Selasa, 24 Maret 2020

Pepes Manusia

Meskipun Murakami1 membilang bahwa menulis hanyalah upaya-upaya kecil untuk menyembuhkan diri, menurut hematku ini, tidaklah sepenuhnya tepat. Banyak hal seiring umur yang kudamaikan melalui menulis. Satu hal ini misalnya: kereta pagi dan petang yang penuh sesak.
Di pagi hari pada peron-peron, manusia berkerumun menunggu kedatangan kereta. Siku-siku dipersiapkan serupa alat gulat. Selayaknya serdadu perang menerobos gerbang mencari tempat kosong. Manusia-manusia seolah pakaian yang dijejalkan dalam sebuah koper sempit. Yang penting muat, yang penting sampai tujuan. Berdempet-dempet menyerupai seonggok pepes. Kelas-kelas pekerja initermasuk akuterlampau biasa mengalami tragedi karir yang pilu.
Tengok saja perempuan yang terhimpit desakan tubuh-tubuh harum-apek di kiri-kanan-depan-belakang. Seyogianya mahasiswa demonstrasi yang saling himpit dengan pagar betis dan aparat. Kalau kereta rem mendadak, terhunuslah dengan lautan tubuh dan badanku ini gepeng sudah kalaulah semacam spons, dan akan semula kembali melalui proses menyakitkan.
Ini adalah simpanse tata krama. Bayangkan berpuluh menit hingga sampai hitungan jam, berada pada situasi terhimpit seperti ini. Kalau ada penumpang yang ingin turun peron, maka bersiap-siap saja mencari cara keluar dari desakan samudra manusia. Bagaimana mungkin dapat menerobos keluar tanpa membikin penyek sekitar.
Tak ada manusia normal yang menginginkan rutinitas ini. Berkali-kali kupertanyakan sisi kewarasan dari situasi paling sakit. Apakah ini sebuah kenormalan. Memangkah ini serangkaian fase yang lazim dilewati. Waraskah keterbiasaan ini.
Aku tak pernah ingin sumpah serapah kepada penguasa kebijakan. Toh ini pilihan aku dan sekalian mereka. Kuterima dengan dada seluas-luasnya. Anggaplah saja proses berkarir. Tetapi apa kabarnya manusia-manusia usia tua yang menurut standar metropolitan seharusnya telah mandiri secara finansial dan tak perlulah menjadi sekrup-sekrup rutinitas.
Aku gusar sejadi-jadinya. Hati ini resah tanpa ketulungan. Aku takkan tertolong kalau tidak menulis ini. Kegusaran ini harus terlepas. Aku berdamai dengan serangkaian peristiwa pepes manusia dengan menuliskannya. Pernahkah rasa lega menyergap jiwa selepas suatu nasib buruk urung terjadi? Sedikit banyak, itulah yang kurasakan selepas menceritakan ini melalui tulisan.
Ketika petang menghaturkan kehadirannya, kupasrahkan tubuh ini berjejalan kembali dengan lautan manusia. Pakaian mereka berkerah dan tak cocok dengan situasi ini, mana ada baju yang penuh kesopanan itu necis dengan situasi gerbong yang penuh kerimbaan tata krama. Dan aku tak luput dari kesamaan pakaian itu. Namun, dari berkali-kali hari yang sudah lewat, dengan sebuah kekonyongan kusaksikan lelaki berpakaian cerah perpaduan merah-jingga, mencolok, dan begitu asing. Yang hendak dilakukan olehnya selanjut ini amat berkesan dan membikin ricuh dalam waktu bersamaan. Akan kutulis serangkaian peristiwa ini untuk berdamai dengan keresahanku dan memanusiakan kewarasan diri ini, secuil apa pun upaya.
*
Kami sudah jengah. Ini harus disorot serta disuarakan. Peduli nian dengan reaksi publik. Kami harus memanusiakan spesies ini dengan upaya-upaya kecil. Kami harus melakukannya. Toleransi bukan untuk hal-hal semacam ini. Setiap era harus disi oleh gerakan waras hati dan pikiran. Bagaimana mungkin sekelumit keseharian diisi oleh mereka dengan terhimpit raga-raga tak saling kenal.
Memanusiakan diri sendiri takkan pernah luput dengan memanusiakan orang lain. Kamisaya beserta seorang rekanberencana melayangan sebuah gerakan kecil untuk menyuarakan hal ini. Sastra adalah hal terakhir yang kami pikirkan. Sebuah sajak telah dipersiapkan untuk menghadapi kengawuran era. Sastra harus melawan.
Kampus ini begitu dekat dengan stasiun. Pagi hari berdesakan, sorenya juga tak beda. Kami memang seringkali merajuk kalau pulang-pergi ke kampus, kalau harus menghadapi serangkaian proses yang begitu membludak oleh berduyun-duyun manusia merangsek masuk ke gerbong, dan bertahan dengan gerombolan manusia yang menghimpit kami. Seuprit apa pun, kegelisahan harus disampaikan, dan cara-cara klasik dengan advokasi ke pemilik kebijakan takkan mempan. Desakan-desakan manusia di kereta harus disampaikan melalui desakan publik.
“Saya percayakan pembacaan sajak-sajak itu,” ucap seorang rekan, “akan terekam sebagai ironi, kita akan pastikan ini disadari khalayak.”
Sore hari ini begitu cocok. Kami gerakkan niat dan tubuh ini untuk menyatroni stasiun yang amat dekat dengan kampus. Semua orang ingin pulang ke rumah. Semua orang bersiap-siap dengan kaki yang kokoh dan begitu ramai menunggu kereta datang. Dari kejauhan, sudah terlihat situasi di dalam gerbong yang membludak. Penumpang berduyun-duyun berdiri menyergap kesiagapan memasuki kereta yang tak lama lagi akan berhenti di hadapan. Ketika kereta itu berhenti, kami dan segenap penumpang yang lain segera berdiri sejajar atau mendekatkan diri dengan pintu masuk. Tak ada satu pun manusia yang dapat bersikap santai saja di hadapan sebuah gerbong. Seolah ini adalah perlombaan yang harus dimenangkan. Kaki melangkah, kami telah berada di dalam gerbong dengan situasi pelik. Tubuh-tubuh ini bukan hutang kredit tetapi mengapa begitu menghimpit.
Sekeliling kami adalah serangkaian manusia dengan dominasi baju-baju kantor. Tipikal pekerja. Keberuntungan ada di pihak manusia yang mendapatkan jatah duduk dan tidur di bangku atau bahkan berpura diri terlelap. Setiap tatapan penumpang adalah lautan ironi dari sebuah era yang menuntut keterbiasaan ini. Kami berpendapat, kalau hal ini sungguh mengerikan. Nurani kami dipertaruhkan. Manusia perlu ruang untuk bergerak. Bahkan penjara saja tak separah ini. Kami dan seluruh penumpang seolah terpenjara oleh serangkaian rutinitas harian menyiksa.
Rekanku menatap dengan raut muka yang saya tahu bunyinya: “siapkah?”
Sebuah alat rekam dipersiapkan. Kaos merah meronta-ronta lusuh di tubuh kami. Memang ini pakaian jelek, tetapi harum sangat karena kami kasian oleh satu gerbong kalau baunya tak layak di hidung.
Saya berjarak tak jauh terhadap seorang rekan. Setelah diterka sesaat, ini adalah jarak ideal di hadapan kamera. Sajak-sajak itu telah dihafalkan, mana mungkin memegang selapis kertas di situasi seperti ini. Menggerakkan kaki saja tak mampu, semua pijakan telah penuh oleh kaki-kaki penumpang lain. Rekan itu kesulitan dengan tangan-tangannya dan dengan terpaksa memberikan sebuah pemandangan ketiak kepada perempuan mungil itu. Semua hal telah siap.
Dengan sebuah anggukan kecil milik rekan, nafas perlahan-lahan mengalami ketenangan dan keteraturan, dilafalkanlah sajak-sajak itu bersama sejumlah keresahan seorang manusia yang tak rela kaumnya diperlakukan sebuah era dengan ironi.
Selamat sore, beserta segenap rasa rendah hati, kami haturkan saja-sajak ini di dalam gerbong:
“Desak-desak sepenjuru tubuh
Laki-Puan hilang batas intimasi
Ini bukan insang
Tapiku seekor pepes
Rawan privasi

Tak kenal maka himpitlah
Kita asing tapi sedekat ini
Satu gerbong berpeleton otak
Terdesak membikinnya nihil

Lihat spesiesmu ini!

Kakiku timur
Badanku mencari kitab suci

Sambut aku, Tuan Peron, seekor pepes manusia
Menyambar ruang-ruang kerja
Ini lazim sungguhlah perkara”
*
Setiap orang di gerbong itu menyaksikan. Pembaca Murakami juga tak luput mukanya dengan kemerindingan situasi. Baju kantornya lusuh tetapi pikirannya cerah. Tak pernah situasi hatinya terpukau di keadaan pelik ini. Anak kampus berbalut kaos merah sayup-sayup jingga itu begitu hanyut dalam sajaknya. Ada yang menggerutu karena dianggap berisik. Tak sedikit juga yang khusyuk mendengarkan. Memang seyogyanya manusia dengan sejumlah perangainya. Satu orang memanusiakan dirinya dan yang lain mencoba menyampaikan kemanusiaannya.
____________
1 Haruki Murakami, seorang penulis berkebangsaan Jepang dalam karyanya Dengarlah Nyanyian Angin.

Label:

4 Komentar:

Pada 15 Juni 2020 pukul 22.45 , Blogger I am me mengatakan...

Salam kenal bang. Baca haruki murakami juga ya, Boleh rekom novel-novel surealis gak bang ?🙏🏽

Sukses terus blognya 👍🏽

 
Pada 16 Juni 2020 pukul 20.37 , Blogger Mizzart Al Fatih mengatakan...

wow siapa nih wkwk

 
Pada 22 Juni 2020 pukul 09.45 , Blogger I am me mengatakan...

Saya pembaca bang 🤟🏽

 
Pada 22 Juni 2020 pukul 09.46 , Blogger I am me mengatakan...

Jangan lupa tulisan yang baru di tunggu bang🙏🏽 Sama rekom bacaan yang bagus

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda