Ikan ikan apa yang tongkol?
Biarkanlah cerpen ini menggiring bukti kepemilikan kalau kita pernah
bersama. (1)
Untuk kawan-kawan Kota Karang dan GUIM; dan segala
aspek kehidupan yang karenanya raga nan hati kita bertautan. (2)
Ditulis dengan suplemen Don
McLean melalui Vincent; hikmah dari sepotong kuping milik Van Gogh.
(3)
Selamat membaca prosa ngawur ini; ayolah, semusim
dan semusim lagi, kita angkat sauh dan berpencar untuk berlabuh. (4)
Senyata apa pun, anggap saja ini sebagai karya
fiksi. (5)
—
Serangkaian
Unek-unek Saras
Pukul lima sore, langit pesisir ini ketumpahan
violet sehingga lembayung mencuat tanpa malu-malu, membentuk lukisan langit.
Palet-palet kosong berbekas putih, jingga, dan biru. Ombak-ombak berulah dan
berontak serupa didadar oleh angin samudra. Gulungan itu makin kencang,
kejar-kejaran, hingga bibir pantai barulah reda dan kembali surut. Sisi timur
pantai kedatangan oleh kawanan air sungai yang berkuala pada surutan laut.
Mereka berdampingan oleh sisi barat pantai yang berjarak dekat saja pada
pematang sawah.
Pada dekorasi geografis itu, sebuah Sekolah Dasar
(SD) menggandeng pantai dengan suatu tanggul tinggi pembatas riak-riak lautan
dengan bangunan pendidikan tersebut. Segerombolan pemuda-pemudi merakit asa.
Mereka disebut relawan. Relawan mengajar sebetulnya. Satu dua dari mereka
mungkin saja telah khatam menjelaskan bahwa adalah kekeliruan menyebut kegiatan
mereka sebagai Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Untuk mempersingkat perkenalan, KKN adalah sebuah
kekaprahan ketimbang: “kami adalah gerakan pendidikan yang tujuannya
mengajar di daerah pelosok dan berfokus pada sekolah dasar. Ini adalah inisiasi
murni mahasiswa dan bukan kakaen.”
Warga lokal takkan repot-repot mencerna itu semua.
Lihat saja Kowi, seorang relawan mengajar yang raib suaranya akibat berbicara
terlampau maruk. Leher jenjangnya serupa perosotan. Selicin itu pula vokalnya
meluncur dan hilang rimbanya.
Way Pampang menciptakan kawanan riak sungai dan akhirnya bertamu dengan lautan. Muara itu adalah perkelahian di antara air tawar dan air asin.
Dekat saja dari pelbagai dekorasi geografis yang
tadi-tadi sudah dipaparkan, sebuah rumah panggung disebut oleh mereka
sebagai rumpan—rumah panitia. Sesungguhnya, rumah itu bukan milik
mereka—panitia dari relawan mengajar itu. Itu merupakan milik warga setempat
dan lantai duanya dibikin sebagai markas keseharian.
Sepanjang januari ini panitia dan pengajar
berjibaku. Salah satunya perihal mempersiapkan penampilan kelas untuk pentas
seni. Disebut oleh mereka sebagai Pesta Rakyat. Karena anak-anak SD
merupakan rakyat, anggap saja seperti itu adanya.
“Kamu
memegang kelas itu.”
Kelas itu merupakan biang
kebangoran, begitu katanya. Anak-anak itu begundal tiada tara. Kalau tidak
sekeras hantaman lembing yang dilempar, guru saja dapat ditantangnya. Sebagai
pengajar kelas itu yang membersamai guru kelas, Saras keukeuh
merawat nalarnya. Wajar saja, begundal-begundal itu memang mengikis banyak
energi.
—
Aku sedang duduk meski tanpa kedudukan. Pada
tanggul tinggi pembatas sekolah dan pantai. Di bawahku bermukim berupa-rupa
sampah domestik. Desa ini, sejelasan sinar mentari tanpa awan, mendambakan
serangkaian tempat pembuangan sampah yang layak. Aku tak banyak pongah meski
tanpa kedudukan. Kalau lukisan langit petang dapat kulihat tiap sore, yang
jingga-jingga tiga dimensi itu, beserta simfoni lautan yang melibatkan
pertarungan karang dan ombak.
Saras masih berkutat dengan anak-anak. Kuterka
dengan terkaman bola mata yang paling presisi, wajah perempuan asia tenggara
yang membuatku betah. Aku tak perlu ke ruang angkasa hanya untuk membuktikan
sistem tata surya yang paripurna keteraturan lokasinya. Kalau berlama menatap
mukanya dengan resiko ketahuan, aku percaya dengan persentase tak hingga, kalau
tata letak mata, hidung, alis, mulut, pipi, dan pelbagai perwujudan indah itu
tak ada bedanya dengan serangkaian ketepatan tata surya.
Aih, aku ketahuan, mati kutu, beserta
inang-inangnya, langkah tiap meter menghampiriku. Aku harus bersikap tak
menduga. Baiklah, saat yang tepat untuk menikmati lukisan langit—toh
perwujudannya cukup bersaing indah. Baiklah, dia di belakangku: satu, dua,
tiga, empat, lima, akan bilang apa dia.
“Anak-anak
sudah bubar,” ucapnya dan aku berpura diri terkejut.
“Seminggu
lagi, ya,” aihku, kasmaran membuat hati ini sebilah piring.
“Semakin
sore, ombak semakin mendekat.” Saras menatap kejauhan horizontal tak bertepi
itu. (“Baiklah, kamu tidak akan niatan mendekat juga?”)
Dengan melipirkan sedikit sisa-sisa pasir pantai,
didudukinya tanggul di sebelahku. (“Nah, begini lebih baik,” bilangku dalam
benak.)
Saras belakangan berpeluh dengan rasa keluh. Ini
adalah perasaan susah yang keluar karena dualisme kepintaran dan kenakalan yang
berlarut-larut di benaknya. Sebagai relawan mengajar, dia belum mafhum bahwa
anak-anak pintar memang lazimnya lebih diistimewakan ketimbang
begundal-begundal di kelas.
“Anak-anak
itu, mana paham kalau kelakuannya serampangan atau terpuji,” ucapnya mengawali
serangkaian unek-unek itu.
“Iya,
tahu dan paham adalah benar-benar lain.”
Selayaknya anak-anak yang belum mengerti
konsekuensi kurs rupiah naik-turun, benalu-benalu pemerintahan, serta
kesenjangan pendidikan di pelosok. Dunia mereka tidak berlainan dengan
kepolosan apa adanya.
“Apa
memangnya hal paling mengerikan yang dapat dilakukan anak-anak?” pungkasnya tak
habis bernalar. Namun, orang-orang dewasa, menurut rasa keluh Saras, mengutuk
kenakalan tanpa membimbing rendah hati, menorehkan rasa bangga kepintaran tanpa
merangkul kenakalan.
“Terakhir
yang kutahu, anak kelasmu berlarian, melompat, menerobos jendela kelas, lalu
berhamburan seperti sedang dibekuk sebuah razia.”
“Lalu?”
tanya perempuan itu menagih.
(“Serangkaian
kenakalan: berkelahi, membikin ulah, hingga bolos terpadu?”)
“Iya,
aku tahu maksudmu,” jawabku pada akhirnya.
(“Ada
apa dengan tatapan tak puas itu?”)
“Baiklah,
aku paham maksudmu,” jawabku selanjutnya.
“Bukankah memang
itu alasan seorang guru ditasbihkan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa?”
berucaplah Saras, “mengajar dan mendidik bocah-bocah esde bukan
menjadi prioritas banyak orang.”
“Itulah
kenapa kita di sini.”
Lantas Saras memberondong dengan segenap unek-unek
susulan. Kali ini perihal poin mengajar. Terenyuh jiwanya dengan berupa-rupa
ketidaktahuan anak-anak yang diajarnya dengan pengetahuan dan kemampuan paling
cetek: membaca, menulis, dan berhitung.
“Kalau
membaca saja tak berdaya, apa yang tersisa dari anak-anak itu, terkurung dalam
sebuah rumah ringkih, membuka jendela saja tak bisa, berkutat dalam dunia
seluas kerangkeng.”
Memang bukan perkara sekali bahwasanya anak-anak
sekolah dasar di wilayah terpelosok ini kudengar tak berhasil membaca tanpa
mengeja. Menulis abjad a-be-ce-de pun begitu sulit dan tak ada
bedanya dengan tulisan abstrak aksara kuno. Kalau mengenai perkalian, mencuat
perkelahian karena ketika ada anak yang tahu perkelahian sebelas, ada pula yang
tak tahu kalau semilyar angka dikali nol akan tetap nol.
—
Siamang-siamang berkumandang di sepanjang
perjalanan lintas Sumatra. Kabupaten ini pemekaran dan itu belum lama ini.
Jalan aspal masih tampak baru marka-markanya. Bus kuning mengkilap dan kontras
dengan warna cerahnya karena sekeliling adalah hutan beraroma gelap.
Dari balik jendela kaca bus itu, Kowi tersenyum
dengan berbagai latar belakang. Mungkin saja karena disambut kera-kera yang
lompat indah dari dahan ke dahan—semenjak, itu hal mustahil ditemui di kampus.
Mungkin saja karena tahu bahwa pendapatan daerah larinya jelas—aspal-aspal itu
saksi bisunya. Dan mungkin-mungkin saja, karena seperangkat hal yang akan
ditemuinya nanti, mengingat begitu gemarnya lelaki itu dengan kegiatan
sosial—terlebih, mengajar.
“Berapa
lama lagi?” tanya Kowi dan kembali bertanya, “itu, rumah panggung?”
“Tidak lama
dan iya.” Arai berucap dan menyeka muka berlapis lelah karena hampir dua puluh
jam perjalanan.
Ada total tiga bus dan itu mengangkut lebih dari
seratus mahasiswa-mahasiswi yang rangkanya, kembali, bukan kakaen.
Ada sekelumit alasan mengapa hal ini terus-terusan disorot. Mengingat kegiatan
ini tak ada kredit kampus—nilai akademik adalah kefanaan. Dan, untuk
menghindari sejumput kesalahpahaman oleh warga sekitar karena kegiatan ini
dan kakaen sama sekali lain. Januari ini adalah bulan liburan
kampus. Mereka-mereka itu datang dengan skema mengajar dan berbagai kegiatan
pendidikan: pengajar ya mengajar, panitia ya penyelenggara.
Setelah sedikit pembukaan bersama seperangkat
kedinasan, mereka disebar saja menuju enam titik aksi. Titik aksi milik
Kowi bernama Kota Karang. Itu adalah pekon. Bertanyalah maka akan dijelaskan
bahwa masyarakat sekitar mengenal desa dengan sebutan pekon. Kepala Pekon menjemput
dengan tiga mobil. Tas-tas perlengkapan untuk satu bulan mulai diangkat satu
demi satu. Mobil berjenis pick-up, dan Kowi salah
satu penghuni mobil itu beserta segerombolan tas.
Tak jauh perjalanan beberapa puluh
menit, lalu sampai ke Pekon Kota Karang. Ini adalah sepanjang dekorasi alam yang
sumringah diteriakkan kekaguman oleh manusia. Menuju arah utara, dan
tebing-tebing tinggi menyapa sisi kanan jalan. Berburuk sangka hanya akan
menyusahkan karena tanah-tanah itu curam dan ingin menerkam berupa longsor.
Sisi kiri dengan mengucap syukur dihiasi oleh pembatas jalan kokoh. Hal yang
ingin dibatasi adalah aliran samudra yang ombak-ombaknya serupa serdadu perang
yang ingin menghampiri. Tanah ini tinggi dan laut hanya akan memanjakan mata.
Biru, biru, biru, dan warna biru tidak pernah seindah itu. Ada jenis keindahan
yang tidak dapat dilukiskan dengan kalimat, dan lautan itu adalah salah
satunya.
Dari kejauhan terlihat tanah-tanah yang mencuat. Mungkin saja bongkahan batu berlapis hijau-hijau tumbuhan. Diameternya
entahlah. Yang penting adalah sekelilingnya yang ombak-ombak dan ketunggalan
yang teguh. Mobil telah sejajar dan itu terlihat seperti moncong prambanan
tumpul.
“Itu,
ya?” ucap Kowi dengan pertanyaan yang dia sudah tahu jawabannya.
Mengangguk
dan tersenyum beserta angin laut semilir Arai berkata, “Batu Tihang.”
—
“Memang
sulit. Kalau mudah, untuk apa pula kita di sini, bukan begitu?” ungkapku.
“Aku
suka optisme milikmu,” pungkas Saras. (“Hanya optimismenya sajakah?”)
“Naskah
drama itu hanya dua lembar, dan anak-anak sulit sekali menghapalnya.”
Saras
tertawa ringan seperti melahap humor yang tak direncanakan, “tidak apa apa,
melihat mereka tampil saja sudah membanggakan.”
“Kalau
bisa maksimal, mengapa tidak.”
“Nah
itu, optimisme milikmu dan idealisme itu, lengkap sudah.”
Kelas ini memang membikin kerja
guru kian sulit. Terlebih pengajar seperti Saras. Aku tanpa kedudukan meski
sudah duduk berdua Saras. Matahari ingin pamit undur diri, tetapi belum
seberapa ingin. Aku getol dengan segenap dan seganjil jiwa raga bahwasanya anak-anak
yang dianggap nakal itu dapatlah tampil. Tak apa tidak mengetahui serangkaian
pengetahuan umum. Dari waktu ke waktu dapatlah diasah. Namun, mengubah
kebangoran menuju keberanian tampil di haribaan warga adalah kesempatan
menunjukkan diri bawah mereka dapat, bisa, mampu, apa pun itu.
“Sepertinya,
suaramu sudah tidak tertinggal di Way Pampang?” pungkas Saras.
“Kemarin
sudah mandi di sana.”
“Iya!
Setelah dua hari absen dari mandi!”
“Tolonglah,
anda beserta kaum-kaum hawa tidak ingin airnya di wese itu
diambil, bukan begitu?” ucapku dengan penyampaian jenaka.
Dengan
tertawa ringkih Saras berucap, “mungkin akan rindu dengan hal-hal seperti ini
kelak.”
Seminggu lagi kami angkat sauh dan
undur diri dari pekon ini. Untuk itulah aku ingin menutup dengan penampilan
kelas itu. Mereka anak-anak lucu, sebetulnya. Hati keras harus
dengan kelunakan sikap. Aku bukan pakar apa pun, tetapi bukannya segenap
anak-anak esde perlu diperlakukan sama tanpa perbedaan rasa
sayang.
“Seminggu
lagi,” ucapku.
“Seminggu
lagi,” ucapnya.
—
“Gagal,
gagal, gagal, berhasil! Bagaimana menurutmu?”
“Malaka
sekali anda,” ungkap Saras jenaka.
Mengetahui kecemberutan Kowi, Saras dengan
ringannya tersenyum mengiyakan. Yel-yel merupakan pamungkas
pada setiap penampilan. Kowi hanya ingin melampiaskan idealismenya dengan
menerapkan sikap realistis bahwa bersama keberhasilan, pasti ada kegagalan. Dan
tiga kegagalan hanya secuil saja kesulitan.
Hari masih pagi tetapi ingin cepat-cepat berbagi
terik siang hari. Sinar matahari sesegera mungkin ingin bertahta tepat di atas
kepala. Keterikan pesisir menjadi kearifan lokal bercorak alam. Lantas, Arai
datang bersama Bejo. Dengan menetralkan Bejo yang meraung-raung keras,
dihentikannya kebisingan itu. Kadang, Bejo merajuk karena berbagai hal.
Seharusnya tidak perlu seperti itu, karena sulit kalau dia seperti itu. Aliran
transportasi dapat terganggu, padahal sudah diengkol berkali-kali.
Bejo merupakan rekan berwujud sebuah motor. Dengan
seenak udelnya yang tak perlu dibahas, Kowi dan Arai sepakat menamai motor
berhabitat gunung itu dengan: Bejo! Dari serangkaian nama yang dapat dipilih!
Dari serangkaian hal yang mungkin tak pernah terpikir oleh umat: mengapa
menasbihkan sejumput nama kepada sebuah benda!
Arai datang berkenaan dengan hal yang sama: melatih
kelas untuk Pesta Rakyat. Namun, sebelum itu, terdapat sebuah perut yang harus
diisi dengan sarapan. Berbelanjalah Arai beserta panitia dan pengajar lainnya.
Sebuah belanja yang begitu mewah nan nikmat: es balon, bakso telor, nasi-mie
goreng, beserta jajaran jajanan depan esde.
“Kenyang
hanya seharga parkir motor,” pungkas Arai tiap pagi dengan sarapan depan esde.
Pesta Rakyat perlahan muncul serupa hilal di
pelupuk teleskop. Sebuah persembahan terakhir. Pengajar-pengajar beserta
panitia berbarengan, mengarahkan anak-anak esde menampilkan kebisaannya.
Panggung disusun, dengan segenap serta seganjil bantuan warga pekon, jadilah
jua.
Arai hendak mengajak Kowi berkenaan dengan segudang
pakaian kotor yang meminta untuk dicuci. Jadilah, cuci baju beserta mandi
terakhir di Way Pampang. Benar seribu benar, aliran sungai itu merangkap diri
sebagai dermaga pencucian baju-baju kotor bagi seluruh umat Kota Karang—bolehlah
mencuci di samping rumah panggung itu, tetapi seorang perempuan sedang mandi di
situ.
Di situ, dapat terlihat beragam aktivitas domestik dari jendela lantai dua rumah panggung. Arai berkali-kali dihunuskan kemurkaan ringan kepadanya dikarenakan langkah-langkah kakinya yang semrawut. Lantai rumah ini beserta keseluruhannya dibangun dengan kayu-kayu kokoh, tentu saja bising di telinga dan gaduh ketika langkah kaki tak tahu kesantunan menderap.
Di situ—ruang bersih-bersih
tempat mencuci piring, mencuci baju, beserta mandi dengan pakaian lengkap. Sebuah
pipa keramat bermukim rendah di situ, tak pernah sekalipun riak airnya hilang
kecuali hujan. Hujan mengakibatkan tidak ada air, karena sumbernya adalah Way
Pampang yang kalau hujan deras memicu banjir yang menyumbat laju air-air domestik,
ini adalah kontradiksi yang tak perlulah dibikin panjang lebar tetapi entah
mengapa narasinya panjang lebar.
—
Aku masih duduk dan sekarang tahu kedudukanku,
sebagai pendengar serangkaian unek-unek Saras. Lukisan langit semakin hilang. Menutup segala rupa kisah hari ini.
“Kita
akan meninggalkan anak-anak itu.”
“Mungkin
sebagai raga.”
“Setidaknya mereka telah banyak berkembang.”
“Ya,
cukup terenyuh dengan keinginan mereka disayang kedua orang tua.”
“Kecenderungan,
bukan begitu? Anak-anak yang dianggap nakal, menurut temuan, hanya ingin
mendapat kasih sayang.”
“Sejak
awal, aku tak pernah memberikan perbedaan sikap kepada setiap anak.”
“Menurutmu,
bagaimana penampilan mereka nanti?”
“Kita
sudah berusaha.”
“Begitu
saja?”
“Lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi, mereka tak selamanya
anak-anak dan kupasrahkan pada nasib untuk menjaga mereka.”
Label: Cerpen
1 Komentar:
MasyaAllah mantap bang fatihh
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda