Selasa, 01 Februari 2022

Seyogianya Sekar, "Cantik dari dalam adalah sebuah kekonyolan."

Kalau hendak membaca tugas akhir, memang seyogianya melihat halaman abstrak terlebih dahulu. Anggaplah seperti itu, beginilah kira-kira hal ini akan disuguhkan: Sekar merupakan biang perbincangan di cerita ini yang semuanya bermula pada Jiran yang mengatainya gendut. Selanjutnya, mereka berdua akan berkutat dengan dunia akhir-akhir ini, beserta kata kunci: perundungan (maya dan tubuh), bersama segala sesuatu yang berkelindan di balik semak-semak digital itu.

Selayaknya Sekar, begitu rakus terhadap dialektika, sehingga gemar nian mendamprat kedalaman berpikir seseorang yang hanya sejengkal. Seyogianya Sekar, massa tubuhnya itu layaknya fanatisme—berlebihan dan sukar ideal. Sekar dan Jiran merupakan karib sekampus dan selepas mengkhatamkan mata kuliah pada sore ini, Gedung Koentjaraningrat menjadi pelataran oranye tempat mereka berdua nongkrong.

Menanggapi perihal seminggu lalu, ketika ia dipanggil "gendut" di hadapan gawai milik Jiran, Sekar langsung saja tanpa tedeng aling-aling memulai ucapannya.

“Mereka menganggapmu melakukan body shaming!” ungkapnya ringan. 

“Merundung tubuh!” balas Jiran.

“Baiklah, baiklah, dasar anak kandung KBBI!” ucapnya meramu ejekan.

Sekar, engkau mendamprat siapa saja perempuan yang tidak menarik secara fisik, dan berkelit kalau kecantikan mereka bersemayam di hati. Dengan senyuman miring, dihardik kepercayaan itu oleh engkau karena itu semakin membuat perempuan tak kasatmata terhadap kenyataan.

Ngomong-ngomong, Sekar kerap kali berbasis diksi-diksi kepuritan, "Kalau tak cantik, akui sajalah!" ucapnya. Sebagai latar belakang, perlulah menambatkan perhatian kepada Sekar, sebagai tokoh yang tidak berparas cantik—mohon maaf, sama sekali bukan ejekan, ini mengutip dari Sekar sendiri: "Aku memang tidak cantik, tetapi bukanlah tentu aku jelek, di mana moderat-moderat itu?!" begitulah ucapnya sedari dulu.

Kalau saja ada yang menyebutnya jelek, Sekar hanya akan menanggapi dengan, "Ya… begitulah, tidak semua hal dapat diraih." Santai sekali perempuan itu. Sikapnya tidak masa bodo; tak acuh secukupnya; responsif sekadarnya; dan lebih dari itu, seyogianya Sekar, tabiatnya itu yang seperti di pantai—santai tanpa lebay.

Sekar merupakan mahasiswi tingkat tiga. Walau jiwanya itu veteran tingkat seratus. Sekar sama sekali tidak keberatan ketika dijadikan objek candaan oleh satu angkatannya berkenaan dengan massa tubuhnya itu. Menurutnya, panggilan tersebut hanyalah penyampaian fakta: “Memang aku ini gemuk, mengapa perlu ditutup-tutupi melalui perasaan tak enak hati!” Dengan itu semua, Sekar melanjutkan hidup dengan biasa-biasa saja.

Karena memikul diksi kepuritan, Sekar tidak merisaukan konotasi yang merebak pada setiap penggunaan kata. Misalnya, dewasa ini, penggunaan kata 'miskin' menjadi amat dihindari, lantas mulailah diromantisisasi menjadi 'prasejahtera'. Sekar berpendapat, kalau kenyataan perlu didekap dan dibicarakan terbuka jika ingin berdamai dengan keadaan. Oleh sebab itu, menurut Sekar, perempuan yang telah menerima keadaan dirinya yang tidak unggul dalam dimensi cantik (bukan berarti jelek!), perlulah kiranya untuk mengembangkan hal lain yang masih dapat dipoles.

*

Jiran merupakan delima ranum yang diperebutkan lelaki, melalui parasnya. Oleh karena itu, perempuan yang—oleh Sekar—dikultuskan sebagai anak kandung KBBI tersebut, memiliki cukup banyak penggemar maya. Selain itu, dapatlah dikatakan kalau Jiran adalah pencinta bahasa Indonesia poros ekstrem.

Kalau Gedung Koentjaraningrat minggu depan beraroma oranye, lain di hari ini yang pelatarannya cukup pekat. Namun, apa pun warna yang ditampilkan pada bangunan kampus itu, mereka berdua tetap nongkrong seperti biasanya.

Sebelum berucap, Sekar melongo dengan gemilang ketika dilihatnya media sosial milik Jiran, “Banyak sekali followers-nya!”

“Pengikut!” pungkas Jiran. “Baiklah!”

Lantas, Jiran mengambil beberapa swafoto dan berjeda sebentar untuk memastikan wajahnya. Selagi memperhatikan gerak-gerik sahabatnya itu, Sekar mengambil ancang-ancang lalu berucap, “Kalau kamu ingin bertanya apakah pipimu bulat, atau alismu menghilang, mending kuhardik saja agar lebih pantas, ketimbang menulis itu sebagai caption!”

“Takarir!” pungkas Jiran mencoba membetulkan.

“Hah?!”

“Pengganti kata ‘caption’!”

“Luar biasa!!”

Selama bertahun-tahun berkawan baik, Jiran tahu pasti bahwa Sekar adalah perempuan yang telah mempan terhadap komentar fisik. Ketika semua perempuan mengatakan tentang inner beauty, yang kemudian akan dikoreksi oleh Jiran menjadi, “Kecantikan dari dalam!” Namun, Sekar takkan berkoar perihal kecantikan yang dari dalam. Perempuan itu, tak pernah

setuju kalau ada kecantikan dari dalam. Menurut otaknya itu, ada dimensi yang berbeda di antara baik hati dan cantik. Beginilah kalau jadi orang puritan.

"Cantik dari dalam? Kenapa gemar sekali menciptakan kekonyolan. Temanku yang gendut-gendut itu—sama seperti aku… janganlah cepat tersinggung! Orang gendut dan tersinggung adalah dua kombinasi paling menyusahkan—amat sulit gencatan senjata terhadap dirinya, terus saja menyangkal kenyataan!" begitu ungkap Sekar.

“Jadi, bagaimana menurutmu sebagai orang yang gendut?” tanya Jiran dengan gawai yang telah tersambung dengan media sosialnya.

“Ya sudah. Bagiku tubuhku, bagimu tubuhmu!” ucapnya di depan lensa kamera. “Tetapi, apakah tubuh sesakral itu untuk mengubah diksi ‘agama’?”

“Luar biasa!!”

*

Menurut pengakuan Sekar, selama otaknya masih berfungsi dengan baik, ia takkan repot-repot dengan kodrat biologisnya. Namun, profil Sekar sangatlah membumi. Meski berbobot tak ideal, Sekar tak pernah merasa perlu menampilkan apa pun untuk khalayak—demi menutupi kekurangannya, yang secara harfiah adalah kelebihan. Jadi, meski tubuhnya tidak ideal, kepercayaan diri milik Sekarlah yang ideal—memang mustahil untuk ideal pada setiap aspek. Dan hal ini, seyogianya Sekar dan segenap perempuan yang sefrekuensi dengannya, perlu diraih erat-erat.

Di salah satu vlog miliknya, Jiran memanggil Sekar dengan sebutan ‘gendut’ atau kalau sedang ingin imut menjadi ‘ndut!’. Secara kasatmata, kelakuan Jiran terlihat seperti orang kaya yang sedang memanggil orang miskin dengan ‘miskin’ atau kalau sedang ingin kasar menjadi ‘dasar miskin!’. Dewasa ini, kecemburuan sosial bersaing pamornya dengan kecemburuan biologis; banyak penonton yang mencercanya akibat hal tersebut.

Pesan-pesan digital menjadi hilir mudik bertamu di gawai milik Jiran. Perempuan itu, menjadi sasaran paling strategis untuk sebuah kecemburuan biologis yang telah lama dipendam oleh orang-orang yang mudah tersinggung oleh sentimen kecantikan.

Jiran merasa terpukul bertubi-tubi, dan cukup menyakitkan ketika melihat setiap komentar yang muncul pada kanal-kanal media sosial miliknya, hanyalah ujaran kebencian yang saling dukung.

Beramai-ramai, Jiran diserang oleh warganet dari berbagai sisi. Kalau melihat Tugas Akhir, dapat terlihat di bab terakhir terdapat kesimpulan dari tulisan ilmiah itu. Anggaplah demikian, beginilah kira-kira kesimpulan dari komentar-komentar warganet kepada Jiran yang dapat dirangkum padu: “Dengerin, Mbak! Orang tuanya ngedidik gak?! Kok akhlaknya kayak kabur gitu, seenaknya ngatain perempuan ‘gendut’, mentang-mentang situ cantik, gitu?! Kalau gue ketemu elo di jalan, gue cakar juga muka elo itu, ngerti?! Dasar sundal!!

Seharian itu, Jiran menjadi amat kelabu. Di sore hari pada pelataran kampus yang pekat, Jiran mengelilingi trotoar kampus dengan berjalan kaki, dan membenamkan benaknya terhadap apa yang menimpa dirinya itu. Setidaknya, hanya dengan memanggil Sekar ‘gendut’, ada empat hasil yang didapat olehnya: 1) orang tuanya dipertanyakan kemampuan mengurus anak; 2) kepribadiannya direndahkan; 3) menerima ancaman akan disakiti; dan terakhir 4) dirundung dengan panggilan tak seyogianya.

*

“Itulah mengapa, di setiap kontes kecantikan, pastilah ada poin penilaian dari wawasan masing-masing kontestan,” ucap Sekar beserta pelataran gedung yang makin oranye.

Itu bukan lembayung, tetapi cukup cantik untuk ukuran langit Depok. Jiran melanjutkan obrolan itu, yang sebelumnya masih merasa terusik dengan setiap pesan cemooh yang masuk di media sosialnya.

“Kecantikan perempuan, mana mungkin dapat dipilih salah satu menjadi yang terbaik? Oleh karena itu, dewan juri pasti mencari-cari indikator lain supaya upaya mencari pemenang menjadi tidak terlampau mustahil,” ucap Sekar lagi.

“Tetapi, tetap saja itu namanya kontes perempuan unggul, bukan hanya kecantikan,” ucap Jiran menanggapi sahabatnya.

“Sebenarnya, mudah saja untuk mengukur apakah perempuan sudah berdamai dengan dirinya, ataukah belum. Silakan saja mengamati media sosial perempuan-perempuan yang parasnya cantik, atau menonton kontes kecantikan sampai khatam.”

Kalau ada satu hal yang dapat disetujui bersama oleh kedua sahabat itu, adalah mengenai kontes kecantikan yang semakin mempromosikan standar kecantikan yang diimpi-impikan oleh segenap perempuan. Seyogianya, standar kecantikan itu fana. Namun, kedua perempuan itu barangkali akan didebat habis-habisan terhadap opininya.

“Dan media sosial, semakin membuat perempuan menjadi insecure terhadap tubuhnya,” ungkap Sekar.

“Haloo… Jiran?!” ucap Sekar lagi, mencoba memastikan sahabatnya.

“Apa?”

Insecure?!”

“Oh, ya… aku belum menemukan padanan kata yang paling tepat.’ “Baiklah, statusmu sekarang turun kelas, menjadi anak tiri KBBI.” “Ha-ha, baiklah, lanjutkan omonganmu.”

“Dunia yang dewasa ini dihilangkan batas-batasnya oleh internet, membikin orang-orang jelek dan orang-orang cantik berada pada satu wadah. Dan, mempertemukan keadaan kontras inilah yang memicu konflik digital,” ucap Sekar berpanjang lebar.

“Oleh karena itu, kamu memilih menjadi seorang moderat di setiap spektrum isu, benar begitu?”

“Iya, karena kalau poros ekstrim, akan memicu keributan.”

“Ekstrem!”

“Luar biasaaa!!”

“Bukankah tidak ada perempuan yang jelek, semua perempuan itu cantik?” ucap Sekar mencoba menggoda sahabatnya itu.

“Ha-ha! Sebagai anak kandung KBBI, apa artinya ‘jelek’ itu?”

“Aku kembali naik kelas?”

“Iya!”

“Jelek artinya: ‘tidak enak dipandang mata’,” balas Jiran.

“Menurutmu, semua perempuan ‘enak dipandang mata’?” tanya Sekar.

Jiran diam saja, tidak menjawab sama sekali. Untuk hal ini, mereka sepakat untuk tidak sepakat. Berkawan memang tidak melulu harus satu suara. Dan kedewasaan untuk menerima pendapat yang berbeda, amat sulit untuk warga-warga di internet. Berkenaan dengan itu semua, Sekar melanjutkan bicaranya.

“Mereka masih menghardikmu?” tanyanya.

“Iya, karena aku melakukan body shaming,” ucapnya seraya memperagakan simbol ‘tanda kutip’ untuk dua kata terakhir yang dia ucapkan.

“Ha-ha, apakah itu sebuah kompromi?” tanya Sekar berkenaan dengan penggunaan dua kata asing itu oleh anak kandung KBBI.

“Betul,” pungkas Jiran beserta senyumnya.

Lalu, Sekar dan Jiran membuat vlog bersama dan mulailah perempuan tersebut menjelaskan sikapnya terhadap Jiran yang memanggilnya ‘gendut’ pada tempo lalu. Di hadapan sepucuk kamera milik Jiran, mulailah Sekar mengeluarkan kata-katanya:

“Halo, perkenalkan, namaku Sekar, sahabat dari orang ini,” ucap Sekar yang telunjuknya mengarah ke Jiran, “di dunia ini, pada era yang hampir menghilang batas-batas riil dan maya, sepatutnya kalian (warganet) mengerti kalau aku biasa saja dipanggil ‘gendut’, sehingga yang dilakukan Jiran kepadaku bukanlah body shaming. Mengenai ketersinggungan kalian terhadap kelakuan Jiran, aku iba sekali karena kalian belum berdamai dengan itu semua dan melesatkan kebencian kepadanya. Kalau tidak cantik seperti Jiran, biasakanlah!”



Label:

Selasa, 24 Maret 2020

Pepes Manusia

Meskipun Murakami1 membilang bahwa menulis hanyalah upaya-upaya kecil untuk menyembuhkan diri, menurut hematku ini, tidaklah sepenuhnya tepat. Banyak hal seiring umur yang kudamaikan melalui menulis. Satu hal ini misalnya: kereta pagi dan petang yang penuh sesak.
Di pagi hari pada peron-peron, manusia berkerumun menunggu kedatangan kereta. Siku-siku dipersiapkan serupa alat gulat. Selayaknya serdadu perang menerobos gerbang mencari tempat kosong. Manusia-manusia seolah pakaian yang dijejalkan dalam sebuah koper sempit. Yang penting muat, yang penting sampai tujuan. Berdempet-dempet menyerupai seonggok pepes. Kelas-kelas pekerja initermasuk akuterlampau biasa mengalami tragedi karir yang pilu.
Tengok saja perempuan yang terhimpit desakan tubuh-tubuh harum-apek di kiri-kanan-depan-belakang. Seyogianya mahasiswa demonstrasi yang saling himpit dengan pagar betis dan aparat. Kalau kereta rem mendadak, terhunuslah dengan lautan tubuh dan badanku ini gepeng sudah kalaulah semacam spons, dan akan semula kembali melalui proses menyakitkan.
Ini adalah simpanse tata krama. Bayangkan berpuluh menit hingga sampai hitungan jam, berada pada situasi terhimpit seperti ini. Kalau ada penumpang yang ingin turun peron, maka bersiap-siap saja mencari cara keluar dari desakan samudra manusia. Bagaimana mungkin dapat menerobos keluar tanpa membikin penyek sekitar.
Baca selengkapnya »

Label:

Jumat, 28 Februari 2020

Ikan ikan apa yang tongkol?


Biarkanlah cerpen ini menggiring bukti kepemilikan kalau kita pernah bersama. (1)
Untuk kawan-kawan Kota Karang dan GUIM; dan segala aspek kehidupan yang karenanya raga nan hati kita bertautan. (2)
Ditulis dengan suplemen Don McLean melalui Vincent; hikmah dari sepotong kuping milik Van Gogh. (3)
Selamat membaca prosa ngawur ini; ayolah, semusim dan semusim lagi, kita angkat sauh dan berpencar untuk berlabuh. (4)
Senyata apa pun, anggap saja ini sebagai karya fiksi. (5)

Serangkaian Unek-unek Saras

Pukul lima sore, langit pesisir ini ketumpahan violet sehingga lembayung mencuat tanpa malu-malu, membentuk lukisan langit. Palet-palet kosong berbekas putih, jingga, dan biru. Ombak-ombak berulah dan berontak serupa didadar oleh angin samudra. Gulungan itu makin kencang, kejar-kejaran, hingga bibir pantai barulah reda dan kembali surut. Sisi timur pantai kedatangan oleh kawanan air sungai yang berkuala pada surutan laut. Mereka berdampingan oleh sisi barat pantai yang berjarak dekat saja pada pematang sawah.

Pada dekorasi geografis itu, sebuah Sekolah Dasar (SD) menggandeng pantai dengan suatu tanggul tinggi pembatas riak-riak lautan dengan bangunan pendidikan tersebut. Segerombolan pemuda-pemudi merakit asa. Mereka disebut relawan. Relawan mengajar sebetulnya. Satu dua dari mereka mungkin saja telah khatam menjelaskan bahwa adalah kekeliruan menyebut kegiatan mereka sebagai Kuliah Kerja Nyata (KKN).

Untuk mempersingkat perkenalan, KKN adalah sebuah kekaprahan ketimbang: “kami adalah gerakan pendidikan yang tujuannya mengajar di daerah pelosok dan berfokus pada sekolah dasar. Ini adalah inisiasi murni mahasiswa dan bukan kakaen.”

Warga lokal takkan repot-repot mencerna itu semua. Lihat saja Kowi, seorang relawan mengajar yang raib suaranya akibat berbicara terlampau maruk. Leher jenjangnya serupa perosotan. Selicin itu pula vokalnya meluncur dan hilang rimbanya.

“Suara saya ketinggalan di Way Pampang,” ujarnya jenaka.
Baca selengkapnya »

Label:

Minggu, 09 Februari 2020

Burung-burung Kuntul

Dengan tidak terlampau ramai, wajah perempuan itu polos saja melalui keterlibatan bedak dan gincu yang nihil. Lekuk bibirnya ditarik simetris pada tiap-tiap emosi yang ia tunjukkan. Lekuk cekung kalau bergembira, sesekali lekuk cembung mulai ditunjukkan kalau muram. Anggaplah tidak terjadi apa-apa, lekuk horizontal dengan tekun bergelayutan pada gurat bibirnya. Aku selalu paham asal muasal kuketahui pengetahuan perihal perempuan itu. Namun, aku merupakan lelaki yang menunggu momentum.

Citra diri andalan miliknya yang amat kunanti: ngambek. Bahwa aku bersyukur perempuan itu merajuk dengan gemilang. Ngambek adalah kemewahan yang pada dirinya menjadi wadah untuk menunjukkan, bahwa pada situasi muram hati, perempuan itu menegaskan sisi diri paling memesona.

Namun, itu hanya perihal sesuatu yang lawas; sudah berlalu, usang, ditinggalkan, tak terurus dengan versi yang paling tidak kuinginkan.
Baca selengkapnya »

Label:

Jumat, 03 Januari 2020

Yatim yang Piatu

Di malam tahun baru yang penuh wira-wiri perayaan, aku mengutuk keras kembang api yang membikin kupingku ngilu. Percik-percik cahaya seperti ingin memetakan langit. Sungguh bodoh. Langit sudah hitam, tidak ada yang perlu lagi untuk dicari-cari. Sonar cahaya itu berpencar membentuk rupa kerangka bunga dandelion. Meskipun jutaan peleton kembang api secara serentak dinyalakan ke langit malam, akhir cerita akan tetap sama: langit akan tetap hitam. Laki-laki itu pun hadir, seolah aku, langit yang sedang hitam, dapat diberinya cahaya dengan kedatangannya yang membikin gaduh hidupku yang sudah serupa piring pecah.

Manusia gemar sekali merayakan. Apa pun dirayakan. Tahun baru dirayakan. Hari ibu dirayakan. Hari ayah dirayakan. Menurut hematku, tiga perayaan itu tak sepantasnya sama sekali dirayakan. Satu. Aku telah berhenti menghitung umurku. Dua. Ibu adalah karakter bawang merah yang selalu mengiris bagian tubuhnya itu ke selaput mata dan luka terbuka milikku. Tiga. Ayah adalah karakter fiksi yang nihil keberadaannya. Tahu-tahu. Dua orang yang dahulu pernah bersumpah setia malahan melibatkanku pada pertemuan di malam tahun baru yang membuat mual ketenanganku.

Satu-satunya alasanku hadir, hanya karena aku darah daging mereka. Pikirku mengutuk kecanggungan.
Baca selengkapnya »

Label:

Minggu, 08 Desember 2019

Pendulum yang Berhenti Mengayun

“Aku ingin mati barang sehari, hanya untuk mengetahui siapa yang peduli.”

Ucapan Em kutanggapi biasa kalabeberapa hari lalu—itu. Kalimat itu bukan perkara sekali aku dengar. Bagaimanapun, Em tidak mengungkit keseriusan pada omongannya perihal sehari. Perempuan itu adalah pembohong sekaliber kakap. Nyatanya, semua orang datang dan tak semua benar-benar peduli. Mungkin kaget, kebetulan sedang tak ada agenda, rumah dekat, dan pelbagai haltapi itu bukan berarti mereka peduli. Di hadapan makamnya yang dilumuri kembang, aku mengutuk Em sebagai pembohong yang melangkahiku. Sehari? Maksudmu selamanya? Kataku berbincang dengan papan kayu yang terukir namanya itu.

Ayunan pendulum milik Em telah genjat, entah karena talinya putus atau berhenti kelelahan. Namun, aku yakin kalau itu terputusdiputus secara paksa. Aku takjub pada caranya memilih mati. Tubuhnya lompat indah dari atap gedung kampus. Gravitasi ditantang. Tubuhnya koyak, hancur, tercerai-berai, mirip seperti piring pecah. Pegawai kampus heboh; dosen-dosen panik; mahasiswa bengong. Di haribaan kematian, intelektual organik itu hanyalah seonggok manusia. Setidaknya, mereka jadi punya objek obrolan. Setidaknya, mereka merasa diri lebih karena tak sejauh itu; perilaku mengutuk kematian sepihak.

Beberapa hari lalu kuremehkan dia. “Cara yang cukup jitu dan tidak rawan terendus,” kataku kepada Em, perihal tali tambang seukuran kelingking jarinya. “Tubuhmu akan melayang-layang berhari-hari, bahkan berminggu-minggu di dalam kamar, tergantung seberapa lama seonggok mayat dapat mengeluarkan bau tak sedap—dan tercium.
Baca selengkapnya »

Label:

Selasa, 03 Desember 2019

Dihidrogen Monyongsida

Anak sekecil itu berkelahi bukan dengan waktu, memang karena satu impian, dan benar pula acap kali tidurnya terganggu. Ibu Guru bertanya tentang cita-citanya kelak. Satu, dua, tiga, sekelas; dokter, polisi, polwan, presiden. Hanya dia yang tak dapat menerka ingin jadi apa. Dia bingung, mengapa profesi menjadi begitu penting: supaya jadi orang. Begitu katanya. Mengapa cita-cita harus diwujudkan melalui profesi. Lantas, bukannya aku sudah menjadi orang? Begitu kata Anak. Esok hari pun datang.

“Budi, sudah tahu cita-citanya apa?” Pertanyaan yang telah dinanti.
“Sudah, Bu.”
“Apa itu?”
“Aku ingin menciptakan alat yang dapat memisahkan hidrogen dan oksigendua hidrogen, lebih tepatnya.”
Ibu Guru menatap asingada kuriositas dari matanya.
“Supaya tidak ada lagi orang tenggelam.”

Oh, Budi, Budi, Budi. Ini adalah Budi. Bocah sekolah dasar di negara yang romansa lebih laku ketimbang fantasi. Jalan terjal untuk Budi.

Ibu Guru menahan komentarnya di akal. Budi, buih di samudra saja tak dapat dihitung, bagaimana caramu menakar volume lautan dengan alatmu beserta bobot orang yang tenggelam. Lantas, apa yang ingin kamu perbuat dengan hidrogen-hidrogen itu? Mengisi balon supaya terbang sehingga dapat membikin rumah melayang-layang seperti di kartun itu?

“Tepuk tangan untuk Budi!”

Label:

Senin, 11 November 2019

Laut yang Cocok untuk Seekor Gajah

Hari ini, aku melihat gajah tanpa belalai. Saat itu tak begitu jelas di mataku, telah lama aku menderita rabun jauh, tetapi tak kunjung kuselesaikan karena satu dan banyak hal. Di dalam kelas, kadang slides yang diberikan dosen tidak terlihat jelas tiap-tiap kalimatnya di mataku. Namun, sore itu, aku yakin belalai ituatau wawasan apa pun yang pernah kuingat tentangnyatelah berwujud serupa insang yang mengatup-ngatup.

Lagi dan lagi, segerombolan gajah itu berenang melintasi perahu yang kunaiki.

Santiago telah berlalu ketenangannya, bundar matanya awas, menerka makhluk apa yang melintas di hadapannya. Nelayan tua itu duduk, menahan nalar.

Setiap pergerakannya menimbulkan gelombang ringan ke perahu kami. Gajah tersebut lantas berperilaku familier dan muncul ke permukaan dengan kecepatan tinggi melompati udara.

Belakangan, di antara aliansi hewan, gajah menjadi salah satu penerima hak alam. Belakangan, hanya sepasang gading saja yang membuatku masih mengenali kalau hewan itu benar gajah. Belakangan, kepemilikan terhadap empat kaki, menjadi kurang relevan untuknya, sehingga ikut ditiadakan.

Muncul pengejawantahan yang benar-benar asing di hadapan kami berdua, lalu ia berkata, 

"Habitat yang cocok, bukan begitu?" Aku dan Santiago mengangguk gentar. Lalu kawanan gajah berbahagia mengarungi lautan yang tak terjamah kawananku.

Label: