebohongan terus berselancar merdeka karena tangan-tangan kesemutan yang tak dapat dikontrol—dan juga mulut. Santai saja, kematian yang terus mendekat setiap hari saja, masih kita chill. Skeptis bukan menyepelekan, tetapi mempertanyakan.
  • Di mana ada keinginan, selalu ada jalan, dan kalau tidak ada jalan, banyak jalan menuju Roma. Maksudnya adalah... entahlah, kurasa akan keren saja ketika diucapkan, tolong dimaknai masing-masing kalian saja ya. Hanya, jangan lupa credit-nya. he—HE.

Epilog

Hey Zenius, kamu tahu tidak. Di sela-sela perkuliahan, kalau sedang gabut, sesekali aku menengok kamu. Bagaimana tahun-tahun penuh kesan itu kuhabiskan. Tentang kopi, malam, dan sepuluh jam belajar per hari yang kuhabiskan. Mungkin volume otakku akan sama sajadengan asumsi bahwa semakin besar maka semakin pintar orang itu. Tetapi satu hal yang kupegang erat-erat seperti balon yang ada lima: kebijaksanaan bersikap.

-Ditutup dengan: Alone again (Naturally)_Gilbert O'Sullivan-

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda