Rabu, 13 Oktober 2021

Berang-berang Favoritku

Hanya dalam satu kedip mata, peluru bersarang di dada Mawas. Hutan hujan yang senyap dan lembab, sekonyong-konyong bising dan buyar segala kebisuan rimbanya. Keadaan bernada kelam. Mawas roboh selepas tembakan beruntun, lantas menatap anak jantannya yang belum tampak flensa[1] di dua sisi pipi. Wajah itu masih terlampau belia, dan belum sempat berduka karena ini terlalu tiba-tiba.

Perih di dada tempat peluru bermukim itu teramat panas, maka janganlah banyak melakukan pergerakan. Karena Mawas ingin sekecil mungkin perih yang timbul. Bulu-bulu merah kecokelatan itu makin basah oleh darah. Anak jantan itu masih balita, dengan bulu kepala nyaris jarang-jarang, kepanikan perlahan menjalar, dan duka bersifat sporadis yang menekuri tiap-tiap hati kawanan berang-berang itu.

Gerombolan Kastor—satu dari kawan Mawas—telanjur murka, karena orang utan kesayangannya tinggal menunggu detik bertemu ajal. Dalam rangka menuntut balas, Kastor melakukan serangan, dan kawanan berang-berang itu semakin berang. Lantas, setelah laras panjang itu habis bedil-bedilnya, dengan mengorbankan beberapa kawanan yang tertembak. Pemangsaan pun dimulai. Satu menyerang kaki, seketika limbung, dilanjutkan dengan terkaman di pergelangan tangan. Sedangkan Kastor, menganggap urat leher pemburu itu camilan, digigit saja serupa menggerogoti batang pohon.

Sosok hominid itu mati dikoyak-koyak. Di sebuah keadaan sunyi, dengan alunan nada rimba, mengenaskan. Setelah berangnya pudar dan sadar akan apa yang terjadi, berang-berang itu tergesa-gesa menghampiri Mawas yang tinggal menunggu penutupan usia.

Kastor, makhluk kecil itu, terdiam bersama kawanannya, mengelilingi tubuh Mawas yang kelopak matanya makin tipis. Anak jantan Mawas makin bersedih, berulang kali meyakinkan induknya supaya bertahan, lalu Mawas menanggapinya dengan air muka yang berkata, “Kamu boleh sedih, Nak, tetapi tolong jangan banyak menyentuhku dan melakukan pergerakan, karena makin perih rasanya akibat butiran di dadaku ini!”

Kanopi-kanopi rimba di atas kepala mereka: sangkar tidur milik Mawas yang belum tuntas. Memang menyerupai sangkar burung, tetapi dalam bentuk yang lebih besar, dalam wadah seukuran mangkuk raksasa. Melihat itu semua, Kastor yang dengan tubuh mungilnya dongak vertikal dengan susah payah, menatap sedu ke arah sarang itu. Semua dilakukan dengan merapatkan ketegaran, menyiapkan diri kehilangan seorang kawan.

Pada tempo yang begitu lampau, selepas melarikan diri dari himpunan pohon sawit terdekat, Mawas berkelana jauh dan begitu soliter kehidupannya. Hutan adalah langit, dan ayunan lengan milik Mawas adalah sayap-sayap yang membantunya terbang melewati banyak kanopi-kanopi rimba.

“Mengapa tidak membangun tempat tinggal yang bertahan lama, seperti kawananku?” begitu tanya Kastor di jumpa pertama.

“Aku tak punya kawanan,” jawab Mawas dengan mengelus anaknya lembut.

Hidup Mawas seolah dikejar-kejar kehidupan yang tidak menginginkannya. Sosok hominid selalu mencari-carinya, “Sebenarnya, adakah sisi hutan yang sama sekali belum dimasuki mereka?” ungkap Mawas kepada Kastor yang sedang memelihara giginya.

Kastor tak banyak mengingat sesuatu, ia tahu diri terhadap jenis posisinya sebagai makhluk hidup, tetapi obrolan pertama itu masih membekas sampai saat ini. Pertanyaan dahulu kala itu, tak benar-benar ditanggapi oleh Kastor. Kini, ia bertanya ulang perihal di mana sebenarnya rumah milik Mawas.

Kalau berjalan, lengan-lengan itu lebih panjang ketimbang tubuhnya sendiri. Sebelum kelopak mata tertutup rapat, Mawas sempat memimpikan langit-langit di atasnya melalui celah-celah pepohonan yang ketat menutupi langit-langit. “Kalau aku punya sayap, mungkin hal ini tidak perlu terjadi,” pikirnya di saat-saat terakhir kehidupan yang tidak lagi menginginkannya.

Perih dadanya hilang, beserta segala hal yang pernah ia ingat tentang dirinya. Ketika berada di langit, kalau dongak lagi ke atas, akan ada lagi langit-langit. Dan kalau sudah di langit-langit itu, silakan dongak kembali, maka langit-langit-langit akan ada lagi.

Mawas melewati belukar jiwa. Tidak perlu kendaraan, karena tanpa kendali sama sekali pun, tubuhnya bergerak leluasa melintasi benua kehidupan dan kematian. Setelah bergerak dengan kecepatan tiada tanding, dia pun tak tahu mengarah ke mana. Pada dekorasi keberadaannya itu, Mawas berhenti di hadapan tunas raksasa. Pucuknya tumpul, tidak runcing. Mawas dongak ke atas, mengawasi permukaan atas. Mawas menunduk ke bawah, tidak jelas ujung asal muasal tunas ini.

Seusai semua hal tersebut, Mawas bertemu sebuah pengejawantahan hitam dan besar.

“Memang kuakui, kamu memang yang paling cerdas di antara kita semua,” ungkap si jantan hitam dengan punggung keperakan itu, “tetapi kalau di sini, rasanya sudah kurang berguna.” Wajahnya teguh dan cukup aneh ketika Mawas menyaksikan senyuman selamat datang itu.

“Kamu ingin terbang? Sudah, sudah, tidak perlu kalau di sini,” ucapnya lantas melanjutkan,”ada alasan kenapa di sana, tidak ada pemilik sayap seukuran kita ini.”

Selagi mengoleksi kembali ingatan terakhirnya, sosok besar dan hitam di hadapannya, berkenaan dengan ramah tamah pertama itu, Mawas dijabat tangannya oleh gorila tersebut.

“Harambe,” pungkasnya memperkenalkan diri.

“Mawas,” balas orang utan itu.

*

Kalau ingin berkunjung, Mawas mendekati anak sungai dan riak-riak tubuhnya dapat dirasakan Kastor beserta kawanannya itu. Kalau sudah begitu, Kastor muncul ke permukaan dan membelakangi gundukan batang pohon itu dan menyambut kehadiran Mawas. Kalau lengah sedikit saja, Mawas akan menyelam dengan sendirinya dan mengagetkan seisi penghuni bendungan itu, ini terjadi ketika Mawas telah lama disokong kemampuan renangnya.

Manusia seringkali terganggu melihat sosok Mawas yang bersembunyi di kanopi, dan keberadaannya yang redup itu cukup menakutkan dan ditanggapi dengan ditariknya pelatuk-pelatuk, serta moncong senapan itu yang selalu diarahkan kepadanya.

Mawas bukan pelari ulung, tidak pula gesit terbang dengan lengannya lewat dahan-dahan rimba. Hal yang dapat dilakukan untuk lenyap dari buruan, hanyalah menutup diri dan sekujur keberadaannya dalam kerimbaan.

Sekali waktu, Mawas menggoda sosok hominid dan benar dicecar teror setelahnya. Melalui sebuah upaya heroik untuk menyelamatkan diri, Mawas berakhir di anak sungai dan gerombolan Kastor memiliki ide cemerlang untuk menyembunyikannya di kumpulan kayu-kayu itu.

“Dia sedang menyisir area ini, sebentar lagi berakhir di ujung anak sungai!” sergap Mawas seketika kepada kawanan Kastor.

“Ikut kami menyelam, di dalam bendungan cukup luas,” pungkas Kastor.

“Aku tidak mahir berenang!”

“Kamu ingin mati tenggelam atau tertembak?!” balas Kastor dengan tubuh mungilnya dan melanjutkan, “tidak, tidak, mari kami tuntun bersama-sama.”

Tubuh Mawas yang semula kepayahan ditelan air sungai, lalu didorong dan disokong oleh kawanan Kastor serupa himpunan pelampung. Anak jantannya yang mungil itu, dipeluknya erat sampai naik ke permukaan, lalu langit-langit terdiri dari susunan kayu-kayu kokoh, dan itulah keadaan di dalam bendungan.

Kastor jelas-jelas menangkap ngilu yang dirasakan Mawas. Ada beberapa bagian tubuh yang berwarna tidak semestinya. Beberapa kulit orang utan itu tergores benda yang bertamu ke tubuhnya dengan kecepatan tinggi.

“Satu peluru tidak akan mematikanku, Kastor, jangan khawatir,” pungkas Mawas yang mengerti kegusaran yang ditunjukkan Kastor.

“Satu peluru, kalau mereka sepertimu. Kalau mereka seperti kami ini, yang jumlahnya gerombolan, mati kamu dikeroyok kawanan manusia,” balas Kastor.

Mawas telah lama diincar sosok hominid. Menjadi hama untuk sekelompok orang, dan penyelamat untuk kepentingan seluas hutan hujan. Ini hanya perihal sudut pandang mana yang menjengkelkan dan mana yang menentramkan. Sosok hominid itu, satu dari keseluruhan kawanan manusia, tidak lekas kepuasannya kalau tidak melihat bangkai Mawas tergeletak.

“Kapan-kapan, kunjungilah kediamanku!” ungkap Mawas semringah, binar matanya menjelajah ke sudut-sudut bendungan, “tapi sarangku tidak sehebat milikmu ini.”

Kami, bukan aku saja. Terima kasih pujiannya,” ucap Kastor dan berbicara lagi, “lagi pula, tempatmu terlalu tinggi dan aku tidak bisa terbang sepertimu.”

“Tenang saja, nanti akan aku sokong!” pungkas orang utan itu yang kini tidak mampu menyembunyikan kekaguman terhadap tata letak dinding-dinding bendungan.

*

Tunas yang raksasa itu, kalau dijejali dengan perhatian saksama, dapat terlihat perlahan ukurannya semakin mengembang. Di mana pun itu, tunas hanya bagian kecilnya dari bakal calon pohon yang tumbuh. Dengan besar ukuran tunasnya saja, perlu disadari kalau pohonnya akan jutaan tahun kambium. Tunas itu, menjadi semacam suar untuk segala rupa kehidupan sebelumnya.

Di antara lalu lalang pertemuan itu, di antara yang disambut dan yang menyambut, Mawas dan Harambe saling menyapa di haribaan suar kehidupan.

Sepanjang pertemuan, Harambe mencoba jenaka. Segala sesuatu yang diutarakan Mawas, sekecil apa pun itu, direspons dengan tawa renyah. Bentuk wajahnya yang lobak gemuk di sisi kiri-tengah-kanan itu, beserta sisi atas-menuju-belakang yang serupa punuk, memberi kesan garang dan ingin selalu murka. Dengan segala hal tentang Harambe tersebut, Mawas makin terisap dengan kehadiran Harambe.

“Apa masih ada perjalanan selanjutnya untukku?” tanya Mawas.

“Aku masih ingin melihat tunas itu lebih lama,” jawab Harambe.

Setelah memperhatikan keadaan tunas dengan saksama, lalu perlakuan saksama itu dialihkan ke wajah Harambe, Mawas dapat melihat dekorasi wajahnya dengan teramat jelas, “Pernahkah kamu melihat diri di hadapan cermin?”

“Tidak,” singkat saja dibalas Harambe.

“Hidungmu, membentuk simbol cinta,” pungkas Mawas. Ada sipu yang muncul dari diri Harambe berkenaan dengan pengutaraan apa adanya tersebut. Setelah melakukan pertemuan yang sebelumnya, Harambe diberikan pertemuan selanjutnya. Rantai pertemuan ini terus berlanjut sampai estafet terakhir kehidupan.

“Terima kasih,” ucap Harambe beserta sipu dan garang yang bawaan lahir.

“Itu bukan pujian,” balas Mawas.

“Aku menganggapnya pujian,” ucap Harambe kemudian.

“Aku anggap itu ucapan biasa,” balas Mawas kemudian.

“Baiklah,” ucap Harambe dan dilanjutkan, “anggap saja ucapan biasa itu pujian.”

“Baiklah…” balas Mawas dan melanjutkan setelah beberapa saat, “punggungmu itu berwarna keperakan.”

“Benar sekali, itu julukanku,” ucap Harambe.

“Mengapa tidak mengucapkan ‘terima kasih’?” balas Mawas.

“Untuk apa?”

“Tadi itu pujian untukmu.”

“Aku tidak menganggapnya pujian, hanya ucapan biasa.”

“Baiklah,” balas Mawas dan melanjutkan, “anggap saja pujian itu ucapan biasa.”

Menerka niat sungguhlah sulit. Terlebih kalau tidak diperbincangkan. Menerka niat tanpa dapat membincangkannya terlebih dahulu, amatlah mustahil, hal ini merupakan asal muasal mengapa Harambe berakhir di tempat tersebut. Mereka berdua, berkelana menjelajah ingatan terakhir dan membincangkan hal tersebut bersama-sama.

“Jadi, kita berdua sama-sama tertembak,” pungkas Mawas.

            “Betul.”

“Anak yang terjatuh di kubangan air itu,” ucap Mawas dan dilanjutkan dengan pertanyaan bernada desakan, “apa sebenarnya niatmu, Harambe?”

Dengan semakin banyaknya pertemuan di sekeliling mereka, tunas dengan pasti dan perlahan, menjadi mengembang. Waktu berlalu di haribaan tunas kehidupan dengan begitu cepat. Apa apa saja perbincangan Mawas dan Harambe, adalah waktu yang cukup untuk menumbuhkan flensa dari si jantan kesayangan Mawas.

Harambe teringat di pertemuan sebelumnya bersama Amang. Pertemuan di haribaan yang sama. Karena cara Mawas melihat Harambe, adalah cara yang sama oleh Harambe dalam melihat Amang.

Ada berang yang coba disembunyikan Mawas setelah mendengar Harambe mengutarakan ingatan terakhirnya.

“Apa yang menjadi niatku, sudah tidak penting,” ungkap Harambe.

“Manusia menembakmu! Manusia yang menjadi bagian hidupmu di kebun binatang tersebut!”

“Betul, tetapi, itu telah lama berlalu, Mawas,” ucap Harambe.

“Setiap jamnya, manusia berbondong-bondong lahir di dunia, mereka beranak pinak hingga jumlahnya milyaran! Hidupmu yang nyaris punah itu lebih berharga ketimbang seekor manusia!”

“Jenismu memang cerdas,” puji Harambe lantas menambahkan, “tidak betul, nyawaku tidak lebih berharga ketimbang anak itu.

“Bahkan kamu sama sekali tidak melukai anak itu! Lantas dibunuhnya saja kamu secara mendadak! Kamu benar tidak ada niatan membunuh, bukan begitu, Harambe!?”

“Entahlah.”

Pembicaraan ini menjadi semakin jatuh tempo. Harambe dapat bertemu dengan Mawas, karena pertemuannya dengan Amang terjadi begitu singkat, tanpa sengit dalam berbincang. Amang, yang lehernya itu mekar ketika berbincang, memiliki poni yang juga bermekaran ke sisi kiri dan kanan, serupa membelah jalur tengah kepalanya.

*

Kastor berkunjung bersama beberapa kawan ke kanopi milik Mawas. Terduduk saja berang-berang itu, melihat ketinggian yang begitu jauh. Kalau ingin ke bendungan milik Kastor, perlu kemampuan berenang. Kalau ingin ke kanopi milik Mawas, perlu kemampuan terbang.

“Namun, belum selesai kurakit,” ungkap Mawas.

“Tidak apa. Bisakah aku disokong menuju atas sana?” pinta Kastor.

Lantas, terbanglah Mawas dengan ayunan lengannya yang sudah serupa sayap itu. Kastor, dengan tubuh mungilnya, dirangkul erat oleh Mawas untuk naik ke atas sangkarnya yang mangkuk raksasa itu.

Seusai menjejaki permukaannya yang penuh dedaunan itu, “Yang benar saja, ini terlalu tinggi,” pungkas Kastor.

“Tempat yang tinggi, supaya aman dari pemburu,” ucap Mawas.

Setelah puas menatap pemandangan dari atas, Kastor turun bersama Mawas ke permukaan bawah pohon. Mereka saling bincang, saling menghaturkan keberadaannya di langit-langit rimba.

Apa daya tak dapat dihindari, meskipun sangkar kanopi telah dibikin melebihi tinggi langit-langit, sosok hominid akan selalu menemui Mawas. Telah lama dilacak keberadaan orang utan itu, yang dianggap mengganggu dan memiliki anak menggemaskan yang dirasa dapat diambil sebagai alat berniaga.

Dengan satu letupan yang memekakkan telinga, Mawas tumbang beserta segala hal tentang keberadaan orang utan itu. Satu satwa menjadi tumbal, di haribaan habitatnya sendiri.

Semua hal terjadi begitu cepat, berang tak dapat dihindari oleh kawanan berang-berang tersebut. Pemburu tersebut, dimangsa saja oleh kawanan Kastor.

Nyanyian kematian Mawas diayunkan oleh lolongan dari kawanan siamang. Mereka berayun cepat, terasa seperti terbang di sepanjang dahan-dahan rimba. Anak jantan masih terduduk di samping jasad ibunya. Kastor, di tengah-tengah duka itu, memutuskan untuk mengubur tubuh Mawas.

Garis pertemuan kawanan Kastor terjadi dengan kawanan siamang. Sepanjang proses berkabung, gerombolan lolongan tersebut sengaja dipersembahkan untuk kepergian Mawas. Dari kejauhan, siamang tersebut mengelilingi kepergian Mawas, salah satu dari kaumnya.

Anak sekecil itu, si jantan tanpa flensa, mencoba memahami kehidupan yang belum tuntas diajarkan oleh Mawas. Seharusnya, masih ada beberapa momen kehidupan bersama Mawas. Rasanya baru tadi saja, diajarkan oleh induknya mengorek semut-semut kecil dengan dahan berukuran lidi untuk bekal makanan.

Si jantan itu, menatap kejauhan rimba lantas menuju dirinya sendiri. Berhari-hari dihantam kehidupan hutan, mencerca kanopi yang selalu berlubang akibat tak tuntas dirakit. Semua hal tentang kehidupan, belum tuntas diajarkan oleh Mawas kepadanya.

Hanya karena sokongan Kastor dan kehidupan yang menghendaki, lama kelamaan, flensa di dua sisi itu makin tumbuh dan membesar beserta kehidupannya untuk menjelajah.

*

“Tunas itu berbisik kepadaku,” ungkap Amang kepada Harambe. Tabung lehernya kembali mengecil.

“Apa katanya?” tanya Harambe.

“Waktu bertemu kita sudah hampir habis. Aku akan meninggalkanmu di sini, sedangkan kamu akan melakukan pertemuan di kemudian nanti.”

“Siapa?” tanya Harambe lagi.

“Entahlah, aku juga tak tahu bahwa akan bertemu denganmu.”

Pada estafet ini, Harambe melakukan pertemuan dengan Amang. Ada sesuatu yang disimpan oleh Amang untuk diserahkan kepada Harambe di akhir pertemuan. Itu adalah perihal pertemuan-pertemuan dan tali yang saling tersambung di antara benang-benang kehidupan dan kematian. Di antara itu semua, pertemuan oleh Amang terjadi dengan perbincangan menarik dan amat sayang kalau terlewat oleh Harambe.

“Di pertemuanku sebelumnya, dia berbicara bahwa di pertemuan sebelum-sebelumnya lagi, ada suatu pertemuan dengan Dodo,” pungkas Amang kepada Harambe.

Harambe menyimak baik-baik ucapan Amang itu, bersama banyak jiwa yang terkandung di sekeliling tunas raksasa tempat mereka melakukan rendezvous.

“Dari yang kudapat, dia adalah yang terakhir dari kawanannya, setelah itu, keberadaannya akan sama sekali punah.

“Kalau kamu berakhir dengan tembakan, dia berakhir dengan cukup konyol. Bahwa dia dimangsa oleh pelaut-pelaut dengan sukarela. Lebih tepatnya, karena terlalu ramah, jadilah termakan jebakan.”

“Memang beginilah kita, harus selalu waspada dan selalu dalam keadaan menyerang dan bertahan,” balas Harambe.

“Apakah ini menjadi semacam pembelaan untukmu?” tanya Amang beserta senyuman dengan niat menggoda.

“Mungkin. Namun, pada akhirnya akan sama saja, betul? Ada ataupun tidak, aku dan… siapa tadi namanya?”

“Dodo.”

“Iya, akhir cerita akan tetap sama, berakhir di sini.”

“Tetapi, tetap saja, seharusnya kita bisa mendapat akhir dengan cara yang tidak konyol,” pungkas Amang.

Setelah melalui banyak kata-kata, Amang pamit dan berakhir saja pertemuan ini. Harambe menatap kejauhan tunas, sembari menunggu siapa pertemuan selanjutnya yang akan ditemuinya.

*

“Memang seharusnya kita melakukan perlawanan, aku senang melihat kematian orang itu di akhir kematianku,” pungkas Mawas kepada Harambe.

“Sejauh ini, Mawas, apa yang dilakukan orang itu terhadapku, sama saja rasanya terhadap apa yang Kastor lakukan kepada orang itu,” ucap Harambe dan melanjutkan, “kita sama-sama mencoba melindungi anak kesayangan masing-masing.”

Sulit untuk Mawas mencerna itu semua. Namun, dengan wajah garang tanpa berang sama sekali, rasa-rasanya berang milik Mawas menjadi teduh setelah badai hutan hujan.

“Mawas, kurasa, tunas itu berbisik sesuatu kepadaku,” ungkap gorila itu dan melanjutkan, “aku ingin menceritakan sesuatu, tentang pertemuan-pertemuan yang telah lawas.”

Tidak ada burung beterbangan yang seukuran gajah. Namun, tidak semua burung dapat terbang. Jiwa yang masih berang, perlahan tunduk dengan ketenangan sikap. Segala sesuatu akan berakhir, dan yang bernilai dari itu semua, adalah perjuangan yang terjadi di tengah-tengah semua itu, atau setidaknya, bukan di garis akhir segala sesuatu.

Rantai pertemuan itu; rantai rendezvous; tak terputus sampai keterakhiran. Menuju tunas yang akan pohon. Tempat tinggal jiwa-jiwa yang telah genap.

“Baiklah, aku harus segera meninggalkanmu di sini,” ucap Harambe.

“Jadi, aku hanya tinggal menunggu?” tanya Mawas.

“Betul. Saat ini, mungkin flensa anakmu telah tumbuh,” ucap Harambe sebagai kalimat akhirnya. Gorila itu diejawantah oleh nihil keberadaan. Mawas bersiap diri dengan pertemuan selanjutnya. Estafet tidak terputus tersebut, hendak berlanjut padanya.

Terbanglah dirinya itu, melewati belukar jiwa. Tanpa kendaraan pun, dirinya yang mungil itu dapat bergerak leluasa melintasi benua kehidupan dan kematian. Kecepatannya tiada tanding, dan mengarah pada tunas raksasa itu. Pada dekorasi keberadaannya, sesuatu di hadapannya tampak seperti kanopi rimba, tempat kawannya dahulu tinggal. Pucuknya tumpul dan tidak runcing. Ketika dongak vertikal ke atas, permukaannya makin tak terlihat, dan ketika tunduk ke bawah, ujung dari asal muasalnya makin muskil kasat mata.

Seusai semua hal tersebut, Kastor bertemu sebuah pengejawantahan merah kecokelatan, dengan lengan-lengan panjangnya yang sudah seperti sayap.

“Bertemu lagi kita,” ucap Mawas semringah terhadap tubuh mungilnya, “berang-berang favoritku.”



[1]Flensa merupakan bantalan pipi besar yang dimiliki oleh orang utan jantan dewasa.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda