Bayi Bernama Borneo dan Persahabatannya dengan Brasilia
Tanah Borneo selayaknya pengejawantahan seorang bayi kalau dibandingkan dengan Brasilia yang merupakan penjelmaan orang dewasa dalam konteks kematangan memikul diri sebagai ibu kota negara.
Ibu kota pindah, bukan hanya perihal bangunan kota. Ini adalah urusan kompleks yang perlu melibatkan pelbagai disiplin ilmu. Dan harapan adalah sesuatu yang perlu diatur dengan realistis—dan optimis, karena ini bukan impian satu individu, melainkan hajat hidup sebuah negara.
Pemerintah telah menentukan langkahnya untuk Borneo, ia akan dikultuskan sebagai ibu kota negara yang baru. Selanjutnya, Indonesia dirasa relevan untuk berguru dengan Brasil, karena keberhasilannya memindahkan pusat pemerintahan dari Rio de Janiero ke Brasilia—terlepas sisi minusnya.
![]() |
Brasilia, 1958 |
Indonesia ingin belajar dari Brasil, maka tuntutlah ilmu dan tengok Kota Brasilia,
tempat yang dahulunya nihil dan sekarang penduduknya lebih dari dua juta jiwa. Konteks dua negara mempunyai beberapa kesamaan karakteristik, sehingga mempelajari Brasilia tak ada salahnya.
“Indonesia bisa
belajar dari negara yang memiliki kesamaan padahal tempatnya jauh seperti
Brasil, yang sama-sama negara anggota G-20,” ucap Menteri PPN/Kepala Bappenas
seperti dilansir di laman Setkab, “Brasil dan Indonesia, dikenal memiliki
PDB terbesar. Wilayah Indonesia dan Brasil juga masuk terbesar di dunia.”
Kemegahan
Kota Brasilia
Kemegahan
Kota Brasilia berubah menjadi semacam lawakan tatkala terlalu
megah bagi umat manusia. Hal ini merupakan pujian, karena seluruh dunia seolah
terisap dalam magnet ketakjuban dengan titik pusat Brasilia.
Melalui pemberitaan Kominfo, mengutip Sudaryomo selaku Dubes LBBP untuk Brasil (2010-2014),
"…astronot
Yuri Gagarin saat pertama datang ke Brasilia, seperti
mendarat di planet yang lain. Itu karena desainnya yang futuristik, serba
modern, dan terencana dengan baik," jelasnya dalam Diskusi Media Forum
Merdeka Barat (FMB) 9.
Keberhasilan Brasilia siapa yang perlu ragu. Indah dan megah, begitulah deskripsi konkrit ketika bertandang langsung ke kota itu. Namun, ini bukan melulu soal pujian untuk Brasilia, melainkan pembelajaran untuk Borneo. Mari perhatikan saksama. Di balik bangunan-bangunan penantang intelektualitas langit itu, Kota Brasilia tak juga lepas dari sisi kurang.
![]() |
Itamaraty Palace, Brasilia |
Apakah yang Membuat Suatu Kota Menjadi Ideal untuk Dihuni?
Perihal Brasilia kita sisihkan dahulu. Sebelum melihat lebih jauh, perlu adanya kesepakatan bersama perihal karakteristik/indikator dari kota ideal, sehingga acuan menjadi tampak.
Kota ideal dijelaskan melalui Laporan DC Appleseed and Our
Nation’s Capital (ONC) tentang “Building the Best Capital in the World” (PDF,
2008) bahwa terdapat paling tidak dua belas (12) karakteristik penentu ideal atau tidaknya suatu kota—merangkum berbagai kajian-kajian urban planning. (Sila diakses tautan tersebut untuk mengetahui lebih dalam.)
Laporan tersebut memaparkan, bahwa suatu kota idealnya memiliki natural features, lingkungan yang semarak, dan sense of place. Tiga hal ini teramat unik. Pemerintah tentu mempertimbangkan yang sudah-sudah dari Jakarta; panas, polusi, macet, banjir, dsb. Namun, tiga hal tersebut kadang terlewat ketika membicarakan konteks mendirikan sebuah kota. Konotasi mendirikan bernuansa hadir dari ketiadaan, bukan membangun dari hal yang sebelumnya telah ada.
Opini penulis berkata, bahwasanya karakteristik tersebut dapat diraih, ketika suatu kota bukan semata-mata fokus pada bangunan fisik—kecuali natural features yang sedari awal telah ada, tetapi juga mempertimbangkan konteks manusia dan masyarakat yang akan tinggal. Dalam hal ini, ilmuwan-ilmuwan sosial hendaknya diberikan porsi keterlibatan yang cukup. Upaya ini dilakukan agar bangunan dan masyarakat menjadi sinkron dan saling kesinambungan.
Laporan tersebut memaparkan, bahwa suatu kota idealnya memiliki natural features, lingkungan yang semarak, dan sense of place. Tiga hal ini teramat unik. Pemerintah tentu mempertimbangkan yang sudah-sudah dari Jakarta; panas, polusi, macet, banjir, dsb. Namun, tiga hal tersebut kadang terlewat ketika membicarakan konteks mendirikan sebuah kota. Konotasi mendirikan bernuansa hadir dari ketiadaan, bukan membangun dari hal yang sebelumnya telah ada.
Opini penulis berkata, bahwasanya karakteristik tersebut dapat diraih, ketika suatu kota bukan semata-mata fokus pada bangunan fisik—kecuali natural features yang sedari awal telah ada, tetapi juga mempertimbangkan konteks manusia dan masyarakat yang akan tinggal. Dalam hal ini, ilmuwan-ilmuwan sosial hendaknya diberikan porsi keterlibatan yang cukup. Upaya ini dilakukan agar bangunan dan masyarakat menjadi sinkron dan saling kesinambungan.
Brasilia
Tempo Sekarang dan yang Masih Perlu Dibenahi
Brasilia
dirancang oleh Oscar Niemeyer, seorang arsitek Kewarganegaraan Brasil. Bangunan-bangunan di Brasilia adalah mahakarya ulung miliknya. Saat tahun-tahun awal, meski belum begitu dewasa seperti sekarang, Brasilia sudah menjadi pusat perhatian seluruh dunia karena desain yang begitu elegan dan menakjubkan.
![]() |
Potret Oscar Niemewer |
Namun,
Kota Brasilia dirasa kurang memiliki feel sebagai sebuah kota
sebagaimana mestinya. “Brasilia
tidak memiliki kompleksitas layaknya sebuah kota, seolah hanya sekadar lingkungan kampus
untuk kantor-kantor pemerintahan. Orang-orang pergi pada kamis malam dan mencari hiburan justru di Kota Sao Paulo dan Rio de Janeiro,” dilansir dalam BBC.
Hal
tersebut dapat saja terjadi, ketika sebuah pembangunan kota hanya berfokus
pada bangunan fisik, tanpa mempertimbangkan aspek manusia dan masyarakat yang
akan menghidupkan kota.
Brasilia nihil kehadiran street life, hal ini cenderung lucu sementara pemerintah setempat merancang
kota dengan keteraturan dan kategorisasi yang efektif. Penduduk justru
merasa hal tersebut tidak natural dan menilai street life justru dapat menghidupkan kota dan mendorong interaksi antar warga kota. Tidak mengherankan kalau penduduk rekreasi ke kota lain.
Brasilia juga minus dalam penerapan sense of place dan lingkungan yang
kurang semarak karena terlalu kaku dalam sistem kotanya. Natural features juga minim di Brasilia karena kota tersebut memang dibangun di atas lahan yang awalnya benar-benar kosong.
Di Tanah Borneo
Harapan bukan perkara klise, karena ini persoalan kenegaraan yang menyangkut hajat bersama. Rakyat sepakat kalau ibu kota adalah representasi negara, tetapi akan sangat bijak menyadari bangsa-bangsa lain bukan hanya melihat kemegahan bangunan fisik suatu bangsa, melainkan kualitas manusia dan masyarakatnya.
Bayi itu bernama Borneo. Ia dibesarkan oleh pemerintah. Orang dewasa biasanya lebih bijak. Oleh karena itu, Borneo sejak lama berkawan dengan Brasilia. Karena Brasilia telah dewasa. Dan Borneo, ingin menjadi ibu kota yang bijak.
@Bappenasri
#Bappenas
#Ibukotabaru
Harapan bukan perkara klise, karena ini persoalan kenegaraan yang menyangkut hajat bersama. Rakyat sepakat kalau ibu kota adalah representasi negara, tetapi akan sangat bijak menyadari bangsa-bangsa lain bukan hanya melihat kemegahan bangunan fisik suatu bangsa, melainkan kualitas manusia dan masyarakatnya.
Bayi itu bernama Borneo. Ia dibesarkan oleh pemerintah. Orang dewasa biasanya lebih bijak. Oleh karena itu, Borneo sejak lama berkawan dengan Brasilia. Karena Brasilia telah dewasa. Dan Borneo, ingin menjadi ibu kota yang bijak.
@Bappenasri
#Bappenas
#Ibukotabaru
Jumlah kata: 793
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda