Sabtu, 05 September 2020

Ikal (1)

Semakin bertambah usia, entah mengapa konotasi 'romantisme' semakin menggiringku untuk cenderung berpikiran sinis. Dahulu kala, kisah Ikal dan Arai adalah romantisme perjuangan yang asyik dan memberi harapan. Aku pertaruhkan banyak hal demi jaket kuning, hanya berbekal menamatkan Sang Pemimpi berkali-kali.

Namun, di buku-buku selanjutnya (kecuali Maryamah Karpov, karena aku kadung mengantuk ketika membacanya), ketika kutelusuri kisah selanjutnya dari petualangan di Sorbonne itu, kini begini pikirku: Mengapa Ikal berakhir mengenaskan di warung kopi? Ingatkah adegan di mana ibunda menerawang ijazahnya itu dan mempertanyakan kemampuan anaknya?

Sekembalinya mereka dari mengelilingi dunia itu, dari perjalanan epik penuh perjuangan bersama Arai. Pada akhirnya, Ikal harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya tetaplah lelaki kampung, udik, nan miskin. Sejauh apa pun pendidikan diemban, selokan awal tempat tumbuh kembang, diberikan internalisasi nila-nilai kehidupan, tetaplah di kampung dan miskin.

Kalau dahulu Pak Balia memberikan dorongan untuk menguasai industri, bukan saja pendidikan. Kalau saja Arai ikut campur untuk kian memanas-manasi Ikal, untuk membikin bisnis unggul tiada lawan. Karena sungguhlah terlampau aneh untukku, lulusan FEB UI itu berakhir menjadi pegawai mesin fotokopi, karyawan pos, dan beragam kerja serabutan. Namun, di antara dramatisasi itu, anggaplah begitu adanya, kemungkinan karena dia sendiri yang menginginkan itu: Mau sejauh apa pun sepak terjang, aku tetap lelaki melayu kampung udik yang menyukai komedi putar.

Label: ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda