Rabu, 03 November 2021

Nakya (3)

Waktu itu kita berlabuh ke stasiun dekat kampus, dan rambutmu diikat dengan dua karet gelang. “Apakah rambut itu menjadi pelengkap ketoprak dan rasanya pedas?” begitu aku bertanya kepada diri sendiri. Kamu, melalui lekuk bibir yang seperti Mona Lisa, seakan-akan berusaha membalas pertanyaanku, “Kamu salah, kalau pedas, bungkusnya tidak harus berkaret dua, kadang dirobek sedikit oleh penjualnya.”

Kalau sedang di warkop, nyamuk-nyamuk suka berbisik kepadaku dan Nakya, “Hei, pemuda-pemudi tolol, kalian kira asap rokok itu dapat mengusir kami?!” Aku menangkap kesan kalau Nakya berusaha menjelaskan kepada nyamuk-nyamuk itu, “Maaf, tidak ada darah untuk kalian hari ini.” Aku harus berhati-hati terhadap kebiasaan lama Nakya yang suka menggores permukaan kulitnya dengan pisau dapur. Sekali waktu, satu tutup botol pernah diisinya oleh darah dan begitu menakjubkan upaya untuk memberi makan nyamuk-nyamuk di dalam kamarnya.

Nakya seperti daerah pelosok yang baru saja kebagian listrik, terang… terang… jadi tidak ada lagi kelakuannya yang aneh-aneh kalau terang. Kalau ada kecoa terbang di kamar, Nakya akan menangkapnya tanpa ragu-ragu. Kalau sedang iseng, pernah kecoa itu dibawanya ke kampus dan dihadiahkan kepadaku.

“Kecoa adalah hadiah paling istimewa untuk orang-orang kabisat!” ucap Nakya dengan keceriaan tak terkalahkan. Kalau harga yang harus dibayar untuk kebahagiaan Nakya adalah menerima hadiah itu dengan tanganku, sepertinya ini terlalu murah.

Label: ,

Minggu, 13 September 2020

Nakya (2)

 Aih, Nakya.
Belati di atas langit-langit indekosnya
Melayang riuh rendah logam itu
Ditahan selapis tali, hampir-hampir mengenainya

Seketika menatap semak-semak digital
Melahap insekuritas diri
Lantas terisap dalam narasi kemapanan konyol
Belati itu makin-makin bergoyang menggoda

Aih, Nakya.
Jangan dipotong talinya
Nanti kamu terluka,
padahal tidak seyogianya

Label: ,

Minggu, 23 Agustus 2020

Nakya

Gadis itu, Nakya.
Meramu keberadaan diri dengan serba-serbinya: jongkok, duduk, dan bersender di atas kursi.
Kakinya tidak berhak, tetapi tumitnya disangga bawah kursi.
Berjam-jam, berhadapan dengan laptopnya.

Gadis itu, bergelimang kesulitan diri.
Berkali-kali melamar, berbeda-beda lokasi, tetapi tiada respons sampai puluhan tanggal.
Memang belum berjodoh dengan partikelir, apalagi kedinasan.
Uang darurat makin tipis, sehingga darurat hidupnya pula.

Hai, Nakya.
Benalu bagi republik, itu katamu kalau sedang lelah.
Berapa puluh aplikasi kerja telah diupayakan.

Tetapi, suatu hari, terdengar suaramu dari indekos sempit itu:

"Aku bergelimang privilese!"

Lantas, ia mempraktekkannya langsung:
Menatap mi instan, membauinya, lantas mulai melahap dan merasakan bawah mangkuknya yang hangat--sampai isapan kuah yang terdengar di telinga.

Label: ,