Kamis, 15 Agustus 2019

Alegori Sarangan

Kabut tipis berbenah ingin berkenalan dengan Bapak Bakso. Kata Bapak Bakso, apakah kalian ingin membeli nama saya: bakso? Hujan menjebak Bapak Bakso dan kami menjelajah halaman rumah Pak Bayan untuk bergegas membeli nama beliau—bakso.


Hobi kami berkelakar. Salah satunya perihal WC bersatu dengan alam. Salah duanya berwudhu dengan badai. Dan salah tiganya perihal guyonan kartu kuning babeh. Salah empatnya adalah kemahapamungkasan receh: far away... far away...

Dini hari menuju tiga. Mempertanggungjawabkan boneka-boneka itu adalah alasan kamu terjaga. Sejenak saja sadarnya aku, kalau karpet ruang tamu adalah benda primer penyekat dingin. Iya, kamu juga dingin.

Wanita jauh juga bilang, kalau kamu itu dingin, "cukup untuk membuat minyak goreng menjadi zat padat," katanya sungguh-sungguh. Aku iya-iya saja. Ini misteri. Rubik saja dibuatnya minder. Namun, hidup memang perihal misteri-misteri layak dipecahkan tetapi tak layak manusia pecahkan. Jadi, anggap saja misteri yang dingin.

Aku adalah penyintas. Apakah kamu seorang penyintas? Aku adalah seorang penyintas waktu. Apakah kamu juga? Kamu bikin aku bingung, sih. Atau aku yang membuat kamu bingung. Kenapa kebingungan ini terus berputar pada porosnya.

Kamu ada banyak. Di lapangan sekolah yang bertautan dengan bukit-bukit—kurasa itu gunung? entahlah—itu, ada kamu. Kamu juga kadang melakukan kegiatan assessment di induk semang terdekat. Tubuh-tubuh kamu, ada banyak. Mungkin memang benar kalau kamu maha dingin, soalnya, bersatu.

Latut berwajah senyum. Bibirnya tersenyum. Hidungnya tersenyum. Pipinya tersenyum. Matanya tersenyum. Alisnya tersenyum. Semoga masa depannya—dan bocah-bocah lainnya—ikut tersenyum.

Di kontinum berbeda, kesatria berboots kuning menghentak Bumi Sarangan.
(Tulis sendiri kisahmu tentangnya.)

Dualisme penyelenggara dan yang dipersembahkan. Kurasa lebih menghentak. Adakah perlu harga untuk dihargai. Namun, kamu terlanjur beku. Dingin, dingin, beku. Jadinya keras. Mengeras. Dihargai secara keras. Aku dan penyelenggara semakin berputar pada porosnya.

Dipersembahkan untuk kamu, maaf kalau kamu tidak merasa dipersembahkan. Kalau saja, rasa maaf itu dapat membuat minyak goreng itu kembali menghadap kodratnya.

Orang-orang bertemu. Orang-orang berbuat salah. Orang-orang lalu tidak saling memahami. Orang-orang berbeda dengan manusia-manusia. Namun, adakah bedanya. Banyak meracau. Banyak menjadi manusia. Banyak menjadi orang.

Karena aku perhatian, aku jadi kamu, dingin. Kamu yang mengajari aku. Kamu 'kan banyak. Maka sekumpulan gunung es, masih ada dasar-dasar lain.

Kamu itu aku. Dipersembahkan untuk kamu, dan menyelenggarakan dirimu. Aku itu kamu.
Kisah itu berdurasi 25 hari, bukan selamanya, jadi memang pudar semakin pudar semakin pudar dan anggap saja bagian dari fragmen-fragmen kehidupan yang selesai.

Senang pernah mengenal kalian, kataku, satu-satunya kalimat non-alegori di sini. Dan mungkin akan berlanjut. Aku jadi kangen bianglala. Aku jadi ingin menjadi bocah lagi, supaya dapat berbuat salah sebanyak-banyaknya. Rasa bersalah seorang merah. Namun, sudah kedaluwarsa akut, sih. Maaf.


-Ditutup dengan: I'm Glad I'm Me_Hap Palmer-

Label: