Selasa, 30 Juli 2019

Untuk Kawan-Kawan RED GUIM 8 and Beyond—Kinda?

(Tulisan ini telah mengendap lama sebagai draft, adalah sebuah keajaiban aku iseng menemukan ini di puing-puing artikel yang diabaikan.
2019-dan
tahun-
tahun 
mendatang;
Mata uang masih rupiah, ibu kota belum pindah, dan sisir masih digunakan untuk merapikan rambut.)

Ingatan memang sebaiknya ditulis, amat sayang kalau tidak abadi dalam tulisan. Dan malang sungguh malang, secuil demi cuil aku harus memperbaiki kronologi cerita agar terbingkai padu. Karena sekali duduk, maaf kalau ada yang terlewatkarena aku pun seorang pelupa.


Foto yang tidak simetris dan aku yang terlihat kikuk
UTS Stratifikasi Sosial saat itu, dan aku secara tak keruan mencari-cari teori yang pas untuk paper—aidah, malas nian rasanya menulis sesuai PUEBI. Sepertinya saat itu aku memilih tema outsourcing di Indonesia dan kurasa saat itu terlalu banyak kata saat itu yang kutulis, jadinya aku terus saja berputar putar layaknya merry go round.

Satu divisi bersama mereka yang di foto, ha ha, aku laki-laki sendirian dan itu bukan masalah, karena untuk enam perempuan itu, akulah masalahnya! Haha, merry go round!

Marilah kita lompat dari satu momen di mana seseorang memanggilku di warung kopi itu untuk menanyakan perihal apakah ada inginku bergabung dengan REDgaris takdir bertemu di momen ini, hingga serangkaian rapat yang kita lakukan bersama tiap hari senin itu.


Hey, survei pertama kali kita ke Temanggung! Itu sungguh seru. Dari Stasiun Tanjung Barat (atau lenteng agung? Atau tebet? Aku lupa!) masuklah kita ke bis yang aduhai sepinya itu. Aku sendirian di bangku penumpang walau ingin punya teman bincang. Alun-alun kota malam hari beserta angkringan dan kopinya. Aku masih mengingat detail-detail itu. Naik angkot ke kantor disdik bersama-sama. Ditraktir bakso oleh Mas Iwan dan Mas Irdan yang keterlaluan baiknya. Hingga Kibe waktu itu mengeluh tak enak hati karena kebaikan dua laki-laki itu.

Kalau malam hari, bahkan masih di kota, dingin menyelinap secara arogan. Aku tidur di ruangan yang sama dengan Agiel dan Ilham (siapa lagi ya... hmm... Arga! Haha!). Arga sewaktu itu dibopong oleh Netta. Jujur, waktu itu tak ada bayanganku tentang Netta, Dewi, Hanny, Chien, dan Maula. Mereka semua seperti pengejawantahan yang belum kukenali. Kalau Asa, karena pernah sekelas, tahulah aku kalau dia INFJ garis batu—karena batu itu keras, kebanggaannya terhadap MBTI pribadi itu setingkat dengan Mr. Kumis Chaplin terhadap Ras Arya.

Di hadapanku, Dewi secara cekatan menghitung rumus-rumus borang yang entah dari mana asalnya, kurasa kamu acapkali membuktikan rumus, ya. Entahlah mungkin hanya sekadar omonganku saja, karena kita menunda pulang rapat malam itu hanya demi mengkritisi sebuah borang—itu tidak 'hanya', Fatih!

Kalau ingat administrasi—yang merupakan fakultas Si Maula, aku seketika teringat birokrasi. Otak memang sejengkal, cakrawala memang sekuku; mengapa tidak ada Fakultas Ilmu Birokrasi?
(Albert Camus menatap sedu)

Masih ingat ketika berkas-berkas pendaftaran pengajar itu masuk? Dan kita satu per satu melakukan penilaian (dibantu dengan kawan-kawan lain) untuk setiap esai yang masuk—dan juga telat masuk?

Suatu siang yang terik menyengat serupa lebah dicolong madunya, aku menatap bengong di hadapan layar—undangan pernikahan Hanny!
Maka. Pernikahan adalah tema yang selalu diungkit-ungkit tiada jemu. Tahukah kalian, membahas apa pun akan kuladeni kalau itu dapat membuat kita berkumpul bersama kembali. Tetapi layang-layang memang selayaknya terbang tinggi, kalian adalah benda kecil itu yang terbang tak terprediksi mengikuti deras anginkadang menentang, kadang ikut arus.

Tidak seperti Netta yang fanatik terhadap baju hitam, meski dalam dirinya begitu cerah. Aku cekikikan bagaimana ceria titiknya dahulu. Tak seperti aku yang terlalu kaku dan dingin serupa parut kelapa di freezer. Andai kegagalan bukan dimaknai kesalahan. Di lain poros, benarkah gebrakan Chien bertalu-talu hingga titik tetangga? Kurasa seru mendengar cerita-cerita mereka, kurasa bahagia kedatangan dir tempat luapan kisah walau sudahlah karena faded—salahkan sang waktu.

Pada akhirnya, kita berjalan dengan masing-masing kaki, dengan masing-masing arus yang ditempuh. Aku bersyukur bahwa perjalanan intelektualitas ini sempat berada pada koordinat yang sama di suatu momen bersama kalian.

Demensia ulung mulai menggerogoti. Aku ingin menulis tak sedikit tetapi hanya tak banyak perolehannya. Selayaknya cerita, maka perlu ada akhir. Selayaknya waktu, tentu ada jeda. 

Kita adalah wolfpack dan aku seorang lone wolf.

-Ditutup dengan Queen of the Night-

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda