Jumat, 03 Januari 2020

Yatim yang Piatu

Di malam tahun baru yang penuh wira-wiri perayaan, aku mengutuk keras kembang api yang membikin kupingku ngilu. Percik-percik cahaya seperti ingin memetakan langit. Sungguh bodoh. Langit sudah hitam, tidak ada yang perlu lagi untuk dicari-cari. Sonar cahaya itu berpencar membentuk rupa kerangka bunga dandelion. Meskipun jutaan peleton kembang api secara serentak dinyalakan ke langit malam, akhir cerita akan tetap sama: langit akan tetap hitam. Laki-laki itu pun hadir, seolah aku, langit yang sedang hitam, dapat diberinya cahaya dengan kedatangannya yang membikin gaduh hidupku yang sudah serupa piring pecah.

Manusia gemar sekali merayakan. Apa pun dirayakan. Tahun baru dirayakan. Hari ibu dirayakan. Hari ayah dirayakan. Menurut hematku, tiga perayaan itu tak sepantasnya sama sekali dirayakan. Satu. Aku telah berhenti menghitung umurku. Dua. Ibu adalah karakter bawang merah yang selalu mengiris bagian tubuhnya itu ke selaput mata dan luka terbuka milikku. Tiga. Ayah adalah karakter fiksi yang nihil keberadaannya. Tahu-tahu. Dua orang yang dahulu pernah bersumpah setia malahan melibatkanku pada pertemuan di malam tahun baru yang membuat mual ketenanganku.

Satu-satunya alasanku hadir, hanya karena aku darah daging mereka. Pikirku mengutuk kecanggungan.
Mengapa aku dilahirkan adalah perkara sepele. Seperti ngupil. Seperti gatal. Seperti bersendawa. Bahwasanya manusia adalah hewan yang berpikir, mungkin ada benarnya. Hal ini yang kadang membikin aku bertanya apakah aku benar seorang manusia. Karena mereka membikin aku bukan dengan landasan berpikir. Terpaksa dinikahkan untuk menutupi borok dengan pelepah pisang. Tanpa tahu kalau baunya akan terendus juga.

Seingatku sebisanya, tiga tahun usiaku ketika mereka berdua berpisah dan menikah ke masing-masing pasangan barunya. Ayah dan pasangannya hilang begitu saja. Untuk menghormati nasi yang telah menjadi bubur, aku bersyukur setidaknya tidak perlu membuang energi untuk hidup dengan dua ibu dan dua ayah.

Kalau gitar sedang dikalungkan di pundak dan bus kebetulan transit di terminal terdekat dari los kontrakanku, kadang wajah sopir kureka-reka perlahan apakah familier di ingatanku. Sejauh ini tidak. Pengetahuan terakhir yang kuketahui dari ibu adalah bahwasanya ayah bekerja sebagai sopir truk melintasi jalur Sumatra-Jawa. Aku tentu mengerti kalau bus bukanlah truk dan dibutuhkan dua spesifikasi sopir yang berbeda; hanya penasaran saja untuk membuktikan dunia yang katanya selebar daun kelor.

Satu dua lagu kunyanyikan. Satu dua razia kuhindari. Kalau sedang terpojok, aku mengaku sebagai siswa SMA BelerBelakang Rel Kereta. Aman. Hari ini aku senang. Senar gitar telah kuganti dengan yang baru. Setidaknya genjrengannya merdu, meski suaraku tidak. Bus ekonomi kugemari karena leluasa keluar masuk. Aku seekor lalat yang hinggap lalu dikebas tanda tak diharapkan. Begitulah kalau aku sedang tampil. Rekanku yang juga membawa gitar di pangkuannya itu, kadang telah suntuk menyanyi berbagai lagu dengan khatam dan berakhir tanpa koin-koin atau beberapa ribu rupiah. Aku? Tetap kunyanyikan dengan sungguh-sungguh. Masa bodo kalau tidak merdu. Penghuni bus ini harus tahu kalau aku baru saja membuat tiga lagu. Mereka harusnya merasa terhormat menjadi pendengar pertama.

SMA Beler tempatku belajar. Kata seorang guru di sana, aku bisa mengejar ujian paket dan berkuliah. Aku tak suka. Karena pemasukan paling kecil adalah di kampus. Aku pernah menumpang berbagai bus dengan jarak tempuh terjauh hingga Sumatra Barat-Jawa Timur. Sepulangnya, seorang perempuan yang kupanggil ibu sedang siaga di depan los kontrakanku.

“Tito ingin bertemu,” ucapnya sembari mengeluarkan kretek, “ada korek?”
Dia lebih cocok kupanggil abang ketimbang ayah. Aku mafhum dilahirkan dari keluarga belia yang tak tahu caranya menjadi orang tua. Tentu membikin dan merawat merupakan dua perkara yang sama sekali lain tetapi perlu menjadi satu paket. Kupingku berkunang-kunang nyeri akibat letusan kembang api. Jiwaku bergejolak oleh perasaan aneh di haribaan dua orang yang seharusnya kuanggap keluarga.

“Bicaralah Tito, dia anakmu. Lihatlah betapa dia sudah besar.”

Lelaki itu, Tito, seseorang yang menyumbang sedikit bagian tubuhnya sehingga aku menjadi janin lantas lahir dan tumbuh besar. Ada rasa bersalah yang berusaha ditelannya—tentu saja setelah lima belas tahun kepergian.

“Matikan dahulu rokoknya,” ucap lelaki itu.
“Ini kubeli dari uangku sendiri,” jawab ibu tak ingin kalah.

Perempuan itu merasa berkuasa atas lelaki bernama Tito. Barangkali menurutnya, dia lebih pantas menyabet gelar orang tua ketimbang mantan suaminya itu. Barangkali perempuan itu lupa. Karena kehadiran fisiknya sama sekali tidak bermakna apa pun karena aku dibesarkan oleh rekan jauhnya—dan aku bersyukur atas itu semua, karena tak mungkin untukku yang masih balita untuk menjadi perokok pasif sedini mungkin.

Kehadiran ibu tak jauh beda dari kemunculan kembang api itu yang hanya sekali dalam setahun. Tak pernah muncul, dan sekalinya muncul, ingin dirayakan. Aku hanya bersikap baik karena menghormatinya sebagai seorang manusia, bukan sebagai ibu.
“Mengamen,” jawabku kepada dua orang asing itu.

Dua manusia berbeda jenis kelamin tidak seharusnya bertemu dan menghasilkan anak tanpa terlebih dahulu berpikir. Namun, tidak masalah, kalau untuk menafkahi diri sendiri, masih banyak rute-rute hingga pelosok negeri yang belum kujajal.

Warung kopi tempatku duduk di bangku-bangku panjang. Suara riuh dari kejauhan, tahun baru tinggal menghitung detik. Dua orang ini membuatku tak nyaman. Aku bingung perihal rumah tangga macam apa yang dapat dibentuk oleh dua manusia ini. Tito—masih aneh memanggilnya ayah—sama sekali tak menarik. Berbasa-basi. Tak jauh beda dari orang asing yang kutemui di kapal ketika melintasi selat sunda.

“Berapa usiamu sekarang?” tanya Tito.
“Entah, aku tidak pernah menghitungnya,” jawabku.

Ibu—dia kupanggil begitu untuk sedikit mengapresiasi, setidaknya setahun sekali muncul—perlahan-lahan jengah. Pernikahan lawas mereka yang merupakan kecelakaan, perlahan menemukan kewajaran di benakku karena berakhir perpisahan. Tito sama sekali tidak menarik. Dan ibu terlalu pongah serta banyak menuntut. Dia sama sekali tak ingin disalahkan perihal menelantarkanku karena merasa memberi nafkah bukanlah kewajibannya.
Percakapan terjadi biasa saja. Tak ada gejolak. Tak ada adu bicara. Masing-masing kami telah jenuh dengan masing-masing sikap. Sebutuh apa pun aku terhadap kehadiran kedua orang tua, aku sudah punya manusia lain yang dapat menggantikan peran itu.

Los kontrakanku dapatlah dikatakan terminal. Ilmu berkelit dan siasat nego sudah khatam kupelajari. Kalau sedang malas bernyanyi dan tidak memiliki lagu ciptaan, dengan senang hati orang-orang dengan tampilan mewah kubikin tak nyaman hingga terpaksa membayar genjrengan gitarku. Dengan semua itu, di hadapan dua orang tua ini, aku terdiam canggung dan obrolan begitu dingin tak bernyawa. Sikapku sekeras terminal dan dua orang ini mengerjaiku habis-habisan.

Kalau rekan seperngamenan menanyakan perihal ayahku, sudah lagu lama selalu kujawab ditelan daratan. Dengan ini kuanggap memang laki-laki itu telah hilang raga dan jiwanya, agar aku tak banyak menuntut kewajibannya dan terus meratap kehilangan. Oleh karena itu, aku tidak pernah merasa kehilangan ayah; kehilangan hanya cocok ketika pernah memiliki.

Mereka lalu menganggapku seorang yatim.

“Lalu di manakah ibumu?” tanya rekanku itu.
“Mungkin ditelan waktu, setahun sekali muncul,” ucapku tak peduli.
Dia lalu menganggapku seorang yatim yang piatu—lantas, apa bedanya dengan yatim piatu? Tanyaku.
“Apakah kamu merasa memiliki seorang ibu?” tanya lelaki itu.
“Tidak.”
“Tetapi dia masih hidup?”
“Iya.”
“Tepat sekali.”
Malam larut sudah terlalu dingin untuk sebuah percakapan tak hangat. Maka dua orang itu pamit undur diri. Aku tersenyum mempersilakan keduanya berlalu. Sehasta, sejengkal, seinci, perlahan-lahan tubuh dua orang itu mengecil dan menjauh. Aku lega, kembali menemukan diriku. Berada di dekat kedua orang itu seperti menarik sari-sari kenyamanan.

Tak ada rasa kehilangan sama sekali. Aku bersemangat karena janji temu dengan rekanku untuk sebuah perjalanan sampai ke rute paling barat Pulau Sumatra.
Di ujung pintu masuk warung kopi, rekanku datang dengan sengaja.

“Siapa dua orang yang tadi?” tanya laki-laki itu.
“Bukan siapa-siapa.”

Label:

1 Komentar:

Pada 15 Juli 2020 pukul 21.29 , Anonymous Anonim mengatakan...

Kereeen

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda