Minggu, 20 Maret 2016

Penggambaran Masa SMA Oleh Media Massa Yang Kadang Tidak Realistis

Kawan, kalian tahu tidak sebuah film, tentang anak SMA yang suka sekali terhadap puisi? Dia ini sebenarnya secara visual, hanyalah bocah SMA (tampan) yang punya rambut gondrong, satu hal yang sangat saya kagumi dari dia, yaitu kemampuannya untuk lolos dari razia rambut. Dia juga suka sekali puisi-puisi karya Khairil Anwar, yang ketika saya bertanya kepada teman sekelas saya tentang Khairil Anwar, respon mereka :
"Siapa tuh?"
"Satpam kita yang baru ya?"
Atau respon yang (agak) membanggakan : "Kayaknya pernah denger, yang di buku Bahasa Indonesia itu kan?"

Dengan kondisi begini, saya berencana membuat film remake versi saya sendiri, berhubung tidak ada teman sekelas saya bernama "Cinta" (kalian bayangkan sendiri jika punya teman bernama cinta, niscaya dia bakal di "jugde" playgirl karena setiap laki-laki memanggilnya "cinta"), maka filmnya akan saya beri judul : "Ada Apa Dengan Sumarni?" dan pemeran utama laki-lakinya "Joko".

Jika di dalam film, Cinta beserta kawan-kawannya mengendarai mobil ke sekolah (which is tidak realistis), maka Sumarni akan bolak-balik sekolah dengan angkot berwarna merah bertuliskan "Janda kembang".

Joko juga tidak akan kalah kharisma nya dengan Rangga, dia juga akan membuat sebuah puisi, yang sebenarnya karya Rangga sendiri yang sudah revisi :

Ku lari ke hutan, mencari kayu bakar
Ku lari ke pantai, cari umang-umang
Sepi-sepi dan sendiri

Aku benci                                                                         

Aku ingin bingar,
Aku mau di pasar, pasar malam
Bosan Aku dengan penat,
Dan enyah saja kau pekat, pekat harimau, oh itu pukat
Seperti berjelaga jika Ku sendiri

Pecahkan saja gelasnya, itu hadiah detergen kok 

biar mengaduh sampai gaduh,
Ada malaikat menyulam jaring laba-laba belang di tembok raksasa cina
Kenapa tak goyangkan saja biduan itu

Atau aku harus cari kayu bakar dan juga umang-umang?

Ok, sebenarnya secara keseluruhan, tujuan dari posting saya ini adalah sebuah curahan hati seorang laki-laki yang tidak pernah mengalami hal keren di masa SMA nya, tidak seperti apa yang ditampilkan oleh dunia entertainment itu.

Dimanapun seni perannya, tidak ada adegan anak SMA yang seragam sekolahnya di masukkan dan rapi, kalaupun ada, maka ia akan sepaket dengan kaca mata dan berakhir jadi bahan bully-an.

Atau adegan ketika mereka di kantin dengan berbagai macam makanan ; Bakso, mie ayam, burger, nasi goreng, soto, etc. Terakhir kali saya ke kantin, yang saya beli adalah kuaci seharga 500 rupiah (maklum saat itu uang menipis, maklum anak kos).

Dan mungkin, adegan konspirasi cinta segitiga, perseturuan antar geng, atau konflik si kaya dan si miskin. Tapi yang sebenarnya terjadi di lapangan, adalah kisah masa SMA kami yang memilukan yaitu ditarik ke ruangan BK akibat ngobrol tentang Naruto saat pelajaran Bahasa Indonesia.
Jika ada kawanku yang masih ingat kejadian ini, maafkan saya karena itu ulah saya.

Senin, 07 Maret 2016

Aliran Way Tuok

Dahulu saya berpikir bahwa danau dan sungai adalah hal yang sama. Ternyata sungai mengalir, sedangkan danau tidak ubahnya sebuah genangan air raksasa. Kembali, pikiran masa kecil saya mengarah ke danau, yang betapa ajaibnya ia sehingga tanah tak mampu menyerap air yang ia miliki, sebuah pertanyaan dari masa lalu : Apakah danau memiliki kemampuan menyumbat aliran air? Begitulah seorang anak kecil berpola pikir, mereka mudah sekali kagum dengan hal-hal remeh. (Sebenarnya tidaklah begitu remeh, mengingat otak saya yang sekarang juga takkan mampu menjawabnya tanpa bantuan om google.)

Perihal sungai-danau, sekolah masa kecil saya itu -yang berseragam merah putih- bersebelahan dengan anak sungai yang bermuara sampai ke lautan. Kadang riak air terdengar jelas ketika pelajaran dimulai.

Namun, anak sungai itu bukanlah satu-satunya sahabat bagi ruang kelasku, mari saya perkenalkan dengan satu lagi objek geografis yang menemani anak sungai berair keruh itu, yaitu adalah sebuah dataran tinggi yang bersekongkol dengan ruang kelas dan kantor guru untuk mengapit aliran anak sungai berbau kotoran manusia itu.

Kawan, tolong maafkanlah kami bocah-bocah SD karena terkadang kami lebih suka untuk membuang hajat di atas aliran sungai itu ketimbang harus menahan bau pesing wc sekolah. Toh ini juga berkat bantuan penduduk sekitar yang memang pola pikirnya sama dengan kami, bedanya, mereka mungkin tidak punya jamban di rumah masing-masing. Atau mungkin sebenarnya mereka punya? Karena menurut satu dari satu orang yang saya wawancara, alasannya prefer untuk "melakukannya" di sungai adalah karena sensasi segar hembusan angin yang melewati pohon dan tak jarang, ia membuat sensasi kesegaran itu sebagai kebutuhan primer, dan aksi membuang hajat di sungai sebagai kebutuhan sekunder.

***

It's gonna be another day for another story. Even though I have no idea why people read this, and how desperate you are if you're reading this right now. No, it's a joke. :P