Pepes Manusia
Meskipun Murakami1 membilang
bahwa menulis hanyalah upaya-upaya kecil untuk menyembuhkan diri, menurut
hematku ini, tidaklah sepenuhnya tepat. Banyak hal seiring umur yang kudamaikan
melalui menulis. Satu hal ini misalnya: kereta pagi dan petang yang penuh
sesak.
Di pagi hari pada peron-peron,
manusia berkerumun menunggu kedatangan kereta. Siku-siku dipersiapkan serupa
alat gulat. Selayaknya serdadu perang menerobos gerbang mencari tempat kosong.
Manusia-manusia seolah pakaian yang dijejalkan dalam sebuah koper sempit. Yang
penting muat, yang penting sampai tujuan. Berdempet-dempet menyerupai seonggok
pepes. Kelas-kelas pekerja ini—termasuk
aku—terlampau
biasa mengalami tragedi karir yang pilu.
Tengok saja perempuan yang terhimpit desakan tubuh-tubuh
harum-apek di kiri-kanan-depan-belakang. Seyogianya mahasiswa demonstrasi
yang saling himpit dengan pagar betis dan aparat. Kalau kereta rem mendadak,
terhunuslah dengan lautan tubuh dan badanku ini gepeng sudah kalaulah semacam
spons, dan akan semula kembali melalui proses menyakitkan.
Ini adalah simpanse tata krama. Bayangkan
berpuluh menit hingga sampai hitungan jam, berada pada situasi terhimpit
seperti ini. Kalau ada penumpang yang ingin turun peron, maka bersiap-siap saja
mencari cara keluar dari desakan samudra manusia. Bagaimana mungkin dapat
menerobos keluar tanpa membikin penyek sekitar.
Tak ada manusia normal yang
menginginkan rutinitas ini. Berkali-kali kupertanyakan sisi kewarasan dari
situasi paling sakit. Apakah ini sebuah kenormalan. Memangkah ini serangkaian
fase yang lazim dilewati. Waraskah keterbiasaan ini.
Aku tak pernah ingin sumpah serapah
kepada penguasa kebijakan. Toh ini pilihan aku dan sekalian mereka. Kuterima
dengan dada seluas-luasnya. Anggaplah saja proses berkarir. Tetapi apa kabarnya
manusia-manusia usia tua yang menurut standar metropolitan seharusnya telah
mandiri secara finansial dan tak perlulah menjadi sekrup-sekrup rutinitas.
Aku gusar sejadi-jadinya. Hati ini
resah tanpa ketulungan. Aku takkan tertolong kalau tidak menulis ini. Kegusaran
ini harus terlepas. Aku berdamai dengan serangkaian peristiwa pepes manusia
dengan menuliskannya. Pernahkah rasa lega menyergap jiwa selepas suatu nasib
buruk urung terjadi? Sedikit banyak, itulah yang kurasakan selepas menceritakan
ini melalui tulisan.
Ketika petang menghaturkan
kehadirannya, kupasrahkan tubuh ini berjejalan kembali dengan lautan manusia.
Pakaian mereka berkerah dan tak cocok dengan situasi ini, mana ada baju yang
penuh kesopanan itu necis dengan situasi gerbong yang penuh kerimbaan tata
krama. Dan aku tak luput dari kesamaan pakaian itu. Namun, dari berkali-kali
hari yang sudah lewat, dengan sebuah kekonyongan kusaksikan lelaki berpakaian
cerah perpaduan
merah-jingga, mencolok, dan begitu asing. Yang hendak
dilakukan olehnya selanjut ini amat berkesan dan membikin ricuh dalam waktu
bersamaan. Akan kutulis serangkaian peristiwa ini untuk berdamai dengan
keresahanku dan memanusiakan kewarasan diri ini, secuil apa pun upaya.
*
Kami sudah jengah. Ini harus disorot
serta disuarakan. Peduli nian dengan reaksi publik. Kami harus memanusiakan
spesies ini dengan upaya-upaya kecil. Kami harus melakukannya. Toleransi bukan
untuk hal-hal semacam ini. Setiap era harus disi oleh gerakan waras hati dan
pikiran. Bagaimana mungkin sekelumit keseharian diisi oleh mereka dengan
terhimpit raga-raga tak saling kenal.
Memanusiakan diri sendiri takkan
pernah luput dengan memanusiakan orang lain. Kami—saya beserta seorang
rekan—berencana
melayangan sebuah gerakan kecil untuk menyuarakan hal ini. Sastra adalah hal
terakhir yang kami pikirkan. Sebuah sajak telah dipersiapkan untuk menghadapi
kengawuran era. Sastra harus melawan.
Kampus
ini begitu dekat dengan stasiun. Pagi hari berdesakan, sorenya juga tak beda. Kami
memang seringkali merajuk kalau pulang-pergi ke kampus, kalau harus menghadapi
serangkaian proses yang begitu membludak oleh berduyun-duyun manusia merangsek
masuk ke gerbong, dan bertahan dengan gerombolan manusia yang menghimpit kami.
Seuprit apa pun, kegelisahan harus disampaikan, dan cara-cara klasik dengan
advokasi ke pemilik kebijakan takkan mempan. Desakan-desakan manusia di kereta
harus disampaikan melalui desakan publik.
“Saya
percayakan pembacaan sajak-sajak itu,” ucap seorang rekan, “akan terekam
sebagai ironi, kita akan pastikan ini disadari khalayak.”
Sore hari ini begitu cocok. Kami
gerakkan niat dan tubuh ini untuk menyatroni stasiun yang amat dekat dengan
kampus. Semua orang ingin pulang ke rumah. Semua orang bersiap-siap dengan kaki
yang kokoh dan begitu ramai menunggu kereta datang. Dari kejauhan, sudah
terlihat situasi di dalam gerbong yang membludak. Penumpang berduyun-duyun
berdiri menyergap kesiagapan memasuki kereta yang tak lama lagi akan berhenti
di hadapan. Ketika kereta itu berhenti, kami dan segenap penumpang yang lain
segera berdiri sejajar atau mendekatkan diri dengan pintu masuk. Tak ada satu
pun manusia yang dapat bersikap santai saja di hadapan sebuah gerbong. Seolah
ini adalah perlombaan yang harus dimenangkan. Kaki melangkah, kami telah berada
di dalam gerbong dengan situasi pelik. Tubuh-tubuh ini bukan hutang kredit
tetapi mengapa begitu menghimpit.
Sekeliling kami adalah serangkaian
manusia dengan dominasi baju-baju kantor. Tipikal pekerja. Keberuntungan ada di
pihak manusia yang mendapatkan jatah duduk dan tidur di bangku atau bahkan
berpura diri terlelap. Setiap tatapan penumpang adalah lautan ironi dari sebuah
era yang menuntut keterbiasaan ini. Kami berpendapat, kalau hal ini sungguh
mengerikan. Nurani kami dipertaruhkan. Manusia perlu ruang untuk bergerak.
Bahkan penjara saja tak separah ini. Kami dan seluruh penumpang seolah
terpenjara oleh serangkaian rutinitas harian menyiksa.
Rekanku menatap dengan raut muka yang saya tahu
bunyinya: “siapkah?”
Sebuah alat rekam dipersiapkan. Kaos
merah meronta-ronta lusuh di tubuh kami. Memang ini pakaian jelek, tetapi harum
sangat karena kami kasian oleh satu gerbong kalau baunya tak layak di hidung.
Saya berjarak tak jauh terhadap
seorang rekan. Setelah diterka sesaat, ini adalah jarak ideal di hadapan
kamera. Sajak-sajak itu telah dihafalkan, mana mungkin memegang selapis kertas
di situasi seperti ini. Menggerakkan kaki saja tak mampu, semua pijakan telah
penuh oleh kaki-kaki penumpang lain. Rekan itu kesulitan dengan tangan-tangannya
dan dengan terpaksa memberikan sebuah pemandangan ketiak kepada perempuan
mungil itu. Semua
hal telah siap.
Dengan sebuah anggukan kecil milik
rekan, nafas perlahan-lahan mengalami ketenangan dan keteraturan, dilafalkanlah
sajak-sajak itu bersama sejumlah keresahan seorang manusia yang tak rela
kaumnya diperlakukan sebuah era dengan ironi.
Selamat sore, beserta segenap rasa
rendah hati, kami haturkan saja-sajak ini di dalam gerbong:
“Desak-desak sepenjuru tubuh
Laki-Puan hilang batas intimasi
Ini bukan insang
Tapiku seekor pepes
Rawan privasi
Tak kenal maka himpitlah
Kita asing tapi sedekat ini
Satu gerbong berpeleton otak
Terdesak membikinnya nihil
Lihat spesiesmu ini!
Kakiku timur
Badanku mencari kitab suci
Sambut aku, Tuan Peron, seekor pepes manusia
Menyambar ruang-ruang kerja
Ini lazim sungguhlah perkara”
*
Setiap
orang di gerbong itu menyaksikan. Pembaca Murakami juga tak luput mukanya
dengan kemerindingan situasi. Baju kantornya lusuh tetapi pikirannya cerah. Tak
pernah situasi hatinya terpukau di keadaan pelik ini. Anak kampus berbalut kaos
merah sayup-sayup jingga itu begitu hanyut dalam sajaknya. Ada yang menggerutu
karena dianggap berisik. Tak sedikit juga yang khusyuk mendengarkan. Memang seyogyanya manusia dengan
sejumlah perangainya. Satu orang memanusiakan dirinya dan yang lain mencoba
menyampaikan kemanusiaannya.
____________
1 Haruki Murakami, seorang penulis berkebangsaan Jepang
dalam karyanya Dengarlah Nyanyian Angin.
Label: Cerpen
4 Komentar:
Salam kenal bang. Baca haruki murakami juga ya, Boleh rekom novel-novel surealis gak bang ?🙏🏽
Sukses terus blognya 👍🏽
wow siapa nih wkwk
Saya pembaca bang 🤟🏽
Jangan lupa tulisan yang baru di tunggu bang🙏🏽 Sama rekom bacaan yang bagus
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda