Minggu, 30 Januari 2022

Ada Banyak Sekali, tetapi Tidak Satu pun

Sejak usia empat belas, aku sudah meninggalkan rumah. Beliau pernah bilang, "Pergilah, anak bujang! Tak jemukah kau, menumpang bermain Harvest Moon dan berulang kali menikahi Karen?!"

Semenjak itu, rumah bagiku adalah seperangkat sandang dan koper.

Di suatu malam, tetangga indekosku muntah-muntah pecel lele, akibat terlalu bersemangat mengisap lem aibon.

Di suatu sore yang lesu, aku diberikan sebuah matoa manis. Manis, selain untuk buah-buahan, dapat pula wajah seseorang.

Kawanku pernah bilang, "Petugas sekolah yang tempo hari bersepeda, telah gantung diri. Arwahnya gentayangan tiap malam sambil berkata, 'Naikkan upahku! Naikkah upahku?'"

Kalau sedang menangis, tampunglah air matamu sehingga bunga hyacinth dapat tumbuh dan mekar. Ini hanya dapat dilakukan kalau telaten dan menangis terbahak-bahak.

Di Selat Sunda, di atas kapal feri tempat biduan-biduan berdansa koplo, aku bertemu seorang bapak tua dengan air muka sedu berkata, "Ada banyak sekali penumpang di kapal ini, tetapi tidak satu pun yang kukenal."

Label:

Jumat, 31 Desember 2021

Seyogianya Sekar (2)

 "Perempuan itu hanya mengenakan bawahan sepanjang beberapa senti dari vaginanya!" hampir-hampir Sekar tersedak oleh perkataannya sendiri.

Selayaknya Sekar, hujan tak ada, angin tak hadir, tetapi disuguhkan kepadaku sebaris omongan yang membikin satu ruangan meletakkan perhatiannya kepada kami berdua.

"Wow, wow, tenang. Jangan menggunakan topi sombrero di sini!" balasku. Tidakkah Sekar sadar kalau beruang laut akan hadir melalui tatapan para pengunjung kafe.

"Aku tidak membawa klarinet!" dilemparkan kembali ucapanku.

Apa yang dialami Sekar, menurut google translate, adalah gegar budaya. Istilah ini tentu tidak sopan, karena berdasarkan sinema elektronik, gegar otak adalah istilah paling frekuen digunakan dalam membumbui cerita. Aku curiga kalau Sekar mendalami dua gegar sekaligus.

"Nyaliku berbanding lurus dengan bawahan yang kupakai, semakin pendek, bakal semakin rendah," kata Sekar.

"Berbanding lurus?" tanyaku.

"Iya!"

"Nyalimu pendek atau rendah?"

"Boleh keduanya."

"Tekanan darah pendek?"

"Hmm..."

"Bawahan tinggi atau panjang?"

"Panjang!"

"Anak pandai!"

Seyogianya Sekar, seorang karyawati dengan lutut yang tak pernah mendahului bawahan. Lain waktu bakal kuceritakan perihal Sekar, perempuan yang cita-citanya adalah menanak kebahagiaan. 

(Bersambung kalau Sekar berkenan)

Label: ,

Kamis, 15 Oktober 2020

23: Dari Stephen King Menuju Makoto Shinkai, Beserta Gerbong-gerbong Kecil di antaranya

Aku tak pernah tahu mengapa dahulu lebih memilih menjadi manusia ketimbang gunung. Aku bisa saja mati besok, setahun kemudian, atau bahkan empat puluh tahun lagi. Yang jelas, aku tak ingin usiaku mencapai 108 tahun, seperti Tuan Edgecomb. Hidup yang terlampau lama memang kutukan. Sesuatu yang berlebihan tak pernah baik, termasuk usia. Namun, apakah iman yang terlampau berlebihan juga begitu? Kalau ditanyakan padaku, entahlah. Aku hanyalah boneka nasib yang tali-talinya dikendalikan oleh Yang Maha Esa.

Seorang kawan pernah bilang kepadaku, “Lo tahu kan, Tih, kalau orang yang tugas dalam hidupnya telah khatam, jatah hidupnya sudah berlalu?”

Lantas, pikiranku mengembara, teringat bahwa Nabi SAW pernah bilang bahwasanya tugas beliau di dunia hanyalah menyempurnakan akhlak. Bukan mengislamkan yang non islam. Kurasa, sifat Nabi yang terlampau sempurna itu hampir sama dengan poin-poin pancasila. Kita ini tak mungkin benar-benar mengikuti karena itu terlampau sempurna. Manusia tidak sempurna, tetapi kaidah kehidupan tertuang dengan sempurna. Namun, rujukan dari segala rujukan, mau tidak mau haruslah sempurna.

Bill Burr (atau Louis C.K.? Aku lupa!) pernah bilang, “Usia kematian kita akan lebih panjang ketimbang usia kehidupan kita. Dan jumlah orang yang telah mati lebih banyak ketimbang yang sekarang masih hidup.”

Bekerja untuk dunia seolah hidup selamanya, beramal untuk akhirat seperti akan mati besok. Kebingungan macam apa ini. Kalau aku bekerja dalam rangka beramal, maka jadilah aku ini Ultron. Kebingungan oleh visi misi penciptanya.

Seorang yang selama hidupnya baik, meninggal dalam keadaan buruk, sementara seorang yang selama hidupnya buruk, meninggal dalam keadaan baik. Dunia tak lebih dari hamparan lapangan luas beserta ranjau di hampir setiap pijakannya. Sangat berhati-hati membikin konservatif, tetapi tidak progresif di hadapan lapangan.

Berbicaralah perihal kematian, kepadanya yang merasa hidup. Berbicaralah perihal kehidupan, kepadaku yang merasa mati.

Aku ingin menjadi terang, seperti langit-langit Tokyo selepas raibnya Hina. Anak cuaca itu seharusnya tetap bermukim di awan, tetapi Hodaka mengorbankan langit terang demi bertemu perempuan itu. Lantas, langit-langitku kembali hujan, tetapi tak apa demi mereka berdua.

Kalau langit terang tak berpihak kepadaku, mengapa tak kuciptakan duniaku sendiri dengan sudut pandangku di setiap sisi. Toh aku tak sejahat Ted Bundy, tak akan pernah.

Bersepeda berdua di sekeliling parit-parit air bening. Lantas dari belakang, aku dibisikkan olehnya, “Dunia jahat tapi kita tak boleh.” Mari kumpulkan orang-orang baik untuk menyokong kita. Marilah berperang hanya dengan pikiran buruk kita. Lalu, sosok di belakangku pamit karena dia ingin aku menemukannya. Entah dengan turunnya komet di desa atau cuaca buruk di Tokyo, atau bahkan tak sengaja ngupil di ruang tunggu dan jumpa kita pertama dengan sesuatu sekonyol itu.

Aku balas bisikannya yang dari arah belakang sepeda, “Baiklah, kita akan mati, kita harus mati, tetapi hanya kalau kita telah merasakan hidup.”

Hyacinth ungu belum saatnya mekar

Label:

Kamis, 10 September 2020

Ikal (2)

Bukan hanya masa kecil, pun masa remaja dapat terpental jauh keindahan nostalgianya, sewaktu memikirkan kembali setelah dewasa. Untuk waktu yang lama, aku terus mencari Arai. Dan ternyata, mendapatkan kawan sedahsyat itu, lebih mustahil dari dongeng sekalipun. Di antara kawanku yang miskin, mayoritas letupan semangat dalam jiwanya telah direnggut realita. Untuk dapat mengembalikan api itu, diperlukan suatu keadaan khusus: diremehkan, atau bahkan dendam menahun.

Untuk bergerak, menyamakan tempo bersama orang-orang kaya, diperlukan suatu kebencian yang meledak-ledak terhadap situasi termutakhir: miskin menahun. Kalau sudah di pucuk, kuyakin jiwa menjadi abu dan gosong oleh api-api itu. Oleh karena itu, telah lama untukku meninggalkan motivasi berbasis kebencian.

Sebenarnya, aku mempunyai seorang Arai, dengan versi yang bertolak belakang. Dia mengajariku bahwa 'usaha tidak akan mengkhianati hasil' adalah sebuah kekonyolan. Melalui pelbagai sepak terjang yang kulalui, memang seyogianya aku hanya perlu pusing untuk memikirkan proses, ketimbang hasilnya.

Namun, untuk mengingat-ingat kembali, memang terdapat orang miskin yang betah terhadap keadaannya: Makin miskin dirinya, makin pahitlah kopinya itu. Bahkan ketika di dalamnya sengaja disisipi gula (tanpa perlu menambah bayaran) oleh pemilik kedai kopi, lelaki itu justru tak terima karena memang kepahitan adalah dirinya.

Untuk Ikal & Arai, beserta rekaan yang berkelindan di antara mereka berdua. Aku pamit diri.

Label: ,

Sabtu, 05 September 2020

Ikal (1)

Semakin bertambah usia, entah mengapa konotasi 'romantisme' semakin menggiringku untuk cenderung berpikiran sinis. Dahulu kala, kisah Ikal dan Arai adalah romantisme perjuangan yang asyik dan memberi harapan. Aku pertaruhkan banyak hal demi jaket kuning, hanya berbekal menamatkan Sang Pemimpi berkali-kali.

Namun, di buku-buku selanjutnya (kecuali Maryamah Karpov, karena aku kadung mengantuk ketika membacanya), ketika kutelusuri kisah selanjutnya dari petualangan di Sorbonne itu, kini begini pikirku: Mengapa Ikal berakhir mengenaskan di warung kopi? Ingatkah adegan di mana ibunda menerawang ijazahnya itu dan mempertanyakan kemampuan anaknya?

Sekembalinya mereka dari mengelilingi dunia itu, dari perjalanan epik penuh perjuangan bersama Arai. Pada akhirnya, Ikal harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya tetaplah lelaki kampung, udik, nan miskin. Sejauh apa pun pendidikan diemban, selokan awal tempat tumbuh kembang, diberikan internalisasi nila-nilai kehidupan, tetaplah di kampung dan miskin.

Kalau dahulu Pak Balia memberikan dorongan untuk menguasai industri, bukan saja pendidikan. Kalau saja Arai ikut campur untuk kian memanas-manasi Ikal, untuk membikin bisnis unggul tiada lawan. Karena sungguhlah terlampau aneh untukku, lulusan FEB UI itu berakhir menjadi pegawai mesin fotokopi, karyawan pos, dan beragam kerja serabutan. Namun, di antara dramatisasi itu, anggaplah begitu adanya, kemungkinan karena dia sendiri yang menginginkan itu: Mau sejauh apa pun sepak terjang, aku tetap lelaki melayu kampung udik yang menyukai komedi putar.

Label: ,

Jumat, 14 Agustus 2020

Melihat ke Belakang

Hebatnya digitalisasi adalah, bahkan kamu tidak perlu mengenal seseorang secara personal di kehidupan nyata, untuk mengetahui budaya populer macam apa yang dia sukai. Untuk waktu yang cukup lama, aku memang menyukai kegiatan berkunjung ke beberapa blog milik teman-teman kampusku yang sekiranya (tentu saja) memiliki blog—dan seringkali, tanpa sepengetahuan mereka.

Suatu hari, aku terlibat pada sebuah obrolan dengan seorang kawan. Dan kerap kali yang kurasakan, hanya dengan membaca tulisan-tulisan di blog pribadinya, aku secara tidak langsung menjadi penggemarnya. Aku menggemari tulisannya (atau mungkin orangnya juga?). Ini terjadi, karena sepanjang perbincangan, aku seolah sudah mengetahui isi kepalanya bahkan sebelum dia mengutarakannya sendiri.

Ketika tulisan ini dibuat, aku berada di tengah-tengah anime Black Clover yang cukup membikin jengkel—dan beloonnya, tetap kulanjutkan! Kejengkelan ini adalah serangkaian akumulasi yang terjadi di antara: animasi sekadarnya, karakter generik, plot tertebak, tetapi kok lagunya baguuusss jadi aku sukak. Semua ini terjadi, karena ada gap kualitas yang terlalu besar, diakibatkan aku yang sudah menonton Haikyuu!! sebelumnya. Rasanya, seperti menonton True Detective (yang musim kedua, tentu saja) setelah khatam Breaking Bad (bersama El Camino sekaligus, mungkin?).

Untuk waktu yang cukup lama juga, aku menjadi kurang mendokumentasikan kehidupanku melalui kata-kata di blog ini. Karena kalau ingin dirunut, blog ini sudah berada di dalam pikiranku sejak tahun 2012. Saat itu, seingatku semampunya, aku sedang berada di tengah-tengah salat magrib. Dan hatiku sungguh semringah karena sebentar lagi akan memiliki blog. Aku saat itu, dapat bahagia hanya dengan memiliki blog pribadi. Ini yang kubutuhkan sekarang: Bahagia hanya dengan hal-hal kecil. Perihal aku yang saat itu lebih memikirkan header blog apa yang ciamik, ketimbang ayat suci apa yang pendek untuk dibaca, tentu tak perlu dipersoalkan.

Memang benar, setiap bulan, aku tetap mengisi blog ini dengan beberapa (yang seringnya hanya satu) kiriman. Namun, tetap saja itu adalah sekumpulan prosa kasar nan ngawur. Rasanya, tulisan yang sifatnya personal, perlu kutulis dengan gaya bahasa apa adanya saja, seperti ini. Prosa sebarang yang kutulis itu, hanyalah sebuah upaya eksploratif terhadap bahasa milikku. Ada banyak kata-kata yang menarik untuk digunakan serta belum familier. Dan juga, aku menyukai bahasa Indonesia, karena hanya inilah satu-satunya identitas kebangsaan yang nampak. Suku? Agama? Ras? Rasa-rasanya, kalau kamu diberkahi kesempatan kuliah di pelosok dunia yang kamu adalah satu-satunya orang Indonesia di situ, tiga hal tersebut dapat kamu abaikan kalau tiba-tiba ada yang berkata ke arahmu: "Orang Indonesia yaa!? Anjirr kangen banget gueee ngomong bahasa Indonesiaaa!!!"

Jadi, akhir kata, meski tidak mengenal secara personal. Orang (kamu) yang membaca ini setidaknya mengetahui bagian-bagian kecil (budaya populer) dari pemilik blog (aku). Sesuai dengan yang kuutarakan di awal perihal kawanku itu.

Saat ini, 2020.
Sesegera mungkin, tahun ini akan masa lalu.
Dan rasanya, setelah melihat ke belakang, aku sepakat kalau mengeluh adalah indikator kecil dari tidak bersyukur. Karena 2012 lebih enteng untukku ketimbang 2020, dan mungkin 2028 (kalau ada usia) lebih berat untukku ketimbang 2020.

Label:

Selasa, 21 Juli 2020

Ejawantah Naif yang Kian Menyublim

Barangkali hidup adalah kesadaran palsu, dan kebenaran yang kalau muncul, justru membikin dunia persilatan global (beserta saham BBCA sekaligus!) akan goyah. Oh, lihatlah bagaimana sinema adalah sebenar-benarnya ungkapan kehidupan.

Lalu, bola-bola kamper adalah seyogianya kita. Kamper itu, adalah individu naif yang akan terkikis dan raib juga ditelan udara (semoga fisika/kimiaku benar, lihatlah bagaimana konyolnya aku perlu menyebutkan keduanya).

Kurasa, dunia perlu diisi orang-orang naif. Pada masanya, kawanan itu akan menyublim dan menyadari bahwasanya dunia merupakan guyonan sejenak menuju raibnya raga ditelan humus (semoga biologiku tidak sedang bergerilya, sebab, setidaknya aku telah sukses hanya dengan menyebut satu disiplin ilmu dengan yakin, semoga).

Pada akhirnya, untuk beberapa orang, hidup tidak akan baik-baik saja dan harapan merupakan belati pembunuh. Percayalah, untuk beberapa orang, mereka akan terlebih dahulu mati sebelum menyadari itu semua. Barangkali, itulah seyogianya yang terjadi. Dan kalaupun terjadi, kamper itu abadi, yang fana adalah kita (masih berduka).

Ya, naif tidak selalu bebal, malah amat berguna, karena sifatnya yang sementara (semua akan menyublim pada waktunya).

Malam ini, aku menyelesaikan satu cerpen, dan betapa naifnya aku. Namun, langkah dimulai sebelum segala ejawantah itu kian menyublim. Aku hanya takut, kalau kian sangsi terhadap kurator-kurator itu (seperti yang terjadi pada lelaki itu)—atau lelaki itu? Ataukah lelaki itu? Konyol bukan? Tetapi dari dua ratus juta lebih penduduk +62, kamu berkesempatan membaca ini—dan sampai habis?!

Bersyukurlah kamper itu masih berwujud, tetapi jangan lama-lama, karena ada kesempatan menjadi bebal.


Label:

Sabtu, 18 Juli 2020

Jadilah Terang

Ayolah, ini bukan perkara kami, tetapi sudah kita. Memang aku jengkel terhadap orang yang masih keliru menggunakan 'di' pada konteks apa pun. Namun, jauh daripada itu, marilah terangi kehidupan kita yang sudah semak belukar ini.

Aku tahu, sudah berkali-kali untuk kamu berpikir supaya kehidupan terhenti saja. Tolonglah, di keadaan temaram kelam, atau kemampuan netra yang nihil sekalipun, jadilah terang, merangsek deburan kesulitan hidup, untuk kita teguk manis-getirnya di masa nanti.

Kita akan mati, kita harus mati, tetapi hanya jika kehidupan menghendakinya.

Aku tidak ingin menyampaikan, bahwa ada tidaknya kamu di dunia, tidak dapat mengubah banyak hal selepas berpulangnya jiwamu. Sanak famili, meski kehilangan, hanyalah kamu ubah hidup mereka, perlahan menguasai duka menuju kenangan.

Marilah, kita hidup sekali lagi. Tontonlah berulang kali kehadiran Totoro. Karena jiwa anak-anak harus dirawat untuk menjaga kewarasan. Sophie pun demikian, dari surat-surat yang didapatkannya, dalam upaya menghindari diri tergelincir ke dalam rentetan bulu-bulu anjing, dan mengabaikan permukaannya yang amat lain. Ayolah, semusim dan semusim lagi, kita rajut kehidupan menuju masa nanti yang agak mendingan.

Label:

Minggu, 14 Juni 2020

Ingin Rasanya Menanak Kebahagiaan (1)

Manusia bukan tumbuhan yang dapat memasak makanannya sendiri. Kalaulah sekujur badannya hijau, tentu bahagia diguyur sinar matahari pagi. Selanjutnya, panel-panel manusia akan diciptakan. Berdiri atau pun duduk tentu dibebaskan. Maka dari itu, begadang menjadi amat dihindari. Anggaplah seperti itu, tidak perlu keterlibatan pasar untuk sekadar kebutuhan primer.

Atau memang itu keliru. Karena pasar, akan membatasi sinar-sinar yang masuk. Regulasi-regulasi akan dibuat sedemikian rupa supaya manusia dijatahi sinar matahari. Sarjana-sarjana akan dicetak supaya mendapatkan sinar menjadi lebih besar, peluang dan durasinya.

"Taruh itu, anakku, supaya pancarannya dapat dibendung," kata ayah kepadaku melalui telunjuknya.

Jarinya menunjuk sebuah tabung-tabung sinar. Telunjuk merupakan jari di tengah-tengah tangan. Itu adalah telunjuk. Karena sedari dulu, digunakan untuk menunjuk sesuatu. Kalau lupa namanya, maka jelaskanlah dengan, "jari di tengah-tengah."

Di ruang kelas, guruku selalu bertanya tentang siapa yang ingin bertanya. Maka telunjuk kami semua menantang langit-langit kelas. Seorang temanku, suatu ketika menantang langit-langit kelas dengan jari di samping telunjuk. Hal itu menyebabkan dia dibekuk oleh Guru Pembimbing. Kalau tidak lupa namanya, maka perlu disebut dengan, "ibu jari/jempol."

Jempol sangatlah menakutkan. Temanku dibimbing oleh guruku. Caranya membimbing adalah dengan membuat temanku tidak nyaman, menyerang jiwanya (karena kalau menyerang fisik, akan dibekuk pula orang serangan digital), jadinya itu absah dilakukan. Setelah itu, temanku dipreteli kehidupannya. Dinilai oleh guru berdasarkan kelakuannya yang tinggi hati itu. Begitulah cara guruku membimbing. Kalau dijelaskan melalui niatnya, guruku menjelaskan dengan, "ini nasihat supaya kamu menjadi pribadi yang lebih baik."

Setelah bimbingan itu, guru itu selalu berkisah tentang tabung-tabung sinar milik temanku yang akan kosong di masa depan.

"Kalau itu kosong, bagaimana caramu dapat makanan?" ucapnya menindik mental temanku.

Kalau terisi penuh, temanku dapat memiliki tabung-tabung lainnya dan dapat dipenuhi oleh sinar-sinar baru lagi. Dan kalau penuh lagi, dapat memiliki tabung-tabung baru lagi sampai penuh. Begitu seterusnya sampai terkumpul banyak, dan dapat ditukarkan dengan tempat tinggal, kendaraan, hingga piranti-piranti keras idaman setiap orang—apa pun itu, tentu kalau nilainya setimpal.

Namun, temanku amat kecil peluang mendapatkan itu karena kecil pula untuk jadi sarjana.

Label:

Senin, 01 Juni 2020

Semestaku yang Seukuran Gorong-Gorong

Kamu masih ingat, ombak-ombak januari yang kalau kita dongak sedikit, Ursa Mayor bermukim di pelataran langit pesisir itu? Masa lalu dapatlah indah kalau diejawantah oleh bintang. Setahuku, bintik-bintik itu kilaunya hanya masa lalu. Harusnya kamu masih ingat. Soalnya, kamu masih indah untuk ukuranku yang gorong-gorong ini. Sebelum kalimat-kalimat ini menjadi begitu seenaknya, kupertegas satu hal: untuk merawat kewarasan, hanya ini yang dapat kulakukan.

Mengenai penokohan, alur cerita, dan tetek bengek kepenulisan lainnya, biarlah kali ini saja diabaikan. Kamu berang-berang favoritku. Begitu saja kira-kira. Kalau berdiri sendiri menjadi murung sikap dan sekenanya bertindak. Kalau berdiri beriringan, kitalah semesta ini. Gigi-gigiku tak begitu kuat, maklumlah penghuni gorong-gorong. Untuk itulah, aku mengandalkanmu membangun bendungan itu untuk kita berdua.

Kamu berang-berang favoritku, asalkan jangan berang kepadaku.

Apa rasanya berendam malam hari bersama air hangat, begitulah rutinitasmu sebelum pulas? Semoga kamu menyukainya. Aku? Masih berusaha tidur dalam keadaan kenyang.

Aku seorang libero. Menjaga beruntun bola-bola yang melayang ke arah kita berdua. Itu pun kalau aku dan kamu telah menjadi kita. Jangan salah-salah lagi menggunakan kami atau kita. Kalau belum tahu bedanya, tanyakan saja apakah kamu ingin melibatkanku dalam membangun bendungan itu.

Memang, kilat akan selalu mendahului gemuruh. Itu hukum alam yang menghendaki kesehatan jantung manusia. Dapatkah kita menjadi hukum alam.

Hari ini, kugenggam erat kepalan tangan sampai bekas-bekas kuku meninggalkan jejak. Sesulit itukah untukku si lamban ini menjadi kilat. Gemuruh dari gorong-gorong memang mustahil menyergap kamu yang sudah memiliki satu peleton pendukung.

Salam dariku, yang sedang belajar menumbuhkan sayap..

Label:

Rabu, 22 April 2020

Seyogianya Sekar

Seyogianya Sekar. Ia menangis kalau tersakiti. Lapar jika lauk pauk lenyap. Gembira bilamana uang kuliah lancar. Tersenyum ketika hatinya senang. Rakus terhadap dialektika. Namun, seyogianya Sekar, massa tubuhnya itu layaknya fanatismeberlebihan dan sukar ideal.

Sekar, engkau mendamprat siapa saja perempuan yang tidak menarik secara fisik, dan berkelit kalau kecantikan mereka bersemayam di hati. Dengan senyuman miring, dihardik kepercayaan itu oleh engkau karena itu semakin membuat perempuan tak kasat mata terhadap kenyataan.

Sekar dipenuhi diksi-diksi puritan, "Kalau tak cantik, akui sajalah!" ucapnya.

Sebagai narator hati yang dikuasai Sekar, kujelaskan beberapa hal perihal perempuan tak berparas cantik ini—mohon maaf, sama sekali bukan ejekan, ini mengutip dari Sekar sendiri.

1
Sekar sama sekali tidak cantik, "Tidak cantik, bukanlah tentu aku jelek, di mana moderat-moderat itu?!" begitulah ucapnya sedari dulu. Kalau saja ada yang menyebutnya jelek, Sekar hanya akan menanggapi dengan, "Yah begitulah, tidak semua hal dapat diraih." Santai sekali perempuan itu. Sikapnya tidak masa bodo, tak acuh secukupnya, responsif sekadarnya, dan lebih dari pada itu, tabiatnya itu yang seperti di pantai.

2
Walaupun yogia, tetapi Sekar amat nihil tersakiti perihal hinaan fisik. Ia takkan berkoar perihal kecantikan yang dari dalam. Perempuan itu, tak pernah setuju kalau ada kecantikan dari dalam. Menurut otaknya itu, ada dimensi yang berbeda di antara baik hati dan cantik. "Cantik dari dalam? Kenapa gemar sekali menciptakan kekonyolan. Temanku yang gendut-gendut itu—sama seperti aku, janganlah cepat tersinggung! Orang gendut dan tersinggung adalah dua kombinasi paling menyusahkan—amat sulit gencatan senjata terhadap dirinya, terus saja menyangkal kenyataan!"

3
Menurut pengakuan Sekar, selama otaknya masih berfungsi dengan baik, ia takkan repot-repot dengan kodrat biologisnya. Namun, profil Sekar sangatlah membumi. Meski berbobot tak ideal, Sekar tak pernah merasa perlu menampilkan apa pun untuk khalayak—demi menutupi kekurangannya, yang secara harfiah adalah kelebihan. Jadi, meski tubuhnya tidak ideal, kepercayaan diri milik Sekarlah yang ideal—memang mustahil untuk ideal pada setiap aspek. Dan hal ini yang perlu dijangkau.

(Bersambung kalau Sekar berkenan)

Label:

Jumat, 27 Desember 2019

Aku adalah pengembara, dan pengembara tidak sepantasnya menambatkan diri pada sesuatu, senisbi apa pun

Nama yang tertambat padanya, menyirat makna terhadap harapan. Semua orang mengharapkan harapan. Oleh karenanya, namanya menjadi begitu umum karena semua berharap atas namanya. Namun, harapan membuatku tanpa harapan, hingga memilih untuk tidak berharap pada dia dan nama perempuan itu. Apalah arti nama, kata sekalian kamu. Tetapi sungguh mengertilah, mendengar namanya menjadi jargon-jargon kamu sekalian, membikin aku meriang kesurupan datar.
Pengembara. Untuk seorang pengembara, romansa adalah pantangan. Kamu sekalian boleh saja tidak setuju, aku tidak peduli. Aku peduli pada perempuan itu, kamu sekalian tidak peduli. Karena kamu sekalian hanyalah perasaan-perasaan artifisial yang semu tapi terasa. Kenapa perempuan itu tak melibatkanku? Tanyaku pada dini hari pukul tiga. Oalah, kamu yang berharap tak ketulungan, melebihi ambang teritori yang seharusnya.
Iya, iya. Aku juga paham kalau kamu juga ingin menjadi pengembara, suatu hari nanti. Aku cukup paham. Menyenangkan bersama pengembara-pengembara penuh harap seperti kamu. Moga bertemu di siang bolong di sudut Québec atau Edinburgh.
Baca selengkapnya »

Label:

Senin, 11 November 2019

Di antara serpihan-serpihan digital, hiruk pikuk pikiran mengganggu jam tidurku

Terdapat hal-hal yang semakin dikejar, malah menjauh. Di poros berbeda, hal-hal yang tak dikejar, justru mendekat. Dan tugasku sekarang adalah memisahkan mana yang harus kukejar dan mana yang harus mengejarku.

-Ditutup tanpa polusi suara-

Label:

Rabu, 23 Oktober 2019

Kiat-kiat Menjadi Diana

(Ditulis saat satu jam setelah pergantian hari versi masehi; ketika hari ini seharusnya sit in UTS tiga mata kuliah; buat aku hanya berkata: que sera sera; yang terjadi pasti terjadi; baktiku untuk Matkul Daykaka, Identitas sosyal, beserta Sosbudsosiologi budut) (1)
(Ditulis di sebuah zaman, ketika anjing menjadi kata benda dan kata sifat) (2)
(Ditulis karena kepikiran Diana~ Diana~ Kekasihku~ Bilang pada orang utanmu~) (3)

Teknik yang ada kukusannya, 23-10-2019
Magenta

Jadi, pertanyaannya, apakah benar cincin permata itu jeli? Ataukah hanya sekadar... Hmm... (biarkan dia berpikir) perasaan yang terkandung ketika perhatian terlalu berkelindan hingga tiap-tiap iris, kornea, pupil, dan lain sebagainya itu terfokus hingga memicing serius sampai-sampai kelopak mata seolah tersipit-sipit tetapi tidak terheran-heran karena abang belum ke sana untuk menyergap sayur kol yang ditanak dengan kekaguman paripurna di tiap-tiap tubuh dirinya yang secara kolektif termaktub di kedua bola mata sehingga menghasilkan cara memandang dengan dasar-dasar kekaguman: jeli.

Ohh... salah!

Karena, di gunung tinggi dirinya bertemu putri manis. Pertanyaannya adalah, benar atau salah ketika ditanyai padanya, apakah ini kali pertama ke gunung itu—harus spesifik gunung yang itu? Karena kalau benar, kamu sok asik manggil-manggil bapaknya paman: pantesan kamu dimarah dan dibenci! Bapaknya gasuka orang yang secara sosial memang mengandung buih-buih charming tetapi salah lokasi ataukah kamu memaksakan diri menjadi charming karena orang yang sedang berusaha dan berjuang cenderung berlebihan tetapi berlebihan itu boleh-boleh saja tergantung konteks di sektor mana kamu ingin berlebihan.

(Terinspirasi dari Hujan Bulan Juni versi novel yang mengandung kalimat alahmak panjang-panjang tanpa jeda koma atau titik jadinya kan aku capek ya bacanya :( tapi gimana namanya udah dipegang masak enggak dibaca kan mubazir bodo amat kbbi puebi ebi katsu natsume marvelous apapun itu publisher harves moon tetap saja baktonatur yang bagus karena mengandung chilhood)

Anda Kepo?! Tunjukkan akta kelahiran (Hmm... Hmm...)

Baiklah, Kepo, perkenalkan, saya Magenta, jadi, inilah, kiat-kiat, menjadi, seseorang, bernama, Diana, check this out or in whatever it is:

Kamu harus ditemui seseorang di gunung. Namun, bukan gunung sembarang gunung; gunung yang tinggi! (1)

Kamu harus cantik, menarik, menawan hati. (2)

Kamu harus—tentu saja—bernama Diana. Kembali lagi, tetapi ini bukan Diana sembarang Diana, wajib hukumnya Diana: yang namanya manja sekali. (3)

Seseorang yang kamu temui di gunung tinggi, perlu untuk mengikat janji bersamamu. Ingat! Bukan bersama seseorang yang secara kurang sopan dipanggil oleh seseorang itu sebagai paman! Aku curiga, alasan seseorang dibenci karena telah lancang tanpa sadar. (4)

Epilog

Dah ah cape pen bobok

-Ditutup dengan: ngorok dan Kisah Cintaku-nya Chrisye yang keduanya bertalu-talu ringan-

Label:

Minggu, 29 September 2019

Untuk Sebuah Perjuangan

Demi berjuang, aku menggunakan diksi 'jalan ninjaku'.
Berlayar ke FIB UI di waktu sore, di momen tak sepantasnya di sini untuk rata-rata manusia, dan aku di sini bersendiri merayakan perjuangan.
Kalau susah, memang sulit, tak pernah terbenam itu paceklik perih.

Kosan adalah sendu.
Menerka kapan nyaman datang, sekali datang, dua kali perih.
Maunya ada kemauan, tetapi rasa dan karsa adalah kebalikan.

Tak tahulah aku, sekelompok orang lewat, aku berpura diri mengetik kata-kata meracau.

Kadang aku kangen Srintil, berkali-kali menyalahkan pilihan hidup Rasus.
Untuk pengembangan diri? Mencari-cari dimensi internal yang maunya ketemu. Sikap adalah sikap.

Gila.
Gila.
Gila.
Itu salah kamu, Rasus.

Label:

Jumat, 23 Agustus 2019

Perihal; Wallace, Plath, dan Woolf

Tiga orang ikut melibatkan satu orang yang aku ingat: mendiang Robin Williams. Kalau ini benar konspirasi dengan nama akhir berawalan 'W', maka akal lebih berbahaya dibanding sepucuk AG-043. Baiklah, aku tidak mau jadi kelompok berbasis dua poros, jadinya direvisi: akal dan AG-043 di level yang sama.

Mereka dengan pikiran mereka, atau mereka dengan eksternal mereka, jangan turut campur. Namun, kalau berenang terlalu dalam ke kolam pikiran, aku yakin makin terisap.

Dia bilang tidak mungkin hanya dengan membaca Oliver Twist untuk memahami kamu. Aku pikirdi momen itudia pria yang punya satu peleton petuah bijak dan tanpa masalah sampai di level merenggut jiwa, aku pikir. Will hunting sungguh beruntung, karena namanya bukan Hunting Will.

Terus terang belakangan aku ingin bertemu seorang Janitor yang Prodigy.

-Ditutup dengan suara motor-

Label:

Kamis, 15 Agustus 2019

Alegori Sarangan

Kabut tipis berbenah ingin berkenalan dengan Bapak Bakso. Kata Bapak Bakso, apakah kalian ingin membeli nama saya: bakso? Hujan menjebak Bapak Bakso dan kami menjelajah halaman rumah Pak Bayan untuk bergegas membeli nama beliau—bakso.


Hobi kami berkelakar. Salah satunya perihal WC bersatu dengan alam. Salah duanya berwudhu dengan badai. Dan salah tiganya perihal guyonan kartu kuning babeh. Salah empatnya adalah kemahapamungkasan receh: far away... far away...

Dini hari menuju tiga. Mempertanggungjawabkan boneka-boneka itu adalah alasan kamu terjaga. Sejenak saja sadarnya aku, kalau karpet ruang tamu adalah benda primer penyekat dingin. Iya, kamu juga dingin.

Wanita jauh juga bilang, kalau kamu itu dingin, "cukup untuk membuat minyak goreng menjadi zat padat," katanya sungguh-sungguh. Aku iya-iya saja. Ini misteri. Rubik saja dibuatnya minder. Namun, hidup memang perihal misteri-misteri layak dipecahkan tetapi tak layak manusia pecahkan. Jadi, anggap saja misteri yang dingin.

Aku adalah penyintas. Apakah kamu seorang penyintas? Aku adalah seorang penyintas waktu. Apakah kamu juga? Kamu bikin aku bingung, sih. Atau aku yang membuat kamu bingung. Kenapa kebingungan ini terus berputar pada porosnya.

Kamu ada banyak. Di lapangan sekolah yang bertautan dengan bukit-bukit—kurasa itu gunung? entahlah—itu, ada kamu. Kamu juga kadang melakukan kegiatan assessment di induk semang terdekat. Tubuh-tubuh kamu, ada banyak. Mungkin memang benar kalau kamu maha dingin, soalnya, bersatu.

Latut berwajah senyum. Bibirnya tersenyum. Hidungnya tersenyum. Pipinya tersenyum. Matanya tersenyum. Alisnya tersenyum. Semoga masa depannya—dan bocah-bocah lainnya—ikut tersenyum.

Di kontinum berbeda, kesatria berboots kuning menghentak Bumi Sarangan.
(Tulis sendiri kisahmu tentangnya.)

Dualisme penyelenggara dan yang dipersembahkan. Kurasa lebih menghentak. Adakah perlu harga untuk dihargai. Namun, kamu terlanjur beku. Dingin, dingin, beku. Jadinya keras. Mengeras. Dihargai secara keras. Aku dan penyelenggara semakin berputar pada porosnya.

Dipersembahkan untuk kamu, maaf kalau kamu tidak merasa dipersembahkan. Kalau saja, rasa maaf itu dapat membuat minyak goreng itu kembali menghadap kodratnya.

Orang-orang bertemu. Orang-orang berbuat salah. Orang-orang lalu tidak saling memahami. Orang-orang berbeda dengan manusia-manusia. Namun, adakah bedanya. Banyak meracau. Banyak menjadi manusia. Banyak menjadi orang.

Karena aku perhatian, aku jadi kamu, dingin. Kamu yang mengajari aku. Kamu 'kan banyak. Maka sekumpulan gunung es, masih ada dasar-dasar lain.

Kamu itu aku. Dipersembahkan untuk kamu, dan menyelenggarakan dirimu. Aku itu kamu.
Kisah itu berdurasi 25 hari, bukan selamanya, jadi memang pudar semakin pudar semakin pudar dan anggap saja bagian dari fragmen-fragmen kehidupan yang selesai.

Senang pernah mengenal kalian, kataku, satu-satunya kalimat non-alegori di sini. Dan mungkin akan berlanjut. Aku jadi kangen bianglala. Aku jadi ingin menjadi bocah lagi, supaya dapat berbuat salah sebanyak-banyaknya. Rasa bersalah seorang merah. Namun, sudah kedaluwarsa akut, sih. Maaf.


-Ditutup dengan: I'm Glad I'm Me_Hap Palmer-

Label:

Selasa, 30 Juli 2019

Untuk Kawan-Kawan RED GUIM 8 and Beyond—Kinda?

(Tulisan ini telah mengendap lama sebagai draft, adalah sebuah keajaiban aku iseng menemukan ini di puing-puing artikel yang diabaikan.
2019-dan
tahun-
tahun 
mendatang;
Mata uang masih rupiah, ibu kota belum pindah, dan sisir masih digunakan untuk merapikan rambut.)

Ingatan memang sebaiknya ditulis, amat sayang kalau tidak abadi dalam tulisan. Dan malang sungguh malang, secuil demi cuil aku harus memperbaiki kronologi cerita agar terbingkai padu. Karena sekali duduk, maaf kalau ada yang terlewatkarena aku pun seorang pelupa.


Foto yang tidak simetris dan aku yang terlihat kikuk
UTS Stratifikasi Sosial saat itu, dan aku secara tak keruan mencari-cari teori yang pas untuk paper—aidah, malas nian rasanya menulis sesuai PUEBI. Sepertinya saat itu aku memilih tema outsourcing di Indonesia dan kurasa saat itu terlalu banyak kata saat itu yang kutulis, jadinya aku terus saja berputar putar layaknya merry go round.

Satu divisi bersama mereka yang di foto, ha ha, aku laki-laki sendirian dan itu bukan masalah, karena untuk enam perempuan itu, akulah masalahnya! Haha, merry go round!

Marilah kita lompat dari satu momen di mana seseorang memanggilku di warung kopi itu untuk menanyakan perihal apakah ada inginku bergabung dengan REDgaris takdir bertemu di momen ini, hingga serangkaian rapat yang kita lakukan bersama tiap hari senin itu.


Hey, survei pertama kali kita ke Temanggung! Itu sungguh seru. Dari Stasiun Tanjung Barat (atau lenteng agung? Atau tebet? Aku lupa!) masuklah kita ke bis yang aduhai sepinya itu. Aku sendirian di bangku penumpang walau ingin punya teman bincang. Alun-alun kota malam hari beserta angkringan dan kopinya. Aku masih mengingat detail-detail itu. Naik angkot ke kantor disdik bersama-sama. Ditraktir bakso oleh Mas Iwan dan Mas Irdan yang keterlaluan baiknya. Hingga Kibe waktu itu mengeluh tak enak hati karena kebaikan dua laki-laki itu.

Kalau malam hari, bahkan masih di kota, dingin menyelinap secara arogan. Aku tidur di ruangan yang sama dengan Agiel dan Ilham (siapa lagi ya... hmm... Arga! Haha!). Arga sewaktu itu dibopong oleh Netta. Jujur, waktu itu tak ada bayanganku tentang Netta, Dewi, Hanny, Chien, dan Maula. Mereka semua seperti pengejawantahan yang belum kukenali. Kalau Asa, karena pernah sekelas, tahulah aku kalau dia INFJ garis batu—karena batu itu keras, kebanggaannya terhadap MBTI pribadi itu setingkat dengan Mr. Kumis Chaplin terhadap Ras Arya.

Di hadapanku, Dewi secara cekatan menghitung rumus-rumus borang yang entah dari mana asalnya, kurasa kamu acapkali membuktikan rumus, ya. Entahlah mungkin hanya sekadar omonganku saja, karena kita menunda pulang rapat malam itu hanya demi mengkritisi sebuah borang—itu tidak 'hanya', Fatih!

Kalau ingat administrasi—yang merupakan fakultas Si Maula, aku seketika teringat birokrasi. Otak memang sejengkal, cakrawala memang sekuku; mengapa tidak ada Fakultas Ilmu Birokrasi?
(Albert Camus menatap sedu)

Masih ingat ketika berkas-berkas pendaftaran pengajar itu masuk? Dan kita satu per satu melakukan penilaian (dibantu dengan kawan-kawan lain) untuk setiap esai yang masuk—dan juga telat masuk?

Suatu siang yang terik menyengat serupa lebah dicolong madunya, aku menatap bengong di hadapan layar—undangan pernikahan Hanny!
Maka. Pernikahan adalah tema yang selalu diungkit-ungkit tiada jemu. Tahukah kalian, membahas apa pun akan kuladeni kalau itu dapat membuat kita berkumpul bersama kembali. Tetapi layang-layang memang selayaknya terbang tinggi, kalian adalah benda kecil itu yang terbang tak terprediksi mengikuti deras anginkadang menentang, kadang ikut arus.

Tidak seperti Netta yang fanatik terhadap baju hitam, meski dalam dirinya begitu cerah. Aku cekikikan bagaimana ceria titiknya dahulu. Tak seperti aku yang terlalu kaku dan dingin serupa parut kelapa di freezer. Andai kegagalan bukan dimaknai kesalahan. Di lain poros, benarkah gebrakan Chien bertalu-talu hingga titik tetangga? Kurasa seru mendengar cerita-cerita mereka, kurasa bahagia kedatangan dir tempat luapan kisah walau sudahlah karena faded—salahkan sang waktu.

Pada akhirnya, kita berjalan dengan masing-masing kaki, dengan masing-masing arus yang ditempuh. Aku bersyukur bahwa perjalanan intelektualitas ini sempat berada pada koordinat yang sama di suatu momen bersama kalian.

Demensia ulung mulai menggerogoti. Aku ingin menulis tak sedikit tetapi hanya tak banyak perolehannya. Selayaknya cerita, maka perlu ada akhir. Selayaknya waktu, tentu ada jeda. 

Kita adalah wolfpack dan aku seorang lone wolf.

-Ditutup dengan Queen of the Night-

Label:

Sabtu, 22 Juni 2019

Malam sebelum survey pertama GUIM 9

Setahun lalu adalah survey pertama GUIM 8, setahun dari sekarang adalah survey pertama GUIM 10, kalau perhitungannya berdasarkan tahun berapa, anggap saja sudah setahun. Banyak yang dilewatkan dan terlewatkan. Tahun-tahun berlalu saja. Tak peduli inflasi, tak peduli regulasi, tak peduli Gramsci, sang waktu akan lewat-lewat saja.

Ini adalah nyanyian untuk masa sekarang. Jangan muluk-muluk masa depan. Ada orkestra yang sekarang sedang berlangsung. Yang berlangsung besok, minggu depan, tahun depan, kesampingkan dulu.

Ini adalah tulisan untuk RED, dan apa-apa saja yang telah dilewatkan dan terlewatkan.
Ini adalah tulisan untuk mereka yang merasa ditulis.

"Sehat-sehat kalian."

Orang pun datang dan akan kembali, orang pun datang dan akan pergi.

Aku punya teman, kawan, dan sahabat. Apakah orang asing itu teman? Orang-orang hilir mudik di hadapanku, tetapi bukan kawan, karena orang asing. Kalau mereka sahabat, pasti sudah kuajak bicara. Tetapi, aku perlu datang jauh-jauh ke sebuah tempat untuk berbincang dengan sahabat, teman, atau kawanku. Mengapa aku tidak bisa mengobrol saja dengan orang asing di depan itu? Toh sama-sama manusia? Baru tahu aku, kalau aku dan orang asing itu tidak saling kenal, tidak pernah berbagi situasi apa pun. Kalau bumi hanya sepuluh penduduk, apakah ada orang asing.

Seorang tua dalam perjalanan di atas kapal kepadaku, "orang sebanyak ini, tidak ada yang kenal." Benar sekali, Pak, pikirku. Orang-orang asing itu juga menganggap kita orang-orang asing. Mereka juga punya keluarga, sama seperti kita. Mereka juga punya hal yang diperjuangkan, sama seperti kita.

Ini belum tulisan untuk RC, belum banyak yang dilewatkan dan terlewatkan.
Ini adalah tulisan untuk kamu yang merasa ditulis.

Ingat sang waktu yang tidak peduli Gramsci tadi? Dia membuatmu hebat. Dia membuatku tercekat.
Kamu telah terbang bersama kawananmu, aku sedang belajar menumbuhkan sayap. Aku tak selalu setuju kalau lebih baik telat daripada tidak sama sekali, tetapi aku perlu sepasang sayap supaya ikut kawananmu.

"Melihat punggungmu dari jauh tidak selalu mengenakkan."
Mengapa? Karena larimu terlalu canggung, begitulah kalau berlari dengan egrang.

-Ditutup dengan Turkish March-


Label:

Minggu, 05 Mei 2019

Perihal pertemanan and beyond

Aku kepikiran. Kadang kalau sedang kepikiran, susah hilangnya. Seperti perasaan hampa yang datang selepas menamatkan sebuah buku/film/series. Sebenarnya sepele. Ini hanya perihal pertemanan—hubungan dengan manusia memang rumit, kadang. Atau malah aku sendiri yang merumitkannya—merumitkannya? Merumitkannya?! Bahasa apa itu?! Seseorang tolong cek apakah benar ada kata 'merumitkannya' di KBBI?!

(Tolong ini kenapa tombol 'tab' di blogger enggak bisa ya?! Aidah sudahlah, aku terlalu malas mengedit—menyunting, tuanku, menyunting!)

Percaya atau pun tidak, di titik dalam kehidupanku, aku bertemu banyak orang-orang dengan beragam tata kelakuan, gesture ketika berbicara, cara menatapku yang berbeda, cara merespons omonganku dengan beragam mimik muka. Dan di antara banyak warna itu, kadang aku berpikir: Kalau kita mempunyai banyak momen bersama sedikit saja, mungkin kita akan menjadi sahabat.

Orang-orang bertemu dengan cara yang penuh misteri. Ada jutaan hingga milyaran manusia di dunia, dan hanya beberapa yang benar-benar dekat dengan kita. Kadang kita dapat memilih circle pertemanan, kadang juga kita tercebur di dalamnya, hingga tenggelam, hingga nyaman, hingga tanpa sadar kalau sebenarnya tak pernah ada kecocokan dan hanya merasa tak enak hati untuk berenang ke permukaan.

Sering atau kadang. Aku berkenalan dengan orang baru. Dan hanya dalam hitungan menit dari caranya berbicara, aku dapat menilai: Oh, orang ini akan cocok mengobrol denganku dengan bantuan segelas kopi. Sayang sungguh sayang, karena pertemuan itu sangat singkat, dan tidak ada garis kehidupan yang menakdirkanku bertemu lagi dengannya, atau tak ada lagi momen yang memberi urgensi untuk kami berbincang-bincang lagi.

Yah, mungkin itulah gunanya pasangan, ya. Untuk menjadi sahabat dalam obrolan tengah malam. Memang dunia sudah dirancang sedemikian rupa demi melayani penghuninya.

Untuk beberapa orang yang kutemui, aku sungguh penasaran dengan sudut pandangnya tentang sesuatu. Aku sungguh penasaran dengan dirinya dengan sisi yang lain. Untuk sebab yang tak kupahami, aku tertarik dengan manusia, spesiesku sendiri.

Aku—saat tulisan ini dibuat—menganggap status kewarganegaraan, suku, ras, dan lain sebagainya sebagai sebuah pembatas yang membuatku kesulitan untuk mengetahui sudut-sudut pandang lain yang ingin aku ketahui. Aku menganggap manusia sebagai manusia. Bukan sebagai orang kristen, orang jepang, orang asing, atau orang-orang yang lain. Kita lahir dengan sebuah perangkat kehidupan yang kita sendiri tak pernah memintanya.

Sudah itu saja.
Itu saja sudah.


Label: