Aku adalah pengembara, dan pengembara tidak sepantasnya menambatkan diri pada sesuatu, senisbi apa pun
Nama yang tertambat padanya, menyirat makna
terhadap harapan. Semua orang mengharapkan harapan. Oleh karenanya,
namanya menjadi begitu umum karena semua berharap atas namanya. Namun, harapan
membuatku tanpa harapan, hingga memilih untuk tidak berharap pada dia dan nama perempuan
itu. Apalah arti nama, kata sekalian kamu. Tetapi sungguh mengertilah,
mendengar namanya menjadi jargon-jargon kamu sekalian, membikin aku meriang
kesurupan datar.
Pengembara. Untuk seorang pengembara, romansa
adalah pantangan. Kamu sekalian boleh saja tidak setuju, aku tidak peduli. Aku
peduli pada perempuan itu, kamu sekalian tidak peduli. Karena kamu sekalian
hanyalah perasaan-perasaan artifisial yang semu tapi terasa. Kenapa perempuan
itu tak melibatkanku? Tanyaku pada dini hari pukul tiga. Oalah, kamu yang
berharap tak ketulungan, melebihi ambang teritori yang seharusnya.
Iya, iya. Aku juga paham kalau kamu juga ingin
menjadi pengembara, suatu hari nanti. Aku cukup paham. Menyenangkan bersama
pengembara-pengembara penuh harap seperti kamu. Moga bertemu di siang bolong di
sudut Québec atau Edinburgh.
Kamu membuatku rindu dengan aroma
arang baru dibakar, kapuk baru dibakar, bantal baru dibakar. Hal-hal yang baru
dibakar sungguh merdu di penciumanku, sama seperti kamu yang katanya suka
dengan aroma aspal panas yang diguyur hujan. Kita berdua sungguh setipe dan itu
membuatku makin mendekat dan sesekali menjaga jarak. Ada sesuatu yang aneh yang
menyergap kuriositasku terhadap air mata milik
kamu yang disaksikan oleh objek abiotik: jendela bis.
Dahulu kamu merangkak, tetapi kenapa sekarang telah
berlari. Aku tak sempat mengejarmu karena larimu terlalu kencang. Kalau ingin
mengubah rute yang sama, sudah terlanjur, perlu aku selesaikan hingga akhir.
Sepasang kucing lucu menyaksikan aku menulis ini.
Katanya, duhai hooman, hapus lara milikmu, meski kamu mungkin
takkan pernah mengembara bersama harapan, setidaknya ada
harapan-harapan lain yang mungkin saja merupakan pengembara yang kebetulan
memiliki perjalanan satu arah denganmu.
Kucing itu melanjutkan, dengan mengibas-ngibas
ekornya: "Kamu menginginkan sesuatu yang terlalu spesifik.
Sebenarnya, kamu selalu tahu yang seharusnya kamu lakukan. Dia pernah bilang
kalau kamu adalah si realistis, tetapi kamu tahu pasti kalau kamu seorang
idealis dan konseptor tingkat perfeksionis. Hanya saja, kamu menahan itu semua
sampai di pikiran."
Aku berharap, dapat menerjemahkan judul
tersebut menjadi kalimat yang dapat menjelaskannya. Tidak. Terlalu sulit. Ini
telah terjadi sebelum-sebelumnya dan selalu dapat diatasi oleh seorang
pengembara sepertiku: nyeri, lupakan, dan lenyap. Aku selalu ahli menghilangkan
jejak. Cita-citaku dahulu ingin seperti Phunsukh Wangdu, meski dengan
kecerdasan sekadarnya. Tetapi tak ada yang hilang seadanya. Hilang adalah
lenyap. Ia nisbi melebihi kenyataan umum fenomena gunung es.
Tuan putri, rasaku nisbi
Memang kecut, tetapi nisbi
Perempuanku, aku kecut
Memang berwujud, yang penting mengerti
Aku berjoget sha la la, hanya sekali
seumur hidup
Untuk kamu
Kamu mencari-cari buku self-help,
pahadal hanya perlu berbicara
Bersama aku
Aku sadar, pengembara tidak selayaknya
begini, kecuali...
Sudah punya rumah tempat pulang
Aku tak pernah tahu, apa yang kamu
sadari
Jadi, aku pulang ke kamu, atau kamu
pulang ke aku
atau sama-sama pulang dengan satu rumah
tinggal
Aku yang pilih atau kamu?
Aku lupa bahwa perempuan itu sudah
memiliki rumah tempatnya melepas penat. Dengan segudang supporting
system sedekat rangkulannya. Maka, hendaknya aku mengacu pada satu hal
yang sungguh relevan: tahu diri. Tapi aku masih bingung mengapa dia tak pernah
melibatkanku terhadap kesehariannya yang juga sebenarnya, di atas kertas, aku
juga memiliki hak dan kewajiban untuk ikut terlibat.
Dalam sudut pandangku, ada satu pendapat yang cukup
beralasan: ia menganggapku seperti ia menganggap kamu sekalian. Aku adalah
orang yang kebetulan lewat dalam kehidupannya. Aku hanyalah orang yang
kebetulan berbincang hanya kalau bertemu tidak sengaja di pelbagai tempat yang
tak terhindarkan dari perjumpaan.
Hanya sebatas itu. Jadi, harus mafhum,
harus tahu diri. Pengembara selalu punya dasar pemikiran untuk pergi dari
singgah, terlebih untukku.
Kucing kembali mengambil alih: “coba
katakan beberapa hal terkait satu sama lain, mungkin saja perempuan itu membacanya.”
Berbincang denganku memang akan selalu
berakhir serius, dan aku tidak akan pernah lagi menyesalinya,
sesengit apa pun sekalian mereka sebagai kurator keseharianku. Duhai kamu, aku
bahkan berani jamin kalau kita takkan pernah lagi berbincang, kita berdua
adalah sahabat yang menjadi teman lalu asing satu sama lain. Namun, tak apa, karena
memang kesementaraan adalah hal paling umum yang dapat terjadi pada jenis kehidupan apa pun.
Label: Sembarang/Sebarang
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda