Jumat, 10 Desember 2021

Bolehkah aku bermain layang-layang, lantas sumur-sumur di ladang selalu tersedia untuk aku dan orang-orang yang aku kasihi?

Dahulu, aku suka melakukan semacam pertemuan-pertemuan kecil dengan kawan-kawan masa kecil di sebuah sumur pinggir ladang milik seseorang yang sampai saat ini entah siapa.

(Oh, ya, sebelum aku melantur terlalu jauh akibat ketololan dalam merangkai kata-kata, perlu kiranya aku sampaikan bahwasanya tulisan ini dibuat dalam rangka merekam ingatan. Oleh karenanya, anggap saja jari-jari ini berbicara tanpa terlalu mengindahkan ketepatan berpikir dan amburadulnya kata-kata adalah klise yang berputar pada porosnya dan aku merasa hal ini dapat langsung kupraktikkan di sini melalui kehadiran Nicholas Cage yang ke sana ke mari mencari sesuatu yang bukan alamat, tetapi harta karun nasional dan Max Weber menggagalkan usahanya dengan sesuatu yang bernama iron cage karena lelaki yang aktor itu terkurung di dalamnya bersama kera sakti yang juga mencari kitab suci di gunung myoboku. Sekian ketololan kupersembahkan, lanjut.)

Walaupun sumur dekat ladang itu tidak digunakan untuk menumpang mandi, tetapi kami semua dapat berjumpa kembali karena bermain layang-layang sungguh asyik, sebab angin-angin di area itu adalah gula-gula yang menggait kami semua, semut-semut kecil pengitar gula-gula manis yang membikin angin mengelilingi kami semua, seperti ingin menyantap gula.

Aku tahu, setelah usiaku hampir seperempat abad, kehadiran gula tak selalu kehadiran semut, dan kalau ada sumur di ladang, tak selalu dapat ditumpangi mandi, sehingga kalau ada umur panjang, tak lantas dipergunakan untuk berjumpa kembali.

Namun, sumur tak harus ada di ladang, sumur dapat saja tersedia di sebuah vila kawasan Sentul, dan kami semua adalah semut-semut yang bermain layang-layang akibat angin dan ide-ide dasar mengenai gula yang membikin kami bergerombol mendiskusikan sesuatu yang begitu lekat, yaitu kepayahan-kepayahan hidup yang secara mengagumkannya begitu brengsek.

Meskipun seekor semut, kami mampu berdansa lewat permainan layang-layang. Gerak ke kiri, mengenai kebebasan, gerak ke kanan, perihal apa-apa yang tidak bebas. Aku memantau dari tengah, kawan-kawanku yang lebih gemar berdansa ke kiri, selagi memperhatikan kawan-kawanku yang berdansa di kanan.

Tidak semuanya dapat berdansa dengan mengagumkan. Aku sendiri payah dalam berdansa sambil bermain layang-layang. Namun, berdansa sudah merupakan kemewahan. Hanya saja, akan sangat melegakan kalau pedansa-pedansa dari kiri dan kanan dapat saling terhibur dengan dansa yang masing-masing tampilkan. Kalau pun tidak terhibur, setidaknya menghargai tarian-tarian itu sebagai keberagaman tanpa saling sinis atau mengejek.

"Wah, tarian apa itu? Dapatkah sekali lagi ditampilkan padaku karena itu begitu memesona?"

Melalui pertemuan-pertemuan kecil, mungkin hidup sepadan untuk dijalani. 

Selain itu, kawan tak perlu berwujud seseorang beserta atribut-atribut detail tentangnya, yaitu nama, bentuk fisik, dan lain sebagainya. Kawan adalah gula-gula yang membikin semut bergerombol dan dapat saling bertemu serta berdansa. Kawan tak harus seekor semut, kawan dapat saja setumpuk gula yang dinikmati melalui ejawantahnya, dapat saja berbentuk kepayahan-kepayahan hidup yang saling diutarakan.

Hari ini kita pergi, sembari menunggu sumur tempat mampir sejenak lalu berpulang ketempat masing-masing lagi.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda