Minggu, 09 Februari 2020

Burung-burung Kuntul

Dengan tidak terlampau ramai, wajah perempuan itu polos saja melalui keterlibatan bedak dan gincu yang nihil. Lekuk bibirnya ditarik simetris pada tiap-tiap emosi yang ia tunjukkan. Lekuk cekung kalau bergembira, sesekali lekuk cembung mulai ditunjukkan kalau muram. Anggaplah tidak terjadi apa-apa, lekuk horizontal dengan tekun bergelayutan pada gurat bibirnya. Aku selalu paham asal muasal kuketahui pengetahuan perihal perempuan itu. Namun, aku merupakan lelaki yang menunggu momentum.

Citra diri andalan miliknya yang amat kunanti: ngambek. Bahwa aku bersyukur perempuan itu merajuk dengan gemilang. Ngambek adalah kemewahan yang pada dirinya menjadi wadah untuk menunjukkan, bahwa pada situasi muram hati, perempuan itu menegaskan sisi diri paling memesona.

Namun, itu hanya perihal sesuatu yang lawas; sudah berlalu, usang, ditinggalkan, tak terurus dengan versi yang paling tidak kuinginkan.
Langkahnya kaku dan kikuk selayaknya egrang dierang ringan beramai-ramai. Dia takut kegelapan, beserta hutan kampus, beserta gulita ketololan dialektika, beserta lain-lain perihal yang tak dapat kusebutkan satu demi satu. Dengan tap tap tap ringan, diraihnya jangkauan ke arahku yang sedang berjalan di seloroh trotoar kampus.
“Berkali-kali kukatakan, Paruh Panjang!” berserulah dirinya kepadaku.
“Tanpa tedeng aling-aling… ingin kubikin terpental lehermu!?” balasku sesaat di keramaian, membikin pusat perhatian beberapa detik.

Pasalnya selalu seirama. Tak sesuai selera. Tak sampai standar. Atau bahkan tak ingin saja tanpa alasan logis. Berkali-kali kukatakan dengan siasat paling diplomatis kepada Chief, bahwa memasangkan aku dengan dia adalah kekacauan paling gemilang. Bekerja sama dengan dirinya di divisi ini merupakan pertarungan berkelok tak berujung. Hanya mengganti rumusan dari perancangan konsep saja, perlu berdebat sengit bermenit-menit hingga terhitung jam.
Lingkung-lingkung ini menciptakan dua arah berlawanan: benar dan salah. Ini merupakan biang masalah. Ini tak cocok diterapkan padaku dan perempuan itu. Tak dapat kukatakan perihal siapa yang benar dan salah mengenai perdebatan ini. Dua titik akhir kalimat masing-masing ulah yang kami utarakan punya kekuatan dan kelemahan tipis; tak mudah dipilih salah satu saja secara serampangan.
“Aku selalu menikmati perkelahian kalian,” ucap Chief seenak jidat.
“Membujuk seorang perajuk bukan bagian dari tugasku!” pungkasku kilat.
“Siapa yang kamu maksud itu, Paruh Panjang!?” secepat lesatan peluru kembali dikembalikan kata-kataku.
“Sadari kehadiran gajah di pelupuk matamu!” pungkasku cepat.
“Ini! Beginilah latar belakangnya, paruhmu itu bermeter-meter seperti seekor kuntul mencapit ikan, terlampau maruk!” dibalasnya kembali dengan kecepatan dan tanpa keterbata-bataan sama sekali.

Chief hanya cekikik menahan ngakak. Bulir air matanya kian tampak. Dia lelaki bertipe mata basah ketika humor yang diterimanya terlampau deras. Kaca mata dilepasnya berkenaan dengan kelopak mata sembab itu.
Chief merupakan seorang senior. Direkrutnya aku di sebuah jumat sore pada peralihan mata kuliah wajib. Telah kudengar selintingan tentangnya yang bebal dan tengik. Namun, diakui berpikiran pendek untuk tindakan yang mengutuk keterlambatan berpikir. Ini membuatnya taktis, menyusuri gorong-gorong ibu kota, negosiasi setingkat diplomat untuk izin demonstransi, ancang-ancang lincah pada gas air mata yang siap meletup.
“Kudengar kau menulis,” kalimat pertamanya kepadaku.
“Satu dua kali,” kujawab sekenanya.
“Kudengar kau aneh,” kalimat keduanya kepadaku.
“Untuk satu dan dua alasan, mungkin saja.”
“Aku butuh sekutu untuk mengisi kajian sentral. Jabat tangan ini kalau ingin bergabung,” ucapnya secepat pertarungan cahaya dan bunyi.

Iris mata itu menantangku. Gidik-gidik semangat dialiri olehnya melalui jabat erat penuh kemapanan sikap. Genggam tangan itu meletup akan sesuatu yang besar menanti di ujung gang benturan. Segera setelah beberapa kali ayunan lengan itu, diberondongnya aku tentang rancangan persekutuan miliknya. Segera pula setelah kedua alisku bertautan sengit atas beban berat tersebut, Chief menyatroni ketenanganku.
“Ini bukan tugas individu milikmu. Tenang saja. Tak perlu begitu soliter,” ia tersenyum, “Ausi namanya. Ingat perempuan itu lekat-lekat.”
Printilan sikap telah kuterka. Ausi memperkirakan kemampuanku di awal jumpa; aku menakar kepribadiannya pada kesan pertama. Kebisaanku telah diterkanya. Ini terekam pada ungkapan yang dipilihnya dan kutanggapi biasa saja untuk mengetahui respons yang diberikannya.

Rival. Suatu kutub ekstrem beginilah kalau dipersatukan tanpa delta transisi. Delta penengah. Maka usaha kami sendiri yang dapat menggiring jembatan pemahaman supaya tiap-tiap kajian sentral dapat melipir sukses.

Maka, lantunan hari-hari adalah perihal Ausi dan pelbagai diskusi berliku mengenai konsep dan eksekusi. Pagi masih dirajang. Kuyakin embun masih bertengger di pelosok daun-daun bungur. Seloroh trotoar kampus basah oleh rintik dari langit. Begitulah adanya yang lalu telah terjadi, tap tap tap dari belakangku perlahan menjangkauku.
“Berkali-kali kukatakan, Paruh Panjang!” berserulah dirinya kepadaku.
Perlahan-lahan lekuk cembung merekah dari gurat bibirnya. Darurat! Teriakku bisu. Pada akhirnya, kecerdasan itu hanya akan memakan pemiliknya. Ausi kuakui punya seperangkat akal untuk merawat ide-ide. Namun, perlahan membikin dirinya termakan oleh energi entah dari mana yang melahap kebugaran beserta keselarasan sikap. Maka, yang sering kuprotes kepada Chief, adalah perihal tugas gandaku sebagai konselor Ausi.

Melalui serangkaian usaha, dengan strategi ulung, dan bersama beberapa gram keberuntungan, lekuk cekung dapat kutemukan kembali. Terutama kalau sudah berkaitan dengan: “Nai, ayo makan siang!” sesuatu yang merekah itu bernama senyuman.
Pada suatu masa yang jauh melewati pertemuan perdana kami berdua, Chief tergeletak pada suatu kasur putih dengan kaki-tangan berbalut perban berlapis kapas. Kabel infus terkandung cairan mengitari lelaki itu. Langkah-langkahku yang lalu menyusuri dan membaui pelbagai aroma obat, menggelitik bulu-bulu halus sekeliling lubang hidung.

Dengan sebuah ketengikan paling gemilang, Chief tersenyum saja ketika aku menerobos kumpulan akademisi yang berkerubun pada sekeliling tubuh lemasnya. Kalau hari biasa, satu dua kali kebisaanku untuk menamparnya di muka akibat tak tahu, bahwasanya pada sebuah permainan catur sekalipun, pion akan selalu dikorbankan ketimbang raja.

Memang Chief bukan raja atas kami, tetapi siapa lagi yang mampu (dan ingin!) mengendarai jalan benturan ini.

Ausi duduk pada sebuah sikap dingin dengan lekukan horizontal tanpa emosi sama sekali; aku merasa kehilangan atas sesuatu yang aku sendiri tak paham.
Aku tak pernah merasa paham atas semua hal; terutama Ausi. Dia membentukku untuk bersikap tak menentu; dia merupakan pribadi tak terbaca (sejujurnya) dan itu membikin aku terpukul berlebihan.

Aku tak sempat menanyakan perihal Paruh Panjang beserta kuntul-kuntul hinaannya kepadaku; terutama jika tersinggung ataupun ngambek kepadaku. Aku tak sempat. Ausi dengan sebuah kekonyongan kelas wahid, menghilangkan rimbanya di hadapanku.

Sejujurnya, hal ini tak layak kulamunkan. Toh menghilangnya perempuan itu memang selaras dengan kajian sentral yang telah tutup masa kerja. Keseharianku yang tak lekang oleh pergumulan kesabaran akibat menanggulangi perangai Ausi, menjadi begitu hampa selepas pembubaran.

Aku tak pernah tahu bagaimana Ausi kepadaku. Kalau memang dianggapnya aku individu pada lingkup hubungan kerja, mengapa perlu sekali untukku mengaitkan urusan personal kepada Ausi demi kegemilangan divisi ini.
Meski tengik, tetapi pun tetap kurindukan. Chief dapat saja tersenyum tanpa rasa sendat. Kalau mati ya mati saja. Aku yang akan membantumu terkubur tanah makam. Namun, kami yang merupakan pion-pion zaman, dengan beruntungnya masih dapat dipersembahkan oleh bersit-bersit senyum Chief. Isu-isu yang menyinggung banyak kepentingan memang sebijaknya dihindari, serupa ranjau di lapangan yang semakin membikin pelan lari-lari pelari.
“Mengapa menantang banyak resiko, dengan signifikansi yang tak jelas tampak?” tanyaku saat Chief masih terseok-seok kebugarannya.
            “Dunia butuh seorang idealis nan naif,” padaku dikatakannya dengan teguh.
            “Aku tak pernah ingin,” diucapkannya padaku dengan keadaan kenyang. Makan siang telah ditunaikan. Keselarasan paska berpikir, terus-menerus kembali menghampiri perempuan itu. Ausi berkali lipat merapatkan perdebatannya denganku dan Chief perihal rencana kajian sentral untuk menekuri suatu isu. Akhir-akhir ini situasi gerah. Ausi makin sering ngambek.
            “Jangan bosan untuk sabar,” kata perempuan itu dengan keselarasan berpikir.
            “Enyah dan pergilah!” kata perempuan itu dengan melibatkan ngambek-nya.
Dengan situasi lapar yang nihil, lutut-lutut itu melipir dan sesekali memangku tangannya berkenaan dengan suatu keadaan Ausi yang tengah berpikir akan sesuatu yang mungkin akhir-akhir ini disadari sepenuhnya bahwasanya ngambek ialah tantangan utama yang dirunutkan secara konsisten kepadaku; Ausi, dengan segala kerendahan hati dan tak lagi tampak keakuan yang selaras dengan intelektualitasnya itu, membungkuk dengan sikap punggung yang hormat dan terpekur beberapa detik seraya berkalimat:
“Naima, tidak ada barang secuilpun aku tidak pernah merasa merepotkanmu dan itu cukup menghampiri rasa bersalahku. Namun, apa apa yang sedang kita kerjakan adalah sesuatu yang lebih besar ketimbang diri kita sendiri, bahkan diri seluruh jajaran persekutuan digabung sekalipun. Dengan segala hormatku kepada kamu, aku berterimakasih atas segala upayamu terhadapku.”
Seloroh trotoar kampus semacam memperingati nyepi; polos oleh kehadiran akademisi yang biasa mondar-mandir dan sekarang kehilangan sosok lalu-lalang.

Telah satu musim berlalu yang menjaga jarak sekarang dengan berakhirnya kebugaran Chief. Apa apa yang terjadi, telah berlalu. Kedua orang itu tak mengerti aku rimbanya. Chief baru-baru ini kudengar selintingan tentangnya dan berada pada kebugaran yang selaras. Perihal Ausi yang tidak kuketahui. Perihal yang kupenasarankan.

Kelas demi kelas telah termaktub. Padanya aku menyibukkan diri. Pada kesan terakhir kepada Ausi dengan suatu yang belum tuntas. Pada pohon-pohon bungur yang menjadi saksi mata penyebutan kuntul oleh Ausi kepadaku. Paruhku memang panjang, aku memang banyak cakap, dan kemarukan berargumen memang kulakukan sebagai upaya keseimbangan terhadap kamu yang terlalu cekatan bercakap.
Tahu-tahu saja, lelaki tengik itu menawarkan kehadiran dirinya.
“Kajian Sentral akan terus berlanjut, dan kamu yang memimpin. Dan aku tidak menerima penolakan.”
“Diam dan ikuti saja.”
Pesan lelaki tengik kuikuti bulat-bulat. Apel pertama persekutuan. Pelbagai akademisi berkumpul, beberapa wajah familier nampak dan kurasa satu dua dari mereka dahulu yang juga hadir menengok kesehatan Chief.

Pada seloroh pelataran gedung kampus yang teguh. Pada orasi pertama untuk mempertegas visi dan misi. Kerumuman menjadi semrawut, menunggu untuk dimulai, dan aku paham pada sebuah penemuan hari itu.
“Selamat datang, orang-orang yang siap terbentur, saya yang akan mengarahkan persekutuan ini dalam setahun kedepan,” perempuan yang biasa ngambek itu, tak pernah sesumringah momen ini dan menebar aroma optimisme yang fabrikasi menurutku, “selamat berjuang!”
Tak sedikit perihalnya yang berubah, maka sangatlah banyak yang tak kuinginkan. Di saat persekutuan menyebut Ausi sebagai pengganti yang lebih taktis dan kokoh, aku yang menjadi pertama untuk membelot dalam hati. Meski kutahan sekuat jidat. Sekarang, Ausi bukan rekan, melainkan atasan. Telah kutahan apa pun perihal ikatan personal tentangnya.

Dengan keterlibatan bedak dan gincu yang masih saja nihil—hanya ini satu-satunya yang tidak berubah, wajah Ausi hampir seharian menebar lekuk cekung ke tiap-tiap sekutu. Perangai yang asing. Tak mungkin. Tidak sepatutnya. Penuh kepura-puraan.
“Aku sangat menunggu pergerakan lincah terhadap kajian divisimu,” dikatakan perempuan itu kepadaku dengan senyuman holistik, sebuah senyum tanpa kecacatan sama sekali. Di haribaan persekutuan diucapkannya. Aku tidak nyaman denganmu tempo kini, Ausi, sebab teriring kepura-puraan. Dengan terbeban senyum, Ausi berlalu ke pelbagai divisi yang lainnya.
“Benar ini rencanamu sedari lampau?” kuucapkan dengan desakan.
“Ausi adalah yang paling gemilang, dan kamu telah merawatnya sedemikian rupa. Dengan penuh rasa hormat, maaf telah memanfaatkanmu,” Chief tak pernah semuram itu.

Lalu, kujawab bahwasanya aku bersyukur pernah membersamai perempuan sepantas itu. Menyenangkan dan akan selalu seperti itu. Chief, melalui segumpal strategi agar pergerakan gemilang lantas berlanjut, telah lama mengukur kemampuan Ausi dan kebisaanku untuk memolesnya. Meski aku tak dapat lebih dari sekadar tangan kanan perjuangan.

“Aku mengerti apa yang bergolak padamu,” Chief memantaskan kata-katanya, “ada sisi dirimu yang tidak rela terhadap Ausi yang sudah tidak berjalan beriringan denganmu. Cepat bahkan lambat, kita mesti sadar bahwa dia telah berlari di hadapanmu.”
Aku yang merindukan ngambeknya. Kuakui sekuat jidat. Sisi melankolis membikin hatiku berkabut. Sisi ini tak pernah kuinginkan. Kusadari senyuman holistiknya, melalui penuturan Chief, adalah tuntutan untuk setiap Chief.

Pada seutas jarak di seloroh trotoar kampus yang lalu-lalangnya lumayan, aku menyaksikan Ausi berjalan mendahuluiku. Ketika sisi diriku ingin untuk membilang: “Biarkanlah aku, seekor burung kuntul yang menjadi batu pijakan setiap orang yang ingin berkembang dan terbang untuk mencari sosok lainnya.”

Aku melawan sisi yang tak kuinginkan. Lalu berteriak atas namanya. Dan tanpa keterbataan sama sekali, sebuah kelegaan nampak pada perempuan itu yang bukan hanya lehernya semata, tetapi keseluruhan tubuhnya menengokku. Sebuah kepura-puraan lekuk cembung dihadirkan ke arahku. Lantas dengan tanpa kepura-puraan sama sekali, lekuk cekung dirinya bersemayam untukku.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda