Nakya (3)
Waktu itu kita berlabuh ke stasiun dekat kampus, dan
rambutmu diikat dengan dua karet gelang. “Apakah rambut itu menjadi pelengkap
ketoprak dan rasanya pedas?” begitu aku bertanya kepada diri sendiri. Kamu, melalui
lekuk bibir yang seperti Mona Lisa, seakan-akan berusaha membalas pertanyaanku,
“Kamu salah, kalau pedas, bungkusnya tidak harus berkaret dua, kadang dirobek
sedikit oleh penjualnya.”
Kalau sedang di warkop, nyamuk-nyamuk suka berbisik
kepadaku dan Nakya, “Hei, pemuda-pemudi tolol, kalian kira asap rokok itu dapat
mengusir kami?!” Aku menangkap kesan kalau Nakya berusaha menjelaskan kepada
nyamuk-nyamuk itu, “Maaf, tidak ada darah untuk kalian hari ini.” Aku harus berhati-hati
terhadap kebiasaan lama Nakya yang suka menggores permukaan kulitnya dengan pisau
dapur. Sekali waktu, satu tutup botol pernah diisinya oleh darah dan begitu
menakjubkan upaya untuk memberi makan nyamuk-nyamuk di dalam kamarnya.
Nakya seperti daerah pelosok yang baru saja kebagian
listrik, terang… terang… jadi tidak ada lagi kelakuannya yang aneh-aneh kalau
terang. Kalau ada kecoa terbang di kamar, Nakya akan menangkapnya tanpa
ragu-ragu. Kalau sedang iseng, pernah kecoa itu dibawanya ke kampus dan
dihadiahkan kepadaku.
“Kecoa adalah hadiah paling istimewa untuk orang-orang
kabisat!” ucap Nakya dengan keceriaan tak terkalahkan. Kalau harga yang harus
dibayar untuk kebahagiaan Nakya adalah menerima hadiah itu dengan tanganku,
sepertinya ini terlalu murah.
Label: Nakya, Prosa Konyol
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda