Sabtu, 26 Maret 2022

Kita Akan Bertemu Kemarin

Maksudnya, apa? Kemarin telah berlalu dan aku sama sekali tidak bertemu denganmu.

"Kami telah bertemu besok," kata kamu seolah ingin pamer, karena tidak ada aku pada kaminya kamu.

Aku benci ketika kamu tidak melibatkanku sama sekali. Kamu begitu yakin terhadap sesuatu yang belum terjadi, kalau itu tanpa kita berdua.

Aku dan kamu yang gagal menjadi kita, seperti begitu cemen ketika kamu mendepakku melalui keterlibatan kaminya kamu.

Kamu suka mengutip kata-kata dokter gadungan, yang melarang tangisan akibat perpisahan dan lebih menyarankan untuk tersenyum karena setidaknya telah terjadi pertemuan.

Hanya butuh satu perpisahan untuk menghapus seribu pertemuan kita.

Terakhir kali kita bertemu, untuk memperingati kaminya kita. Aku berusaha melindungi diri, "Kami telah baik-baik saja."

Kami itu hanyalah aku sendiri.

Label:

Minggu, 13 Februari 2022

Ayang

Kamu datang dan aku terbata-bata sampai jadi sebuah rumah tempat kita saling kasih, "Kalau bahas zodiak lagi, aku tempeleng!"

*

Bersepeda berdua di sekeliling parit-parit air bening. Lantas dari belakang, kamu berbisik tipis, “Dunia jahat tapi kita tidak boleh.” Kita bertengkar lalu kita berbaikan, dan kubalas sambil terus mengayuh pedal, "Andaikan kentut tidak bau." Kita bertengkar.

*

Perlukah aku mempelajari genealogi orang-orang cantik, hanya untuk mencari tahu tentang kamu? Dan lagi: saranku, sebaiknya kurangi kebiasaan mengetuk-ngetuk permukaan meja lalu bilang, "Amit-amit!" Seperti yang saat ini sedang kamu lakukan.

*

Waktu itu kita berlayar ke Depok melewati sore yang sebentar lagi malam. Kamu pelan tapi tergesa-gesa ingin segera meninggalkan suasana gelap. Aku cuma mengamati punggung yang lama-lama menjauh. Dan kita berjalan dengan fase masing-masing.

*

Kalau bertemu anda, saya kikuk lantas berlari menjauh dengan egrang. Namun, saya terjatuh oleh kejauhan anda yang berbincang dengan lelaki lain.

*

Aku ingin membuat pelabuhan tempat orang-orang kangen saling bertemu.

Label:

Jumat, 31 Desember 2021

Seyogianya Sekar (2)

 "Perempuan itu hanya mengenakan bawahan sepanjang beberapa senti dari vaginanya!" hampir-hampir Sekar tersedak oleh perkataannya sendiri.

Selayaknya Sekar, hujan tak ada, angin tak hadir, tetapi disuguhkan kepadaku sebaris omongan yang membikin satu ruangan meletakkan perhatiannya kepada kami berdua.

"Wow, wow, tenang. Jangan menggunakan topi sombrero di sini!" balasku. Tidakkah Sekar sadar kalau beruang laut akan hadir melalui tatapan para pengunjung kafe.

"Aku tidak membawa klarinet!" dilemparkan kembali ucapanku.

Apa yang dialami Sekar, menurut google translate, adalah gegar budaya. Istilah ini tentu tidak sopan, karena berdasarkan sinema elektronik, gegar otak adalah istilah paling frekuen digunakan dalam membumbui cerita. Aku curiga kalau Sekar mendalami dua gegar sekaligus.

"Nyaliku berbanding lurus dengan bawahan yang kupakai, semakin pendek, bakal semakin rendah," kata Sekar.

"Berbanding lurus?" tanyaku.

"Iya!"

"Nyalimu pendek atau rendah?"

"Boleh keduanya."

"Tekanan darah pendek?"

"Hmm..."

"Bawahan tinggi atau panjang?"

"Panjang!"

"Anak pandai!"

Seyogianya Sekar, seorang karyawati dengan lutut yang tak pernah mendahului bawahan. Lain waktu bakal kuceritakan perihal Sekar, perempuan yang cita-citanya adalah menanak kebahagiaan. 

(Bersambung kalau Sekar berkenan)

Label: ,

Minggu, 05 Desember 2021

Kilat Akan Selalu Mendahului Gemuruh

Waktu itu langit adalah orkestra petasan penuh cekcok. Siapa pun yang jemurannya belum diangkat, kuucapkan turut berduka cita.

“Tidak ada kunang-kunang di Manhattan,“ begitu kata congormu kalau sudah lelah dengan langit-langit Depok.

“Olenka mungkin bakal berasa lebih memuaskan,” begitu saja kubalas.

Kamu tersenyum, aku buyar tak terperikan. Belum ada orang yang terpukau selama satu dasawarsa, hanya aku kalau bersama kamu.

Kami membicarakan gerak-gerik belalang sembah, seekor kucing yang tidak bertanggung jawab terhadap tahinya, sampai kematian Jeon Mi-Seon di langit-langit kamarnya.

“Kita ini gemuruh,” katanya sambil mengelus buku Umar Kayam, “takkan dapat mendahului kilat.”

Untuk seseorang yang mempermasalahkan pada situasi seperti apa ‘telinga’ dan ‘kuping’ seharusnya digunakan, omongan ini cukup menggelikan kalau keluar dari mulutnya. Oleh karena itu, ingin rasanya menempeleng kepalanya dengan lemah lembut.

“Wah, bacotmu keren sekali!” balasku.

Dan satu dasawarsa dilanjutkan melalui Wuthering Heights sampai Weathering Bersama Kamu. Kita hanya berisik, tidak menyilaukan sama sekali, tetapi itu sudah lebih dari cukup karena gemuruh kita berdua sehebat langit-langit Depok. Marilah mengangkat jemuran kalau kami berdua sudah bertemu.

Label:

Sabtu, 27 November 2021

Ode to the peculiar (1)

Siapa sebenarnya perempuan yang terseret truk di jalan depan pekarangan rumahku? Waktu itu aku sedang bermain-main dengan balon tiup yang sedotannya kuning-kecil. Rambutnya kental darah, tetapi sepertinya masih hidup. Padat serupa rambut Popuri, tetapi merah kehitaman. Usiaku lima tahun dan ini adalah tontonan yang asyik kala itu. Padahal aku akan menonton Joshua oh Joshua, lalu Mr. Bean, dan iseng-iseng berhadiah kutemukan sebuah kaset video rekaman seekor buaya yang dibelah isi perutnya dan ditemukan jasad seseorang di dalamnya. Kalau sudah asyik menyimak tontonan, aku tidak sadar kalau seekor musang sedang menyantap ayam kampung di belakang rumah. Sekali waktu, ayam itu tinggal sayapnya saja. Di belakang rumah ada dataran terjal, dan kalau digali-gali tanahnya, akan ditemukan selongsong peluru kusam yang entah sudah menembus berapa tubuh. Dari arah dataran terjal, ada babi hutan soliter yang sekali waktu bertamu ke rumahku–tentu saja diusir sebelum disajikan teh kepadanya.

Label:

Rabu, 03 November 2021

Nakya (3)

Waktu itu kita berlabuh ke stasiun dekat kampus, dan rambutmu diikat dengan dua karet gelang. “Apakah rambut itu menjadi pelengkap ketoprak dan rasanya pedas?” begitu aku bertanya kepada diri sendiri. Kamu, melalui lekuk bibir yang seperti Mona Lisa, seakan-akan berusaha membalas pertanyaanku, “Kamu salah, kalau pedas, bungkusnya tidak harus berkaret dua, kadang dirobek sedikit oleh penjualnya.”

Kalau sedang di warkop, nyamuk-nyamuk suka berbisik kepadaku dan Nakya, “Hei, pemuda-pemudi tolol, kalian kira asap rokok itu dapat mengusir kami?!” Aku menangkap kesan kalau Nakya berusaha menjelaskan kepada nyamuk-nyamuk itu, “Maaf, tidak ada darah untuk kalian hari ini.” Aku harus berhati-hati terhadap kebiasaan lama Nakya yang suka menggores permukaan kulitnya dengan pisau dapur. Sekali waktu, satu tutup botol pernah diisinya oleh darah dan begitu menakjubkan upaya untuk memberi makan nyamuk-nyamuk di dalam kamarnya.

Nakya seperti daerah pelosok yang baru saja kebagian listrik, terang… terang… jadi tidak ada lagi kelakuannya yang aneh-aneh kalau terang. Kalau ada kecoa terbang di kamar, Nakya akan menangkapnya tanpa ragu-ragu. Kalau sedang iseng, pernah kecoa itu dibawanya ke kampus dan dihadiahkan kepadaku.

“Kecoa adalah hadiah paling istimewa untuk orang-orang kabisat!” ucap Nakya dengan keceriaan tak terkalahkan. Kalau harga yang harus dibayar untuk kebahagiaan Nakya adalah menerima hadiah itu dengan tanganku, sepertinya ini terlalu murah.

Label: ,

Kamis, 17 Desember 2020

Raungan Kalem

Berbahagialah terhadap kerisauan-kerisauan remeh, seperti, “Aduh pipi aku bulet banget ya kalo pake baju ini.” Kuingin menemui kuping milikmu lantas meraung kalem, “Like anyone cares, Mbak?” Sebelum dirinya sebel terhadap bisikan itu, kutemui lagi untuk kedua kali, “Percayalah hanya kamu yang ambil keacuhan terhadap perkara itu,” lalu kulanjutkan, “tak inginkah acuhnya kepada saya saja?”

Label:

Minggu, 18 Oktober 2020

Masihkah Ada Keajaiban Untuk Orang-orang Biasa?

Sebenarnya, seberapa deras hujan yang datang dari atas langit itu? Satu-satunya cara, adalah melepas payung dan menyaksikannya sendiri, tetapi kalau tak ingin, yang dapat dilakukan hanyalah menerka bising yang diciptakan.

Aku dapat melihat derasnya dari payungku yang tembus pandang. Ketakutan yang membabi buta terhadap masa depan. Namun, itu semua tak dapat kusaksikan dari payungku yang tembus pandang sekalipun.

Langit tak sependek langit-langit kamarku. Tiba-tiba, langit-langitku kejatuhan bintang. Sebuah tempelan dari kertas putih.

Mengapa aku diperbolehkan bermimpi, kalau di ujung jalan yang kutemui hanyalah pupus asa. Apakah hanya hikmah yang menjadi hak untuk kupetik, tanpa imbalan sama sekali?

Mengapa kita diperbolehkan bermimpi, kalau sebenarnya kehadiran kita tidak signifikan sama sekali. Kita hanyalah angka-angka dalam sensus penduduk. Dapatkah berbelas kasih terhadap itu semua, selagi menunggu usia kembali petang.

Label:

Minggu, 13 September 2020

Nakya (2)

 Aih, Nakya.
Belati di atas langit-langit indekosnya
Melayang riuh rendah logam itu
Ditahan selapis tali, hampir-hampir mengenainya

Seketika menatap semak-semak digital
Melahap insekuritas diri
Lantas terisap dalam narasi kemapanan konyol
Belati itu makin-makin bergoyang menggoda

Aih, Nakya.
Jangan dipotong talinya
Nanti kamu terluka,
padahal tidak seyogianya

Label: ,

Minggu, 23 Agustus 2020

Nakya

Gadis itu, Nakya.
Meramu keberadaan diri dengan serba-serbinya: jongkok, duduk, dan bersender di atas kursi.
Kakinya tidak berhak, tetapi tumitnya disangga bawah kursi.
Berjam-jam, berhadapan dengan laptopnya.

Gadis itu, bergelimang kesulitan diri.
Berkali-kali melamar, berbeda-beda lokasi, tetapi tiada respons sampai puluhan tanggal.
Memang belum berjodoh dengan partikelir, apalagi kedinasan.
Uang darurat makin tipis, sehingga darurat hidupnya pula.

Hai, Nakya.
Benalu bagi republik, itu katamu kalau sedang lelah.
Berapa puluh aplikasi kerja telah diupayakan.

Tetapi, suatu hari, terdengar suaramu dari indekos sempit itu:

"Aku bergelimang privilese!"

Lantas, ia mempraktekkannya langsung:
Menatap mi instan, membauinya, lantas mulai melahap dan merasakan bawah mangkuknya yang hangat--sampai isapan kuah yang terdengar di telinga.

Label: ,

Senin, 17 Agustus 2020

Terlalu Capai Untuk Tidur

Lantas kutemui teratai,
dan kucicil ambangku di permukaan hijaunya.
Kamu kembang,
dan aku tenggelam.

Label:

Gundu(kan) Pasir

Semesta adalah kelereng yang digenggam. 
Satu kelereng, lebih tepatnya.
Kita adalah pasir. 
Satu butir pasir, begitulah masing-masing kita.

Hal kecil menjadi besar.
Contohnya, partikel pasir diperbesar dan dicetak seukuran baliho.

Hal besar berubah kecil.
Misalnya, bumi yang butiran pasir di galaksi lepas.

"Everything wil be okay over."

Mengapa khawatir, ketika itu akan berakhir.
Mengapa bahagia, ketika itu tidak selamanya.

"Everything happens for a reason."

Alasan kuat, alasan lemah; keduanya alasan.
Demi percaya kalau hidup bukanlah undian acak, anggaplah seperti itu.

-Dah ah capek pen bobok-

Label: