Kamis, 10 September 2020

Ikal (2)

Bukan hanya masa kecil, pun masa remaja dapat terpental jauh keindahan nostalgianya, sewaktu memikirkan kembali setelah dewasa. Untuk waktu yang lama, aku terus mencari Arai. Dan ternyata, mendapatkan kawan sedahsyat itu, lebih mustahil dari dongeng sekalipun. Di antara kawanku yang miskin, mayoritas letupan semangat dalam jiwanya telah direnggut realita. Untuk dapat mengembalikan api itu, diperlukan suatu keadaan khusus: diremehkan, atau bahkan dendam menahun.

Untuk bergerak, menyamakan tempo bersama orang-orang kaya, diperlukan suatu kebencian yang meledak-ledak terhadap situasi termutakhir: miskin menahun. Kalau sudah di pucuk, kuyakin jiwa menjadi abu dan gosong oleh api-api itu. Oleh karena itu, telah lama untukku meninggalkan motivasi berbasis kebencian.

Sebenarnya, aku mempunyai seorang Arai, dengan versi yang bertolak belakang. Dia mengajariku bahwa 'usaha tidak akan mengkhianati hasil' adalah sebuah kekonyolan. Melalui pelbagai sepak terjang yang kulalui, memang seyogianya aku hanya perlu pusing untuk memikirkan proses, ketimbang hasilnya.

Namun, untuk mengingat-ingat kembali, memang terdapat orang miskin yang betah terhadap keadaannya: Makin miskin dirinya, makin pahitlah kopinya itu. Bahkan ketika di dalamnya sengaja disisipi gula (tanpa perlu menambah bayaran) oleh pemilik kedai kopi, lelaki itu justru tak terima karena memang kepahitan adalah dirinya.

Untuk Ikal & Arai, beserta rekaan yang berkelindan di antara mereka berdua. Aku pamit diri.

Label: ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda