Yatim yang Piatu
Di malam
tahun baru yang penuh wira-wiri perayaan, aku mengutuk keras kembang api yang
membikin kupingku ngilu. Percik-percik cahaya seperti ingin memetakan langit. Sungguh
bodoh. Langit sudah hitam, tidak ada yang perlu lagi untuk dicari-cari. Sonar cahaya
itu berpencar membentuk rupa kerangka bunga dandelion. Meskipun jutaan peleton
kembang api secara serentak dinyalakan ke langit malam, akhir cerita akan tetap
sama: langit akan tetap hitam. Laki-laki itu pun hadir, seolah aku, langit yang
sedang hitam, dapat diberinya cahaya dengan kedatangannya yang membikin gaduh
hidupku yang sudah serupa piring pecah.
Manusia
gemar sekali merayakan. Apa pun dirayakan. Tahun baru dirayakan. Hari ibu
dirayakan. Hari ayah dirayakan. Menurut hematku, tiga perayaan itu tak
sepantasnya sama sekali dirayakan. Satu. Aku telah berhenti menghitung umurku. Dua.
Ibu adalah karakter bawang merah yang selalu mengiris bagian tubuhnya itu ke
selaput mata dan luka terbuka milikku. Tiga. Ayah adalah karakter fiksi yang nihil
keberadaannya. Tahu-tahu. Dua orang yang dahulu pernah bersumpah setia malahan
melibatkanku pada pertemuan di malam tahun baru yang membuat mual ketenanganku.
—
Mengapa aku
dilahirkan adalah perkara sepele. Seperti ngupil. Seperti gatal. Seperti bersendawa.
Bahwasanya manusia adalah hewan yang berpikir, mungkin ada benarnya. Hal ini
yang kadang membikin aku bertanya apakah aku benar seorang manusia. Karena mereka
membikin aku bukan dengan landasan berpikir. Terpaksa dinikahkan untuk
menutupi borok dengan pelepah pisang. Tanpa tahu kalau baunya akan terendus
juga.
Seingatku
sebisanya, tiga tahun usiaku ketika mereka berdua berpisah dan menikah ke
masing-masing pasangan barunya. Ayah dan pasangannya hilang begitu saja. Untuk menghormati
nasi yang telah menjadi bubur, aku bersyukur setidaknya tidak perlu membuang
energi untuk hidup dengan dua ibu dan dua ayah.
Kalau gitar
sedang dikalungkan di pundak dan bus kebetulan transit di terminal terdekat
dari los kontrakanku, kadang wajah sopir kureka-reka perlahan apakah familier di
ingatanku. Sejauh ini tidak. Pengetahuan terakhir yang kuketahui dari ibu
adalah bahwasanya ayah bekerja sebagai sopir truk melintasi jalur Sumatra-Jawa.
Aku tentu mengerti kalau bus bukanlah truk dan dibutuhkan dua spesifikasi sopir
yang berbeda; hanya penasaran saja untuk membuktikan dunia yang katanya selebar
daun kelor.
Satu dua
lagu kunyanyikan. Satu dua razia kuhindari. Kalau sedang terpojok, aku mengaku
sebagai siswa SMA Beler—Belakang Rel
Kereta. Aman. Hari ini aku senang. Senar gitar telah kuganti dengan yang baru. Setidaknya
genjrengannya merdu, meski suaraku tidak. Bus ekonomi kugemari karena leluasa
keluar masuk. Aku seekor lalat yang hinggap lalu dikebas tanda tak diharapkan. Begitulah
kalau aku sedang tampil. Rekanku yang juga membawa gitar di pangkuannya itu,
kadang telah suntuk menyanyi berbagai lagu dengan khatam dan berakhir tanpa
koin-koin atau beberapa ribu rupiah. Aku? Tetap kunyanyikan dengan
sungguh-sungguh. Masa bodo kalau tidak merdu. Penghuni bus ini harus tahu kalau
aku baru saja membuat tiga lagu. Mereka harusnya merasa terhormat menjadi pendengar
pertama.
SMA Beler tempatku belajar. Kata seorang
guru di sana, aku bisa mengejar ujian paket dan berkuliah. Aku tak suka. Karena
pemasukan paling kecil adalah di kampus. Aku pernah menumpang berbagai bus dengan
jarak tempuh terjauh hingga Sumatra Barat-Jawa
Timur. Sepulangnya, seorang perempuan yang kupanggil ibu sedang siaga di depan
los kontrakanku.
“Tito ingin bertemu,” ucapnya sembari mengeluarkan
kretek, “ada korek?”
—
Dia lebih cocok kupanggil abang
ketimbang ayah. Aku mafhum dilahirkan dari keluarga belia yang tak tahu caranya
menjadi orang tua. Tentu membikin dan merawat merupakan dua perkara yang
sama sekali lain tetapi perlu menjadi satu paket. Kupingku berkunang-kunang
nyeri akibat letusan kembang api. Jiwaku bergejolak oleh perasaan aneh di
haribaan dua orang yang seharusnya kuanggap keluarga.
“Bicaralah Tito, dia anakmu. Lihatlah betapa dia
sudah besar.”
Lelaki itu, Tito, seseorang yang menyumbang
sedikit bagian tubuhnya sehingga aku menjadi janin lantas lahir dan tumbuh
besar. Ada rasa bersalah yang berusaha ditelannya—tentu saja setelah
lima belas tahun kepergian.
“Matikan dahulu rokoknya,” ucap lelaki itu.
“Ini kubeli dari uangku sendiri,” jawab ibu
tak ingin kalah.
Perempuan itu merasa berkuasa atas lelaki bernama
Tito. Barangkali menurutnya, dia lebih pantas menyabet gelar orang tua
ketimbang mantan suaminya itu. Barangkali perempuan itu lupa. Karena kehadiran
fisiknya sama sekali tidak bermakna apa pun karena aku dibesarkan oleh rekan
jauhnya—dan aku bersyukur atas itu semua, karena tak mungkin untukku
yang masih balita untuk menjadi perokok pasif sedini mungkin.
Kehadiran ibu tak jauh beda dari kemunculan
kembang api itu yang hanya sekali dalam setahun. Tak pernah muncul, dan
sekalinya muncul, ingin dirayakan. Aku hanya bersikap baik karena
menghormatinya sebagai seorang manusia, bukan sebagai ibu.
—
“Mengamen,” jawabku kepada dua orang asing itu.
Dua manusia berbeda jenis kelamin tidak
seharusnya bertemu dan menghasilkan anak tanpa terlebih dahulu berpikir. Namun,
tidak masalah, kalau untuk menafkahi diri sendiri, masih banyak rute-rute
hingga pelosok negeri yang belum kujajal.
Warung kopi tempatku duduk di bangku-bangku panjang.
Suara riuh dari kejauhan, tahun baru tinggal menghitung detik. Dua orang ini
membuatku tak nyaman. Aku bingung perihal rumah tangga macam apa yang dapat
dibentuk oleh dua manusia ini. Tito—masih aneh memanggilnya ayah—sama
sekali tak menarik. Berbasa-basi. Tak jauh beda dari orang asing yang kutemui
di kapal ketika melintasi selat sunda.
“Berapa usiamu sekarang?” tanya Tito.
“Entah, aku tidak pernah menghitungnya,” jawabku.
Ibu—dia kupanggil begitu untuk sedikit mengapresiasi,
setidaknya setahun sekali muncul—perlahan-lahan jengah. Pernikahan lawas
mereka yang merupakan kecelakaan, perlahan menemukan kewajaran di benakku karena
berakhir perpisahan. Tito sama sekali tidak menarik. Dan ibu terlalu pongah
serta banyak menuntut. Dia sama sekali tak ingin disalahkan perihal menelantarkanku
karena merasa memberi nafkah bukanlah kewajibannya.
—
Percakapan terjadi biasa saja. Tak ada gejolak. Tak
ada adu bicara. Masing-masing kami telah jenuh dengan masing-masing sikap. Sebutuh
apa pun aku terhadap kehadiran kedua orang tua, aku sudah punya manusia lain
yang dapat menggantikan peran itu.
Los kontrakanku dapatlah dikatakan terminal. Ilmu
berkelit dan siasat nego sudah khatam kupelajari. Kalau sedang malas bernyanyi
dan tidak memiliki lagu ciptaan, dengan senang hati orang-orang dengan tampilan
mewah kubikin tak nyaman hingga terpaksa membayar genjrengan gitarku. Dengan semua
itu, di hadapan dua orang tua ini, aku terdiam canggung dan obrolan begitu
dingin tak bernyawa. Sikapku sekeras terminal dan dua orang ini mengerjaiku
habis-habisan.
Kalau rekan seperngamenan menanyakan perihal
ayahku, sudah lagu lama selalu kujawab ditelan daratan. Dengan ini kuanggap
memang laki-laki itu telah hilang raga dan jiwanya, agar aku tak banyak menuntut
kewajibannya dan terus meratap kehilangan. Oleh karena itu, aku tidak pernah
merasa kehilangan ayah; kehilangan hanya cocok ketika pernah memiliki.
Mereka lalu menganggapku seorang yatim.
“Lalu di manakah ibumu?” tanya rekanku itu.
“Mungkin ditelan waktu, setahun sekali muncul,”
ucapku tak peduli.
Dia lalu menganggapku seorang yatim yang piatu—lantas,
apa bedanya dengan yatim piatu? Tanyaku.
“Apakah kamu merasa memiliki seorang ibu?” tanya
lelaki itu.
“Tidak.”
“Tetapi dia masih hidup?”
“Iya.”
“Tepat sekali.”
—
Malam larut sudah terlalu dingin untuk sebuah
percakapan tak hangat. Maka dua orang itu pamit undur diri. Aku tersenyum mempersilakan
keduanya berlalu. Sehasta, sejengkal, seinci, perlahan-lahan tubuh dua orang
itu mengecil dan menjauh. Aku lega, kembali menemukan diriku. Berada di dekat
kedua orang itu seperti menarik sari-sari kenyamanan.
Tak ada rasa kehilangan sama sekali. Aku bersemangat
karena janji temu dengan rekanku untuk sebuah perjalanan sampai ke rute paling
barat Pulau Sumatra.
Di ujung pintu masuk warung kopi, rekanku datang
dengan sengaja.
“Siapa dua orang yang tadi?” tanya laki-laki itu.
“Bukan siapa-siapa.”
Label: Cerpen
1 Komentar:
Kereeen
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda