Rabu, 03 November 2021

Nakya (3)

Waktu itu kita berlabuh ke stasiun dekat kampus, dan rambutmu diikat dengan dua karet gelang. “Apakah rambut itu menjadi pelengkap ketoprak dan rasanya pedas?” begitu aku bertanya kepada diri sendiri. Kamu, melalui lekuk bibir yang seperti Mona Lisa, seakan-akan berusaha membalas pertanyaanku, “Kamu salah, kalau pedas, bungkusnya tidak harus berkaret dua, kadang dirobek sedikit oleh penjualnya.”

Kalau sedang di warkop, nyamuk-nyamuk suka berbisik kepadaku dan Nakya, “Hei, pemuda-pemudi tolol, kalian kira asap rokok itu dapat mengusir kami?!” Aku menangkap kesan kalau Nakya berusaha menjelaskan kepada nyamuk-nyamuk itu, “Maaf, tidak ada darah untuk kalian hari ini.” Aku harus berhati-hati terhadap kebiasaan lama Nakya yang suka menggores permukaan kulitnya dengan pisau dapur. Sekali waktu, satu tutup botol pernah diisinya oleh darah dan begitu menakjubkan upaya untuk memberi makan nyamuk-nyamuk di dalam kamarnya.

Nakya seperti daerah pelosok yang baru saja kebagian listrik, terang… terang… jadi tidak ada lagi kelakuannya yang aneh-aneh kalau terang. Kalau ada kecoa terbang di kamar, Nakya akan menangkapnya tanpa ragu-ragu. Kalau sedang iseng, pernah kecoa itu dibawanya ke kampus dan dihadiahkan kepadaku.

“Kecoa adalah hadiah paling istimewa untuk orang-orang kabisat!” ucap Nakya dengan keceriaan tak terkalahkan. Kalau harga yang harus dibayar untuk kebahagiaan Nakya adalah menerima hadiah itu dengan tanganku, sepertinya ini terlalu murah.

Label: ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda