Senin, 11 November 2019

Laut yang Cocok untuk Seekor Gajah

Hari ini, aku melihat gajah tanpa belalai. Saat itu tak begitu jelas di mataku, telah lama aku menderita rabun jauh, tetapi tak kunjung kuselesaikan karena satu dan banyak hal. Di dalam kelas, kadang slides yang diberikan dosen tidak terlihat jelas tiap-tiap kalimatnya di mataku. Namun, sore itu, aku yakin belalai ituatau wawasan apa pun yang pernah kuingat tentangnyatelah berwujud serupa insang yang mengatup-ngatup.

Lagi dan lagi, segerombolan gajah itu berenang melintasi perahu yang kunaiki.

Santiago telah berlalu ketenangannya, bundar matanya awas, menerka makhluk apa yang melintas di hadapannya. Nelayan tua itu duduk, menahan nalar.

Setiap pergerakannya menimbulkan gelombang ringan ke perahu kami. Gajah tersebut lantas berperilaku familier dan muncul ke permukaan dengan kecepatan tinggi melompati udara.

Belakangan, di antara aliansi hewan, gajah menjadi salah satu penerima hak alam. Belakangan, hanya sepasang gading saja yang membuatku masih mengenali kalau hewan itu benar gajah. Belakangan, kepemilikan terhadap empat kaki, menjadi kurang relevan untuknya, sehingga ikut ditiadakan.

Muncul pengejawantahan yang benar-benar asing di hadapan kami berdua, lalu ia berkata, 

"Habitat yang cocok, bukan begitu?" Aku dan Santiago mengangguk gentar. Lalu kawanan gajah berbahagia mengarungi lautan yang tak terjamah kawananku.

Label:

Di antara serpihan-serpihan digital, hiruk pikuk pikiran mengganggu jam tidurku

Terdapat hal-hal yang semakin dikejar, malah menjauh. Di poros berbeda, hal-hal yang tak dikejar, justru mendekat. Dan tugasku sekarang adalah memisahkan mana yang harus kukejar dan mana yang harus mengejarku.

-Ditutup tanpa polusi suara-

Label: