Burung-burung Kuntul
Dengan
tidak terlampau ramai, wajah perempuan itu polos saja melalui
keterlibatan bedak dan gincu yang nihil. Lekuk bibirnya ditarik simetris pada tiap-tiap
emosi yang ia tunjukkan. Lekuk cekung kalau bergembira, sesekali lekuk cembung
mulai ditunjukkan kalau muram. Anggaplah tidak terjadi apa-apa, lekuk
horizontal dengan tekun bergelayutan pada gurat bibirnya. Aku selalu paham asal
muasal kuketahui pengetahuan perihal perempuan itu. Namun, aku merupakan lelaki
yang menunggu momentum.
Citra
diri andalan miliknya yang amat kunanti: ngambek. Bahwa aku
bersyukur perempuan itu merajuk dengan gemilang. Ngambek adalah kemewahan yang
pada dirinya menjadi wadah untuk menunjukkan, bahwa pada situasi muram hati,
perempuan itu menegaskan sisi diri paling memesona.
Namun,
itu hanya perihal sesuatu yang lawas; sudah berlalu, usang, ditinggalkan, tak
terurus dengan versi yang paling tidak kuinginkan.
—
Langkahnya
kaku dan kikuk selayaknya egrang dierang ringan beramai-ramai. Dia takut
kegelapan, beserta hutan kampus, beserta gulita ketololan dialektika, beserta
lain-lain perihal yang tak dapat kusebutkan satu demi satu. Dengan tap
tap tap ringan, diraihnya jangkauan ke arahku yang sedang berjalan di
seloroh trotoar kampus.
“Berkali-kali kukatakan, Paruh
Panjang!” berserulah dirinya kepadaku.
“Tanpa tedeng aling-aling… ingin
kubikin terpental lehermu!?” balasku sesaat di keramaian, membikin pusat
perhatian beberapa detik.
Pasalnya
selalu seirama. Tak sesuai selera. Tak sampai standar. Atau bahkan tak ingin
saja tanpa alasan logis. Berkali-kali kukatakan dengan siasat paling diplomatis
kepada Chief, bahwa memasangkan aku dengan dia adalah kekacauan paling
gemilang. Bekerja sama dengan dirinya di divisi ini merupakan pertarungan
berkelok tak berujung. Hanya mengganti rumusan dari perancangan konsep saja,
perlu berdebat sengit bermenit-menit hingga terhitung jam.
—
Lingkung-lingkung
ini menciptakan dua arah berlawanan: benar dan salah. Ini merupakan biang
masalah. Ini tak cocok diterapkan padaku dan perempuan itu. Tak dapat kukatakan
perihal siapa yang benar dan salah mengenai perdebatan ini. Dua titik akhir
kalimat masing-masing ulah yang kami utarakan punya kekuatan dan kelemahan
tipis; tak mudah dipilih salah satu saja secara serampangan.
“Aku selalu menikmati perkelahian
kalian,” ucap Chief seenak jidat.
“Membujuk seorang perajuk bukan bagian
dari tugasku!” pungkasku kilat.
“Siapa yang kamu maksud itu, Paruh
Panjang!?” secepat lesatan peluru kembali dikembalikan kata-kataku.
“Sadari kehadiran gajah di pelupuk
matamu!” pungkasku cepat.
“Ini! Beginilah latar belakangnya,
paruhmu itu bermeter-meter seperti seekor kuntul mencapit ikan, terlampau
maruk!” dibalasnya kembali dengan kecepatan dan tanpa keterbata-bataan sama
sekali.
Chief
hanya cekikik menahan ngakak. Bulir air matanya kian tampak. Dia
lelaki bertipe mata basah ketika humor yang diterimanya terlampau deras. Kaca
mata dilepasnya berkenaan dengan kelopak mata sembab itu.
—
Chief
merupakan seorang senior. Direkrutnya aku di sebuah jumat sore pada peralihan
mata kuliah wajib. Telah kudengar selintingan tentangnya yang bebal dan tengik.
Namun, diakui berpikiran pendek untuk tindakan yang mengutuk keterlambatan
berpikir. Ini membuatnya taktis, menyusuri gorong-gorong ibu kota, negosiasi
setingkat diplomat untuk izin demonstransi, ancang-ancang lincah pada gas air
mata yang siap meletup.
“Kudengar kau menulis,” kalimat
pertamanya kepadaku.
“Satu dua kali,” kujawab sekenanya.
“Kudengar kau aneh,” kalimat keduanya
kepadaku.
“Untuk satu dan dua alasan, mungkin
saja.”
“Aku butuh sekutu untuk mengisi kajian
sentral. Jabat tangan ini kalau ingin bergabung,” ucapnya secepat pertarungan
cahaya dan bunyi.
Iris
mata itu menantangku. Gidik-gidik semangat dialiri olehnya melalui jabat erat
penuh kemapanan sikap. Genggam tangan itu meletup akan sesuatu yang besar
menanti di ujung gang benturan. Segera setelah beberapa kali ayunan lengan itu,
diberondongnya aku tentang rancangan persekutuan miliknya. Segera pula setelah
kedua alisku bertautan sengit atas beban berat tersebut, Chief menyatroni ketenanganku.
“Ini bukan tugas individu milikmu.
Tenang saja. Tak perlu begitu soliter,” ia tersenyum, “Ausi namanya. Ingat
perempuan itu lekat-lekat.”
—
Printilan
sikap telah kuterka. Ausi memperkirakan kemampuanku di awal jumpa; aku menakar
kepribadiannya pada kesan pertama. Kebisaanku telah diterkanya. Ini terekam
pada ungkapan yang dipilihnya dan kutanggapi biasa saja untuk mengetahui
respons yang diberikannya.
Rival.
Suatu kutub ekstrem beginilah kalau dipersatukan tanpa delta transisi. Delta
penengah. Maka usaha kami sendiri yang dapat menggiring jembatan pemahaman
supaya tiap-tiap kajian sentral dapat melipir sukses.
Maka,
lantunan hari-hari adalah perihal Ausi dan pelbagai diskusi berliku mengenai
konsep dan eksekusi. Pagi masih dirajang. Kuyakin embun masih bertengger di
pelosok daun-daun bungur. Seloroh trotoar kampus basah oleh rintik dari langit.
Begitulah adanya yang lalu telah terjadi, tap tap tap dari
belakangku perlahan menjangkauku.
“Berkali-kali kukatakan, Paruh
Panjang!” berserulah dirinya kepadaku.
Perlahan-lahan
lekuk cembung merekah dari gurat bibirnya. Darurat! Teriakku
bisu. Pada akhirnya, kecerdasan itu hanya akan memakan pemiliknya. Ausi kuakui
punya seperangkat akal untuk merawat ide-ide. Namun, perlahan membikin dirinya
termakan oleh energi entah dari mana yang melahap kebugaran beserta keselarasan
sikap. Maka, yang sering kuprotes kepada Chief, adalah perihal tugas gandaku
sebagai konselor Ausi.
Melalui
serangkaian usaha, dengan strategi ulung, dan bersama beberapa gram
keberuntungan, lekuk cekung dapat kutemukan kembali. Terutama kalau sudah
berkaitan dengan: “Nai, ayo makan siang!” sesuatu yang merekah itu bernama
senyuman.
—
Pada suatu masa yang jauh melewati pertemuan perdana kami
berdua, Chief tergeletak pada suatu kasur putih dengan kaki-tangan berbalut
perban berlapis kapas. Kabel infus terkandung cairan mengitari lelaki itu.
Langkah-langkahku yang lalu menyusuri dan membaui pelbagai aroma obat,
menggelitik bulu-bulu halus sekeliling lubang hidung.
Dengan sebuah ketengikan paling gemilang, Chief tersenyum
saja ketika aku menerobos kumpulan akademisi yang berkerubun pada sekeliling
tubuh lemasnya. Kalau hari biasa, satu dua kali kebisaanku untuk menamparnya di
muka akibat tak tahu, bahwasanya pada sebuah permainan catur sekalipun, pion
akan selalu dikorbankan ketimbang raja.
Memang Chief bukan raja atas kami, tetapi siapa lagi yang
mampu (dan ingin!) mengendarai jalan benturan ini.
Ausi duduk pada sebuah sikap dingin dengan lekukan horizontal
tanpa emosi sama sekali; aku merasa kehilangan atas sesuatu yang aku sendiri
tak paham.
—
Aku tak pernah merasa paham atas semua hal; terutama Ausi.
Dia membentukku untuk bersikap tak menentu; dia merupakan pribadi tak terbaca
(sejujurnya) dan itu membikin aku terpukul berlebihan.
Aku tak sempat menanyakan perihal Paruh Panjang beserta
kuntul-kuntul hinaannya kepadaku; terutama jika tersinggung ataupun ngambek
kepadaku. Aku tak sempat. Ausi dengan sebuah kekonyongan kelas wahid,
menghilangkan rimbanya di hadapanku.
Sejujurnya, hal ini tak layak kulamunkan. Toh menghilangnya
perempuan itu memang selaras dengan kajian sentral yang telah tutup masa kerja.
Keseharianku yang tak lekang oleh pergumulan kesabaran akibat menanggulangi
perangai Ausi, menjadi begitu hampa selepas pembubaran.
Aku tak pernah tahu bagaimana Ausi kepadaku.
Kalau memang dianggapnya aku individu pada lingkup hubungan kerja, mengapa
perlu sekali untukku mengaitkan urusan personal kepada Ausi demi kegemilangan
divisi ini.
—
Meski tengik, tetapi pun tetap kurindukan. Chief dapat saja
tersenyum tanpa rasa sendat. Kalau mati ya mati saja. Aku yang akan membantumu
terkubur tanah makam. Namun, kami yang merupakan pion-pion zaman, dengan
beruntungnya masih dapat dipersembahkan oleh bersit-bersit senyum Chief.
Isu-isu yang menyinggung banyak kepentingan memang sebijaknya dihindari, serupa
ranjau di lapangan yang semakin membikin pelan lari-lari pelari.
“Mengapa menantang
banyak resiko, dengan signifikansi yang tak jelas tampak?” tanyaku saat Chief
masih terseok-seok kebugarannya.
“Dunia
butuh seorang idealis nan naif,” padaku dikatakannya dengan teguh.
—
“Aku
tak pernah ingin,” diucapkannya padaku dengan keadaan kenyang. Makan siang
telah ditunaikan. Keselarasan paska berpikir, terus-menerus kembali menghampiri
perempuan itu. Ausi berkali lipat merapatkan perdebatannya denganku dan Chief
perihal rencana kajian sentral untuk menekuri suatu isu. Akhir-akhir ini situasi
gerah. Ausi makin sering ngambek.
“Jangan
bosan untuk sabar,” kata perempuan itu dengan keselarasan berpikir.
“Enyah
dan pergilah!” kata perempuan itu dengan melibatkan ngambek-nya.
Dengan
situasi lapar yang nihil, lutut-lutut itu melipir dan sesekali memangku
tangannya berkenaan dengan suatu keadaan Ausi yang tengah berpikir akan sesuatu
yang mungkin akhir-akhir ini disadari sepenuhnya bahwasanya ngambek ialah
tantangan utama yang dirunutkan secara konsisten kepadaku; Ausi, dengan segala
kerendahan hati dan tak lagi tampak keakuan yang selaras dengan
intelektualitasnya itu, membungkuk dengan sikap punggung yang hormat dan
terpekur beberapa detik seraya berkalimat:
“Naima, tidak ada barang
secuilpun aku tidak pernah merasa merepotkanmu dan itu cukup menghampiri rasa
bersalahku. Namun, apa apa yang sedang kita kerjakan adalah sesuatu yang lebih
besar ketimbang diri kita sendiri, bahkan diri seluruh jajaran persekutuan
digabung sekalipun. Dengan segala hormatku kepada kamu, aku berterimakasih atas
segala upayamu terhadapku.”
—
Seloroh trotoar kampus semacam memperingati nyepi; polos oleh
kehadiran akademisi yang biasa mondar-mandir dan sekarang kehilangan sosok
lalu-lalang.
Telah satu musim berlalu yang menjaga jarak sekarang dengan
berakhirnya kebugaran Chief. Apa apa yang terjadi, telah berlalu. Kedua orang
itu tak mengerti aku rimbanya. Chief baru-baru ini kudengar selintingan
tentangnya dan berada pada kebugaran yang selaras. Perihal Ausi yang tidak
kuketahui. Perihal yang kupenasarankan.
Kelas demi kelas telah termaktub. Padanya aku menyibukkan
diri. Pada kesan terakhir kepada Ausi dengan suatu yang belum tuntas. Pada
pohon-pohon bungur yang menjadi saksi mata penyebutan kuntul oleh
Ausi kepadaku. Paruhku memang panjang, aku memang banyak cakap, dan kemarukan
berargumen memang kulakukan sebagai upaya keseimbangan terhadap kamu yang
terlalu cekatan bercakap.
Tahu-tahu saja, lelaki tengik itu menawarkan kehadiran
dirinya.
“Kajian Sentral akan
terus berlanjut, dan kamu yang memimpin. Dan aku tidak menerima penolakan.”
—
“Diam dan ikuti saja.”
Pesan lelaki tengik kuikuti bulat-bulat. Apel pertama
persekutuan. Pelbagai akademisi berkumpul, beberapa wajah familier nampak dan
kurasa satu dua dari mereka dahulu yang juga hadir menengok kesehatan Chief.
Pada seloroh pelataran gedung kampus yang teguh. Pada orasi
pertama untuk mempertegas visi dan misi. Kerumuman menjadi semrawut, menunggu
untuk dimulai, dan aku paham pada sebuah penemuan hari itu.
“Selamat datang,
orang-orang yang siap terbentur, saya yang akan mengarahkan persekutuan ini
dalam setahun kedepan,” perempuan yang biasa ngambek itu, tak pernah
sesumringah momen ini dan menebar aroma optimisme yang fabrikasi menurutku,
“selamat berjuang!”
—
Tak sedikit perihalnya yang berubah, maka sangatlah banyak
yang tak kuinginkan. Di saat persekutuan menyebut Ausi sebagai pengganti yang
lebih taktis dan kokoh, aku yang menjadi pertama untuk membelot dalam hati.
Meski kutahan sekuat jidat. Sekarang, Ausi bukan rekan, melainkan atasan. Telah
kutahan apa pun perihal ikatan personal tentangnya.
Dengan keterlibatan bedak dan gincu yang masih saja
nihil—hanya ini satu-satunya yang tidak berubah, wajah Ausi hampir seharian
menebar lekuk cekung ke tiap-tiap sekutu. Perangai yang asing. Tak mungkin.
Tidak sepatutnya. Penuh kepura-puraan.
“Aku sangat menunggu
pergerakan lincah terhadap kajian divisimu,” dikatakan perempuan itu kepadaku
dengan senyuman holistik, sebuah senyum tanpa kecacatan sama sekali. Di
haribaan persekutuan diucapkannya. Aku tidak nyaman denganmu tempo kini, Ausi,
sebab teriring kepura-puraan. Dengan terbeban senyum, Ausi berlalu ke pelbagai
divisi yang lainnya.
—
“Benar ini rencanamu
sedari lampau?” kuucapkan dengan desakan.
“Ausi adalah yang
paling gemilang, dan kamu telah merawatnya sedemikian rupa. Dengan penuh rasa
hormat, maaf telah memanfaatkanmu,” Chief tak pernah semuram itu.
Lalu, kujawab bahwasanya aku bersyukur pernah membersamai
perempuan sepantas itu. Menyenangkan dan akan selalu seperti itu. Chief,
melalui segumpal strategi agar pergerakan gemilang lantas berlanjut, telah lama
mengukur kemampuan Ausi dan kebisaanku untuk memolesnya. Meski aku tak dapat
lebih dari sekadar tangan kanan perjuangan.
“Aku mengerti apa yang
bergolak padamu,” Chief memantaskan kata-katanya, “ada sisi dirimu yang tidak
rela terhadap Ausi yang sudah tidak berjalan beriringan denganmu. Cepat bahkan
lambat, kita mesti sadar bahwa dia telah berlari di hadapanmu.”
—
Aku yang merindukan ngambeknya. Kuakui sekuat jidat. Sisi
melankolis membikin hatiku berkabut. Sisi ini tak pernah kuinginkan. Kusadari
senyuman holistiknya, melalui penuturan Chief, adalah tuntutan untuk
setiap Chief.
Pada seutas jarak di seloroh trotoar kampus yang
lalu-lalangnya lumayan, aku menyaksikan Ausi berjalan mendahuluiku. Ketika sisi
diriku ingin untuk membilang: “Biarkanlah aku, seekor burung kuntul yang
menjadi batu pijakan setiap orang yang ingin berkembang dan terbang untuk
mencari sosok lainnya.”
Aku melawan sisi yang tak kuinginkan. Lalu berteriak atas
namanya. Dan tanpa keterbataan sama sekali, sebuah kelegaan nampak pada
perempuan itu yang bukan hanya lehernya semata, tetapi keseluruhan tubuhnya
menengokku. Sebuah kepura-puraan lekuk cembung dihadirkan ke arahku. Lantas
dengan tanpa kepura-puraan sama sekali, lekuk cekung dirinya bersemayam
untukku.
Label: Cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda