Selasa, 03 Desember 2019

Dihidrogen Monyongsida

Anak sekecil itu berkelahi bukan dengan waktu, memang karena satu impian, dan benar pula acap kali tidurnya terganggu. Ibu Guru bertanya tentang cita-citanya kelak. Satu, dua, tiga, sekelas; dokter, polisi, polwan, presiden. Hanya dia yang tak dapat menerka ingin jadi apa. Dia bingung, mengapa profesi menjadi begitu penting: supaya jadi orang. Begitu katanya. Mengapa cita-cita harus diwujudkan melalui profesi. Lantas, bukannya aku sudah menjadi orang? Begitu kata Anak. Esok hari pun datang.

“Budi, sudah tahu cita-citanya apa?” Pertanyaan yang telah dinanti.
“Sudah, Bu.”
“Apa itu?”
“Aku ingin menciptakan alat yang dapat memisahkan hidrogen dan oksigendua hidrogen, lebih tepatnya.”
Ibu Guru menatap asingada kuriositas dari matanya.
“Supaya tidak ada lagi orang tenggelam.”

Oh, Budi, Budi, Budi. Ini adalah Budi. Bocah sekolah dasar di negara yang romansa lebih laku ketimbang fantasi. Jalan terjal untuk Budi.

Ibu Guru menahan komentarnya di akal. Budi, buih di samudra saja tak dapat dihitung, bagaimana caramu menakar volume lautan dengan alatmu beserta bobot orang yang tenggelam. Lantas, apa yang ingin kamu perbuat dengan hidrogen-hidrogen itu? Mengisi balon supaya terbang sehingga dapat membikin rumah melayang-layang seperti di kartun itu?

“Tepuk tangan untuk Budi!”

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda