Senin, 19 Agustus 2019

Bayi Bernama Borneo dan Persahabatannya dengan Brasilia

Tanah Borneo selayaknya pengejawantahan seorang bayi kalau dibandingkan dengan Brasilia yang merupakan penjelmaan orang dewasa dalam konteks kematangan memikul diri sebagai ibu kota negara. 

Ibu kota pindah, bukan hanya perihal bangunan kota. Ini adalah urusan kompleks yang  perlu melibatkan pelbagai disiplin ilmu. Dan harapan adalah sesuatu yang perlu diatur dengan realistis—dan optimis, karena ini bukan impian satu individu, melainkan hajat hidup sebuah negara.

Pemerintah telah menentukan langkahnya untuk Borneo, ia akan dikultuskan sebagai ibu kota negara yang baru. Selanjutnya, Indonesia dirasa relevan untuk berguru dengan Brasil, karena keberhasilannya  memindahkan pusat pemerintahan dari Rio de Janiero ke Brasilia—terlepas sisi minusnya.

Brasilia, 1958
Indonesia ingin belajar dari Brasil, maka tuntutlah ilmu dan tengok Kota Brasilia, tempat yang dahulunya nihil dan sekarang penduduknya lebih dari dua juta jiwa. Konteks dua negara mempunyai beberapa kesamaan karakteristik, sehingga mempelajari Brasilia tak ada salahnya.

“Indonesia bisa belajar dari negara yang memiliki kesamaan padahal tempatnya jauh seperti Brasil, yang sama-sama negara anggota G-20,” ucap Menteri PPN/Kepala Bappenas seperti dilansir di laman Setkab, “Brasil dan Indonesia, dikenal memiliki PDB terbesar. Wilayah Indonesia dan Brasil juga masuk terbesar di dunia.”

Kemegahan Kota Brasilia

Kemegahan Kota Brasilia berubah menjadi semacam lawakan tatkala terlalu megah bagi umat manusia. Hal ini merupakan pujian, karena seluruh dunia seolah terisap dalam magnet ketakjuban dengan titik pusat Brasilia.

Melalui pemberitaan Kominfo, mengutip Sudaryomo selaku Dubes LBBP untuk Brasil (2010-2014), "…astronot Yuri Gagarin saat pertama datang ke Brasilia, seperti mendarat di planet yang lain. Itu karena desainnya yang futuristik, serba modern, dan terencana dengan baik," jelasnya dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat (FMB) 9.


Itamaraty Palace, Brasilia
Keberhasilan Brasilia siapa yang perlu ragu. Indah dan megah, begitulah deskripsi konkrit ketika bertandang langsung ke kota itu. Namun, ini bukan melulu soal pujian untuk Brasilia, melainkan pembelajaran untuk Borneo. Mari perhatikan saksama. Di balik bangunan-bangunan penantang intelektualitas langit itu, Kota Brasilia tak juga lepas dari sisi kurang.

Apakah yang Membuat Suatu Kota Menjadi Ideal untuk Dihuni?

Perihal Brasilia kita sisihkan dahulu. Sebelum melihat lebih jauh, perlu adanya kesepakatan bersama perihal karakteristik/indikator dari kota ideal, sehingga acuan menjadi tampak.

Kota ideal dijelaskan melalui Laporan DC Appleseed and Our Nation’s Capital (ONC) tentang “Building the Best Capital in the World” (PDF, 2008) bahwa terdapat paling tidak dua belas (12) karakteristik penentu ideal atau tidaknya suatu kota—merangkum berbagai  kajian-kajian urban planning. (Sila diakses tautan tersebut untuk mengetahui lebih dalam.)

Laporan tersebut memaparkan, bahwa suatu kota idealnya memiliki natural features, lingkungan yang semarak, dan sense of place. Tiga hal ini teramat unik. Pemerintah tentu mempertimbangkan yang sudah-sudah dari Jakarta; 
panas, polusi, macet, banjir, dsb. Namun, tiga hal tersebut kadang terlewat ketika membicarakan konteks mendirikan sebuah kota. Konotasi mendirikan bernuansa hadir dari ketiadaan, bukan membangun dari hal yang sebelumnya telah ada.


Opini penulis berkata, bahwasanya karakteristik tersebut dapat diraih, ketika suatu kota bukan semata-mata fokus pada bangunan fisik—kecuali natural features yang sedari awal telah ada, tetapi juga mempertimbangkan konteks manusia dan masyarakat yang akan tinggal. Dalam hal ini, ilmuwan-ilmuwan sosial hendaknya diberikan porsi keterlibatan yang cukup. Upaya ini dilakukan agar bangunan dan masyarakat menjadi sinkron dan saling kesinambungan.

Brasilia Tempo Sekarang dan yang Masih Perlu Dibenahi

Brasilia dirancang oleh Oscar Niemeyer, seorang arsitek Kewarganegaraan Brasil. Bangunan-bangunan di Brasilia adalah mahakarya ulung miliknya. Saat tahun-tahun awal, meski belum begitu dewasa seperti sekarang, Brasilia sudah menjadi pusat perhatian seluruh dunia karena desain yang begitu elegan dan menakjubkan.


Potret Oscar Niemewer
Namun, Kota Brasilia dirasa kurang memiliki feel sebagai sebuah kota sebagaimana mestinya. “Brasilia tidak memiliki kompleksitas layaknya sebuah kota, seolah hanya sekadar lingkungan kampus untuk kantor-kantor pemerintahan. Orang-orang pergi pada kamis malam dan mencari hiburan justru di Kota Sao Paulo dan Rio de Janeiro,” dilansir dalam BBC.

Hal tersebut dapat saja terjadi, ketika sebuah pembangunan kota hanya berfokus pada bangunan fisik, tanpa mempertimbangkan aspek manusia dan masyarakat yang akan menghidupkan kota.

Brasilia nihil kehadiran street life, hal ini cenderung lucu sementara pemerintah setempat merancang kota dengan keteraturan dan kategorisasi yang efektif. Penduduk justru merasa hal tersebut tidak natural dan menilai street life justru dapat menghidupkan kota dan mendorong interaksi antar warga kota. Tidak mengherankan kalau penduduk rekreasi ke kota lain.

Brasilia juga minus dalam penerapan sense of place dan lingkungan yang kurang semarak karena terlalu kaku dalam sistem kotanya. Natural features juga minim di Brasilia karena kota tersebut memang dibangun di atas lahan yang awalnya benar-benar kosong.

Di Tanah Borneo

Harapan bukan perkara klise, karena ini persoalan kenegaraan yang menyangkut hajat bersama. 
Rakyat sepakat kalau ibu kota adalah representasi negara, tetapi akan sangat bijak menyadari bangsa-bangsa lain bukan hanya melihat kemegahan bangunan fisik suatu bangsa, melainkan kualitas manusia dan masyarakatnya.


Bayi itu bernama Borneo. Ia dibesarkan oleh pemerintah. Orang dewasa biasanya lebih bijak. Oleh karena itu, Borneo sejak lama berkawan dengan Brasilia. Karena Brasilia telah dewasa. Dan Borneo, ingin menjadi ibu kota yang bijak.


@Bappenasri
#Bappenas
#Ibukotabaru

Jumlah kata: 793

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda