Seyogianya Sekar (3)
Sekar masih menanak kebahagiaan, “Bahkan kalau hanya ada peluang 1% untukku bahagia, aku pasti akan bahagia!”
Omong kosong dan banal, begitu biasa aku merespons suara congornya Sekar.
Tahukah dia kalau semua orang layak tewas. Datang-datang membual, bikin ubun-ubunku panas karena menyambut semua gemah ripah loh jinawi tahi basah dari layanan bibirnya.
“Tidak bolehkah aku ceria dan menjadi naif sebentar saja?” bilangnya pakai air muka murung.
Sekar, suatu hari nanti upah minimal buruh seperti kita akan dua digit. Bayi-bayi sudah ditentukan takdirnya berdasarkan rahim siapa dia lahir.
“Kalau begitu, biarkan aku menjadi kunang-kunang,” sengit tidak mau kalah, memang begitu tabiatnya Sekar.
“Bahkan kalau selamanya malam?!” balasku, mencoba sekakmat walau hanya berbekal nonton siarannya Hikaru Nakamura.
“Aku tidak akan mendahului malam, malam bakalan tamat sebelum aku tewas.”
Ah, seyogianya Sekar, hatinya murah bahkan uang kembalian pakai tangan kanan saja mengucap maaf, kepada seorang kidal.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda