Kamis, 15 Oktober 2020

23: Dari Stephen King Menuju Makoto Shinkai, Beserta Gerbong-gerbong Kecil di antaranya

Aku tak pernah tahu mengapa dahulu lebih memilih menjadi manusia ketimbang gunung. Aku bisa saja mati besok, setahun kemudian, atau bahkan empat puluh tahun lagi. Yang jelas, aku tak ingin usiaku mencapai 108 tahun, seperti Tuan Edgecomb. Hidup yang terlampau lama memang kutukan. Sesuatu yang berlebihan tak pernah baik, termasuk usia. Namun, apakah iman yang terlampau berlebihan juga begitu? Kalau ditanyakan padaku, entahlah. Aku hanyalah boneka nasib yang tali-talinya dikendalikan oleh Yang Maha Esa.

Seorang kawan pernah bilang kepadaku, “Lo tahu kan, Tih, kalau orang yang tugas dalam hidupnya telah khatam, jatah hidupnya sudah berlalu?”

Lantas, pikiranku mengembara, teringat bahwa Nabi SAW pernah bilang bahwasanya tugas beliau di dunia hanyalah menyempurnakan akhlak. Bukan mengislamkan yang non islam. Kurasa, sifat Nabi yang terlampau sempurna itu hampir sama dengan poin-poin pancasila. Kita ini tak mungkin benar-benar mengikuti karena itu terlampau sempurna. Manusia tidak sempurna, tetapi kaidah kehidupan tertuang dengan sempurna. Namun, rujukan dari segala rujukan, mau tidak mau haruslah sempurna.

Bill Burr (atau Louis C.K.? Aku lupa!) pernah bilang, “Usia kematian kita akan lebih panjang ketimbang usia kehidupan kita. Dan jumlah orang yang telah mati lebih banyak ketimbang yang sekarang masih hidup.”

Bekerja untuk dunia seolah hidup selamanya, beramal untuk akhirat seperti akan mati besok. Kebingungan macam apa ini. Kalau aku bekerja dalam rangka beramal, maka jadilah aku ini Ultron. Kebingungan oleh visi misi penciptanya.

Seorang yang selama hidupnya baik, meninggal dalam keadaan buruk, sementara seorang yang selama hidupnya buruk, meninggal dalam keadaan baik. Dunia tak lebih dari hamparan lapangan luas beserta ranjau di hampir setiap pijakannya. Sangat berhati-hati membikin konservatif, tetapi tidak progresif di hadapan lapangan.

Berbicaralah perihal kematian, kepadanya yang merasa hidup. Berbicaralah perihal kehidupan, kepadaku yang merasa mati.

Aku ingin menjadi terang, seperti langit-langit Tokyo selepas raibnya Hina. Anak cuaca itu seharusnya tetap bermukim di awan, tetapi Hodaka mengorbankan langit terang demi bertemu perempuan itu. Lantas, langit-langitku kembali hujan, tetapi tak apa demi mereka berdua.

Kalau langit terang tak berpihak kepadaku, mengapa tak kuciptakan duniaku sendiri dengan sudut pandangku di setiap sisi. Toh aku tak sejahat Ted Bundy, tak akan pernah.

Bersepeda berdua di sekeliling parit-parit air bening. Lantas dari belakang, aku dibisikkan olehnya, “Dunia jahat tapi kita tak boleh.” Mari kumpulkan orang-orang baik untuk menyokong kita. Marilah berperang hanya dengan pikiran buruk kita. Lalu, sosok di belakangku pamit karena dia ingin aku menemukannya. Entah dengan turunnya komet di desa atau cuaca buruk di Tokyo, atau bahkan tak sengaja ngupil di ruang tunggu dan jumpa kita pertama dengan sesuatu sekonyol itu.

Aku balas bisikannya yang dari arah belakang sepeda, “Baiklah, kita akan mati, kita harus mati, tetapi hanya kalau kita telah merasakan hidup.”

Hyacinth ungu belum saatnya mekar

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda