Minggu, 13 September 2020

Nakya (2)

 Aih, Nakya.
Belati di atas langit-langit indekosnya
Melayang riuh rendah logam itu
Ditahan selapis tali, hampir-hampir mengenainya

Seketika menatap semak-semak digital
Melahap insekuritas diri
Lantas terisap dalam narasi kemapanan konyol
Belati itu makin-makin bergoyang menggoda

Aih, Nakya.
Jangan dipotong talinya
Nanti kamu terluka,
padahal tidak seyogianya

Label: ,

Kamis, 10 September 2020

Ikal (2)

Bukan hanya masa kecil, pun masa remaja dapat terpental jauh keindahan nostalgianya, sewaktu memikirkan kembali setelah dewasa. Untuk waktu yang lama, aku terus mencari Arai. Dan ternyata, mendapatkan kawan sedahsyat itu, lebih mustahil dari dongeng sekalipun. Di antara kawanku yang miskin, mayoritas letupan semangat dalam jiwanya telah direnggut realita. Untuk dapat mengembalikan api itu, diperlukan suatu keadaan khusus: diremehkan, atau bahkan dendam menahun.

Untuk bergerak, menyamakan tempo bersama orang-orang kaya, diperlukan suatu kebencian yang meledak-ledak terhadap situasi termutakhir: miskin menahun. Kalau sudah di pucuk, kuyakin jiwa menjadi abu dan gosong oleh api-api itu. Oleh karena itu, telah lama untukku meninggalkan motivasi berbasis kebencian.

Sebenarnya, aku mempunyai seorang Arai, dengan versi yang bertolak belakang. Dia mengajariku bahwa 'usaha tidak akan mengkhianati hasil' adalah sebuah kekonyolan. Melalui pelbagai sepak terjang yang kulalui, memang seyogianya aku hanya perlu pusing untuk memikirkan proses, ketimbang hasilnya.

Namun, untuk mengingat-ingat kembali, memang terdapat orang miskin yang betah terhadap keadaannya: Makin miskin dirinya, makin pahitlah kopinya itu. Bahkan ketika di dalamnya sengaja disisipi gula (tanpa perlu menambah bayaran) oleh pemilik kedai kopi, lelaki itu justru tak terima karena memang kepahitan adalah dirinya.

Untuk Ikal & Arai, beserta rekaan yang berkelindan di antara mereka berdua. Aku pamit diri.

Label: ,

Sabtu, 05 September 2020

Ikal (1)

Semakin bertambah usia, entah mengapa konotasi 'romantisme' semakin menggiringku untuk cenderung berpikiran sinis. Dahulu kala, kisah Ikal dan Arai adalah romantisme perjuangan yang asyik dan memberi harapan. Aku pertaruhkan banyak hal demi jaket kuning, hanya berbekal menamatkan Sang Pemimpi berkali-kali.

Namun, di buku-buku selanjutnya (kecuali Maryamah Karpov, karena aku kadung mengantuk ketika membacanya), ketika kutelusuri kisah selanjutnya dari petualangan di Sorbonne itu, kini begini pikirku: Mengapa Ikal berakhir mengenaskan di warung kopi? Ingatkah adegan di mana ibunda menerawang ijazahnya itu dan mempertanyakan kemampuan anaknya?

Sekembalinya mereka dari mengelilingi dunia itu, dari perjalanan epik penuh perjuangan bersama Arai. Pada akhirnya, Ikal harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya tetaplah lelaki kampung, udik, nan miskin. Sejauh apa pun pendidikan diemban, selokan awal tempat tumbuh kembang, diberikan internalisasi nila-nilai kehidupan, tetaplah di kampung dan miskin.

Kalau dahulu Pak Balia memberikan dorongan untuk menguasai industri, bukan saja pendidikan. Kalau saja Arai ikut campur untuk kian memanas-manasi Ikal, untuk membikin bisnis unggul tiada lawan. Karena sungguhlah terlampau aneh untukku, lulusan FEB UI itu berakhir menjadi pegawai mesin fotokopi, karyawan pos, dan beragam kerja serabutan. Namun, di antara dramatisasi itu, anggaplah begitu adanya, kemungkinan karena dia sendiri yang menginginkan itu: Mau sejauh apa pun sepak terjang, aku tetap lelaki melayu kampung udik yang menyukai komedi putar.

Label: ,