Berang-berang Favoritku
Hanya
dalam satu kedip mata, peluru bersarang di dada Mawas. Hutan hujan yang senyap
dan lembab, sekonyong-konyong bising dan buyar segala kebisuan rimbanya.
Keadaan bernada kelam. Mawas roboh selepas tembakan beruntun, lantas menatap
anak jantannya yang belum tampak flensa[1] di
dua sisi pipi. Wajah itu masih terlampau belia, dan belum sempat berduka karena
ini terlalu tiba-tiba.
Perih
di dada tempat peluru bermukim itu teramat panas, maka janganlah banyak
melakukan pergerakan. Karena Mawas ingin sekecil mungkin perih yang timbul.
Bulu-bulu merah kecokelatan itu makin basah oleh darah. Anak jantan itu masih
balita, dengan bulu kepala nyaris jarang-jarang, kepanikan perlahan menjalar,
dan duka bersifat sporadis yang menekuri tiap-tiap hati kawanan berang-berang
itu.
Gerombolan
Kastor—satu dari kawan Mawas—telanjur murka, karena orang utan kesayangannya
tinggal menunggu detik bertemu ajal. Dalam rangka menuntut balas, Kastor
melakukan serangan, dan kawanan berang-berang itu semakin berang. Lantas,
setelah laras panjang itu habis bedil-bedilnya, dengan mengorbankan beberapa
kawanan yang tertembak. Pemangsaan pun dimulai. Satu menyerang kaki, seketika
limbung, dilanjutkan dengan terkaman di pergelangan tangan. Sedangkan Kastor,
menganggap urat leher pemburu itu camilan, digigit saja serupa menggerogoti
batang pohon.
Sosok
hominid itu mati dikoyak-koyak. Di sebuah keadaan sunyi, dengan alunan nada
rimba, mengenaskan. Setelah berangnya pudar dan sadar akan apa yang terjadi,
berang-berang itu tergesa-gesa menghampiri Mawas yang tinggal menunggu
penutupan usia.
Kastor,
makhluk kecil itu, terdiam bersama kawanannya, mengelilingi tubuh Mawas yang
kelopak matanya makin tipis. Anak jantan Mawas makin bersedih, berulang kali
meyakinkan induknya supaya bertahan, lalu Mawas menanggapinya dengan air muka
yang berkata, “Kamu boleh sedih, Nak, tetapi tolong jangan banyak
menyentuhku dan melakukan pergerakan, karena makin perih rasanya akibat butiran
di dadaku ini!”
Kanopi-kanopi
rimba di atas kepala mereka: sangkar tidur milik Mawas yang belum tuntas.
Memang menyerupai sangkar burung, tetapi dalam bentuk yang lebih besar, dalam
wadah seukuran mangkuk raksasa. Melihat itu semua, Kastor yang dengan tubuh
mungilnya dongak vertikal dengan susah payah, menatap sedu ke arah sarang itu.
Semua dilakukan dengan merapatkan ketegaran, menyiapkan diri kehilangan seorang
kawan.
Pada
tempo yang begitu lampau, selepas melarikan diri dari himpunan pohon sawit
terdekat, Mawas berkelana jauh dan begitu soliter kehidupannya. Hutan adalah
langit, dan ayunan lengan milik Mawas adalah sayap-sayap yang membantunya
terbang melewati banyak kanopi-kanopi rimba.
“Mengapa
tidak membangun tempat tinggal yang bertahan lama, seperti kawananku?” begitu
tanya Kastor di jumpa pertama.
“Aku
tak punya kawanan,” jawab Mawas dengan mengelus anaknya lembut.
Hidup
Mawas seolah dikejar-kejar kehidupan yang tidak menginginkannya. Sosok hominid
selalu mencari-carinya, “Sebenarnya, adakah sisi hutan yang sama sekali belum
dimasuki mereka?” ungkap Mawas kepada Kastor yang sedang memelihara giginya.
Kastor
tak banyak mengingat sesuatu, ia tahu diri terhadap jenis posisinya sebagai
makhluk hidup, tetapi obrolan pertama itu masih membekas sampai saat ini.
Pertanyaan dahulu kala itu, tak benar-benar ditanggapi oleh Kastor. Kini, ia
bertanya ulang perihal di mana sebenarnya rumah milik Mawas.
Kalau
berjalan, lengan-lengan itu lebih panjang ketimbang tubuhnya sendiri. Sebelum
kelopak mata tertutup rapat, Mawas sempat memimpikan langit-langit di atasnya
melalui celah-celah pepohonan yang ketat menutupi langit-langit. “Kalau aku
punya sayap, mungkin hal ini tidak perlu terjadi,” pikirnya di saat-saat
terakhir kehidupan yang tidak lagi menginginkannya.
Perih
dadanya hilang, beserta segala hal yang pernah ia ingat tentang dirinya. Ketika
berada di langit, kalau dongak lagi ke atas, akan ada lagi langit-langit. Dan
kalau sudah di langit-langit itu, silakan dongak kembali, maka
langit-langit-langit akan ada lagi.
Mawas
melewati belukar jiwa. Tidak perlu kendaraan, karena tanpa kendali sama sekali
pun, tubuhnya bergerak leluasa melintasi benua kehidupan dan kematian. Setelah
bergerak dengan kecepatan tiada tanding, dia pun tak tahu mengarah ke mana.
Pada dekorasi keberadaannya itu, Mawas berhenti di hadapan tunas raksasa.
Pucuknya tumpul, tidak runcing. Mawas dongak ke atas, mengawasi permukaan atas.
Mawas menunduk ke bawah, tidak jelas ujung asal muasal tunas ini.
Seusai
semua hal tersebut, Mawas bertemu sebuah pengejawantahan hitam dan besar.
“Memang
kuakui, kamu memang yang paling cerdas di antara kita semua,” ungkap si
jantan hitam dengan punggung keperakan itu, “tetapi kalau di sini,
rasanya sudah kurang berguna.” Wajahnya teguh dan cukup aneh ketika Mawas
menyaksikan senyuman selamat datang itu.
“Kamu
ingin terbang? Sudah, sudah, tidak perlu kalau di sini,” ucapnya lantas
melanjutkan,”ada alasan kenapa di sana, tidak ada pemilik sayap seukuran
kita ini.”
Selagi
mengoleksi kembali ingatan terakhirnya, sosok besar dan hitam di hadapannya,
berkenaan dengan ramah tamah pertama itu, Mawas dijabat tangannya oleh gorila
tersebut.
“Harambe,”
pungkasnya memperkenalkan diri.
“Mawas,”
balas orang utan itu.
*
Kalau
ingin berkunjung, Mawas mendekati anak sungai dan riak-riak tubuhnya dapat
dirasakan Kastor beserta kawanannya itu. Kalau sudah begitu, Kastor muncul ke
permukaan dan membelakangi gundukan batang pohon itu dan menyambut kehadiran
Mawas. Kalau lengah sedikit saja, Mawas akan menyelam dengan sendirinya dan
mengagetkan seisi penghuni bendungan itu, ini terjadi ketika Mawas telah lama
disokong kemampuan renangnya.
Manusia
seringkali terganggu melihat sosok Mawas yang bersembunyi di kanopi, dan
keberadaannya yang redup itu cukup menakutkan dan ditanggapi dengan ditariknya
pelatuk-pelatuk, serta moncong senapan itu yang selalu diarahkan kepadanya.
Mawas
bukan pelari ulung, tidak pula gesit terbang dengan lengannya lewat dahan-dahan
rimba. Hal yang dapat dilakukan untuk lenyap dari buruan, hanyalah menutup diri
dan sekujur keberadaannya dalam kerimbaan.
Sekali
waktu, Mawas menggoda sosok hominid dan benar dicecar teror setelahnya. Melalui
sebuah upaya heroik untuk menyelamatkan diri, Mawas berakhir di anak sungai dan
gerombolan Kastor memiliki ide cemerlang untuk menyembunyikannya di kumpulan
kayu-kayu itu.
“Dia
sedang menyisir area ini, sebentar lagi berakhir di ujung anak sungai!” sergap
Mawas seketika kepada kawanan Kastor.
“Ikut
kami menyelam, di dalam bendungan cukup luas,” pungkas Kastor.
“Aku
tidak mahir berenang!”
“Kamu
ingin mati tenggelam atau tertembak?!” balas Kastor dengan tubuh mungilnya dan
melanjutkan, “tidak, tidak, mari kami tuntun bersama-sama.”
Tubuh
Mawas yang semula kepayahan ditelan air sungai, lalu didorong dan disokong oleh
kawanan Kastor serupa himpunan pelampung. Anak jantannya yang mungil itu,
dipeluknya erat sampai naik ke permukaan, lalu langit-langit terdiri dari
susunan kayu-kayu kokoh, dan itulah keadaan di dalam bendungan.
Kastor
jelas-jelas menangkap ngilu yang dirasakan Mawas. Ada beberapa bagian tubuh
yang berwarna tidak semestinya. Beberapa kulit orang utan itu tergores benda
yang bertamu ke tubuhnya dengan kecepatan tinggi.
“Satu
peluru tidak akan mematikanku, Kastor, jangan khawatir,” pungkas Mawas yang
mengerti kegusaran yang ditunjukkan Kastor.
“Satu
peluru, kalau mereka sepertimu. Kalau mereka seperti kami ini, yang jumlahnya
gerombolan, mati kamu dikeroyok kawanan manusia,” balas Kastor.
Mawas
telah lama diincar sosok hominid. Menjadi hama untuk sekelompok orang, dan
penyelamat untuk kepentingan seluas hutan hujan. Ini hanya perihal sudut
pandang mana yang menjengkelkan dan mana yang menentramkan. Sosok hominid itu,
satu dari keseluruhan kawanan manusia, tidak lekas kepuasannya kalau tidak
melihat bangkai Mawas tergeletak.
“Kapan-kapan,
kunjungilah kediamanku!” ungkap Mawas semringah, binar matanya menjelajah ke
sudut-sudut bendungan, “tapi sarangku tidak sehebat milikmu ini.”
“Kami,
bukan aku saja. Terima kasih pujiannya,” ucap Kastor dan berbicara lagi, “lagi
pula, tempatmu terlalu tinggi dan aku tidak bisa terbang sepertimu.”
“Tenang
saja, nanti akan aku sokong!” pungkas orang utan itu yang kini tidak mampu
menyembunyikan kekaguman terhadap tata letak dinding-dinding bendungan.
*
Tunas
yang raksasa itu, kalau dijejali dengan perhatian saksama, dapat terlihat
perlahan ukurannya semakin mengembang. Di mana pun itu, tunas hanya bagian
kecilnya dari bakal calon pohon yang tumbuh. Dengan besar ukuran tunasnya saja,
perlu disadari kalau pohonnya akan jutaan tahun kambium. Tunas itu, menjadi
semacam suar untuk segala rupa kehidupan sebelumnya.
Di
antara lalu lalang pertemuan itu, di antara yang disambut dan yang menyambut,
Mawas dan Harambe saling menyapa di haribaan suar kehidupan.
Sepanjang
pertemuan, Harambe mencoba jenaka. Segala sesuatu yang diutarakan Mawas,
sekecil apa pun itu, direspons dengan tawa renyah. Bentuk wajahnya yang lobak
gemuk di sisi kiri-tengah-kanan itu, beserta sisi atas-menuju-belakang yang
serupa punuk, memberi kesan garang dan ingin selalu murka. Dengan segala hal
tentang Harambe tersebut, Mawas makin terisap dengan kehadiran Harambe.
“Apa
masih ada perjalanan selanjutnya untukku?” tanya Mawas.
“Aku
masih ingin melihat tunas itu lebih lama,” jawab Harambe.
Setelah
memperhatikan keadaan tunas dengan saksama, lalu perlakuan saksama itu
dialihkan ke wajah Harambe, Mawas dapat melihat dekorasi wajahnya dengan
teramat jelas, “Pernahkah kamu melihat diri di hadapan cermin?”
“Tidak,”
singkat saja dibalas Harambe.
“Hidungmu,
membentuk simbol cinta,” pungkas Mawas. Ada sipu yang muncul dari diri Harambe
berkenaan dengan pengutaraan apa adanya tersebut. Setelah melakukan pertemuan
yang sebelumnya, Harambe diberikan pertemuan selanjutnya. Rantai pertemuan ini
terus berlanjut sampai estafet terakhir kehidupan.
“Terima
kasih,” ucap Harambe beserta sipu dan garang yang bawaan lahir.
“Itu
bukan pujian,” balas Mawas.
“Aku
menganggapnya pujian,” ucap Harambe kemudian.
“Aku
anggap itu ucapan biasa,” balas Mawas kemudian.
“Baiklah,”
ucap Harambe dan dilanjutkan, “anggap saja ucapan biasa itu pujian.”
“Baiklah…”
balas Mawas dan melanjutkan setelah beberapa saat, “punggungmu itu berwarna keperakan.”
“Benar
sekali, itu julukanku,” ucap Harambe.
“Mengapa
tidak mengucapkan ‘terima kasih’?” balas Mawas.
“Untuk
apa?”
“Tadi
itu pujian untukmu.”
“Aku
tidak menganggapnya pujian, hanya ucapan biasa.”
“Baiklah,”
balas Mawas dan melanjutkan, “anggap saja pujian itu ucapan biasa.”
Menerka
niat sungguhlah sulit. Terlebih kalau tidak diperbincangkan. Menerka niat tanpa
dapat membincangkannya terlebih dahulu, amatlah mustahil, hal ini merupakan
asal muasal mengapa Harambe berakhir di tempat tersebut. Mereka berdua,
berkelana menjelajah ingatan terakhir dan membincangkan hal tersebut
bersama-sama.
“Jadi,
kita berdua sama-sama tertembak,” pungkas Mawas.
“Betul.”
“Anak
yang terjatuh di kubangan air itu,” ucap Mawas dan dilanjutkan dengan pertanyaan
bernada desakan, “apa sebenarnya niatmu, Harambe?”
Dengan
semakin banyaknya pertemuan di sekeliling mereka, tunas dengan pasti dan
perlahan, menjadi mengembang. Waktu berlalu di haribaan tunas kehidupan dengan
begitu cepat. Apa apa saja perbincangan Mawas dan Harambe, adalah waktu yang
cukup untuk menumbuhkan flensa dari si jantan kesayangan Mawas.
Harambe
teringat di pertemuan sebelumnya bersama Amang. Pertemuan di haribaan yang
sama. Karena cara Mawas melihat Harambe, adalah cara yang sama oleh Harambe
dalam melihat Amang.
Ada
berang yang coba disembunyikan Mawas setelah mendengar Harambe mengutarakan
ingatan terakhirnya.
“Apa
yang menjadi niatku, sudah tidak penting,” ungkap Harambe.
“Manusia
menembakmu! Manusia yang menjadi bagian hidupmu di kebun binatang tersebut!”
“Betul,
tetapi, itu telah lama berlalu, Mawas,” ucap Harambe.
“Setiap
jamnya, manusia berbondong-bondong lahir di dunia, mereka beranak pinak hingga
jumlahnya milyaran! Hidupmu yang nyaris punah itu lebih berharga ketimbang
seekor manusia!”
“Jenismu
memang cerdas,” puji Harambe lantas menambahkan, “tidak betul, nyawaku tidak
lebih berharga ketimbang anak itu.
“Bahkan
kamu sama sekali tidak melukai anak itu! Lantas dibunuhnya saja kamu secara
mendadak! Kamu benar tidak ada niatan membunuh, bukan begitu, Harambe!?”
“Entahlah.”
Pembicaraan
ini menjadi semakin jatuh tempo. Harambe dapat bertemu dengan Mawas, karena
pertemuannya dengan Amang terjadi begitu singkat, tanpa sengit dalam
berbincang. Amang, yang lehernya itu mekar ketika berbincang, memiliki poni
yang juga bermekaran ke sisi kiri dan kanan, serupa membelah jalur tengah
kepalanya.
*
Kastor
berkunjung bersama beberapa kawan ke kanopi milik Mawas. Terduduk saja
berang-berang itu, melihat ketinggian yang begitu jauh. Kalau ingin ke bendungan
milik Kastor, perlu kemampuan berenang. Kalau ingin ke kanopi milik Mawas,
perlu kemampuan terbang.
“Namun,
belum selesai kurakit,” ungkap Mawas.
“Tidak
apa. Bisakah aku disokong menuju atas sana?” pinta Kastor.
Lantas,
terbanglah Mawas dengan ayunan lengannya yang sudah serupa sayap itu. Kastor,
dengan tubuh mungilnya, dirangkul erat oleh Mawas untuk naik ke atas sangkarnya
yang mangkuk raksasa itu.
Seusai
menjejaki permukaannya yang penuh dedaunan itu, “Yang benar saja, ini terlalu
tinggi,” pungkas Kastor.
“Tempat
yang tinggi, supaya aman dari pemburu,” ucap Mawas.
Setelah
puas menatap pemandangan dari atas, Kastor turun bersama Mawas ke permukaan
bawah pohon. Mereka saling bincang, saling menghaturkan keberadaannya di
langit-langit rimba.
Apa
daya tak dapat dihindari, meskipun sangkar kanopi telah dibikin melebihi tinggi
langit-langit, sosok hominid akan selalu menemui Mawas. Telah lama dilacak
keberadaan orang utan itu, yang dianggap mengganggu dan memiliki anak
menggemaskan yang dirasa dapat diambil sebagai alat berniaga.
Dengan
satu letupan yang memekakkan telinga, Mawas tumbang beserta segala hal tentang
keberadaan orang utan itu. Satu satwa menjadi tumbal, di haribaan habitatnya
sendiri.
Semua
hal terjadi begitu cepat, berang tak dapat dihindari oleh kawanan berang-berang
tersebut. Pemburu tersebut, dimangsa saja oleh kawanan Kastor.
Nyanyian
kematian Mawas diayunkan oleh lolongan dari kawanan siamang. Mereka berayun
cepat, terasa seperti terbang di sepanjang dahan-dahan rimba. Anak jantan masih
terduduk di samping jasad ibunya. Kastor, di tengah-tengah duka itu, memutuskan
untuk mengubur tubuh Mawas.
Garis
pertemuan kawanan Kastor terjadi dengan kawanan siamang. Sepanjang proses
berkabung, gerombolan lolongan tersebut sengaja dipersembahkan untuk kepergian
Mawas. Dari kejauhan, siamang tersebut mengelilingi kepergian Mawas, salah satu
dari kaumnya.
Anak
sekecil itu, si jantan tanpa flensa, mencoba memahami kehidupan yang belum
tuntas diajarkan oleh Mawas. Seharusnya, masih ada beberapa momen kehidupan
bersama Mawas. Rasanya baru tadi saja, diajarkan oleh induknya mengorek
semut-semut kecil dengan dahan berukuran lidi untuk bekal makanan.
Si
jantan itu, menatap kejauhan rimba lantas menuju dirinya sendiri. Berhari-hari
dihantam kehidupan hutan, mencerca kanopi yang selalu berlubang akibat tak
tuntas dirakit. Semua hal tentang kehidupan, belum tuntas diajarkan oleh Mawas
kepadanya.
Hanya
karena sokongan Kastor dan kehidupan yang menghendaki, lama kelamaan, flensa di
dua sisi itu makin tumbuh dan membesar beserta kehidupannya untuk menjelajah.
*
“Tunas
itu berbisik kepadaku,” ungkap Amang kepada Harambe. Tabung lehernya kembali
mengecil.
“Apa
katanya?” tanya Harambe.
“Waktu
bertemu kita sudah hampir habis. Aku akan meninggalkanmu di sini, sedangkan kamu
akan melakukan pertemuan di kemudian nanti.”
“Siapa?”
tanya Harambe lagi.
“Entahlah,
aku juga tak tahu bahwa akan bertemu denganmu.”
Pada
estafet ini, Harambe melakukan pertemuan dengan Amang. Ada sesuatu yang
disimpan oleh Amang untuk diserahkan kepada Harambe di akhir pertemuan. Itu
adalah perihal pertemuan-pertemuan dan tali yang saling tersambung di antara
benang-benang kehidupan dan kematian. Di antara itu semua, pertemuan oleh Amang
terjadi dengan perbincangan menarik dan amat sayang kalau terlewat oleh
Harambe.
“Di
pertemuanku sebelumnya, dia berbicara bahwa di pertemuan sebelum-sebelumnya
lagi, ada suatu pertemuan dengan Dodo,” pungkas Amang kepada Harambe.
Harambe
menyimak baik-baik ucapan Amang itu, bersama banyak jiwa yang terkandung di
sekeliling tunas raksasa tempat mereka melakukan rendezvous.
“Dari
yang kudapat, dia adalah yang terakhir dari kawanannya, setelah itu,
keberadaannya akan sama sekali punah.
“Kalau
kamu berakhir dengan tembakan, dia berakhir dengan cukup konyol. Bahwa dia
dimangsa oleh pelaut-pelaut dengan sukarela. Lebih tepatnya, karena terlalu
ramah, jadilah termakan jebakan.”
“Memang
beginilah kita, harus selalu waspada dan selalu dalam keadaan menyerang
dan bertahan,” balas Harambe.
“Apakah
ini menjadi semacam pembelaan untukmu?” tanya Amang beserta senyuman dengan
niat menggoda.
“Mungkin.
Namun, pada akhirnya akan sama saja, betul? Ada ataupun tidak, aku dan… siapa
tadi namanya?”
“Dodo.”
“Iya,
akhir cerita akan tetap sama, berakhir di sini.”
“Tetapi,
tetap saja, seharusnya kita bisa mendapat akhir dengan cara yang tidak
konyol,” pungkas Amang.
Setelah
melalui banyak kata-kata, Amang pamit dan berakhir saja pertemuan ini. Harambe
menatap kejauhan tunas, sembari menunggu siapa pertemuan selanjutnya yang akan
ditemuinya.
*
“Memang
seharusnya kita melakukan perlawanan, aku senang melihat kematian orang itu di
akhir kematianku,” pungkas Mawas kepada Harambe.
“Sejauh
ini, Mawas, apa yang dilakukan orang itu terhadapku, sama saja rasanya terhadap
apa yang Kastor lakukan kepada orang itu,” ucap Harambe dan melanjutkan, “kita
sama-sama mencoba melindungi anak kesayangan masing-masing.”
Sulit
untuk Mawas mencerna itu semua. Namun, dengan wajah garang tanpa berang sama
sekali, rasa-rasanya berang milik Mawas menjadi teduh setelah badai hutan
hujan.
“Mawas,
kurasa, tunas itu berbisik sesuatu kepadaku,” ungkap gorila itu dan
melanjutkan, “aku ingin menceritakan sesuatu, tentang pertemuan-pertemuan yang
telah lawas.”
Tidak
ada burung beterbangan yang seukuran gajah. Namun, tidak semua burung dapat
terbang. Jiwa yang masih berang, perlahan tunduk dengan ketenangan sikap.
Segala sesuatu akan berakhir, dan yang bernilai dari itu semua, adalah
perjuangan yang terjadi di tengah-tengah semua itu, atau setidaknya, bukan di
garis akhir segala sesuatu.
Rantai
pertemuan itu; rantai rendezvous; tak terputus sampai keterakhiran. Menuju
tunas yang akan pohon. Tempat tinggal jiwa-jiwa yang telah genap.
“Baiklah,
aku harus segera meninggalkanmu di sini,” ucap Harambe.
“Jadi,
aku hanya tinggal menunggu?” tanya Mawas.
“Betul.
Saat ini, mungkin flensa anakmu telah tumbuh,” ucap Harambe sebagai kalimat
akhirnya. Gorila itu diejawantah oleh nihil keberadaan. Mawas bersiap diri
dengan pertemuan selanjutnya. Estafet tidak terputus tersebut, hendak berlanjut
padanya.
Terbanglah
dirinya itu, melewati belukar jiwa. Tanpa kendaraan pun, dirinya yang mungil
itu dapat bergerak leluasa melintasi benua kehidupan dan kematian. Kecepatannya
tiada tanding, dan mengarah pada tunas raksasa itu. Pada dekorasi keberadaannya,
sesuatu di hadapannya tampak seperti kanopi rimba, tempat kawannya dahulu
tinggal. Pucuknya tumpul dan tidak runcing. Ketika dongak vertikal ke atas,
permukaannya makin tak terlihat, dan ketika tunduk ke bawah, ujung dari asal
muasalnya makin muskil kasat mata.
Seusai
semua hal tersebut, Kastor bertemu sebuah pengejawantahan merah kecokelatan,
dengan lengan-lengan panjangnya yang sudah seperti sayap.
“Bertemu
lagi kita,” ucap Mawas semringah terhadap tubuh mungilnya, “berang-berang
favoritku.”
[1]Flensa
merupakan bantalan pipi besar yang dimiliki oleh orang utan jantan dewasa.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda