Jumat, 27 Desember 2019

Aku adalah pengembara, dan pengembara tidak sepantasnya menambatkan diri pada sesuatu, senisbi apa pun

Nama yang tertambat padanya, menyirat makna terhadap harapan. Semua orang mengharapkan harapan. Oleh karenanya, namanya menjadi begitu umum karena semua berharap atas namanya. Namun, harapan membuatku tanpa harapan, hingga memilih untuk tidak berharap pada dia dan nama perempuan itu. Apalah arti nama, kata sekalian kamu. Tetapi sungguh mengertilah, mendengar namanya menjadi jargon-jargon kamu sekalian, membikin aku meriang kesurupan datar.
Pengembara. Untuk seorang pengembara, romansa adalah pantangan. Kamu sekalian boleh saja tidak setuju, aku tidak peduli. Aku peduli pada perempuan itu, kamu sekalian tidak peduli. Karena kamu sekalian hanyalah perasaan-perasaan artifisial yang semu tapi terasa. Kenapa perempuan itu tak melibatkanku? Tanyaku pada dini hari pukul tiga. Oalah, kamu yang berharap tak ketulungan, melebihi ambang teritori yang seharusnya.
Iya, iya. Aku juga paham kalau kamu juga ingin menjadi pengembara, suatu hari nanti. Aku cukup paham. Menyenangkan bersama pengembara-pengembara penuh harap seperti kamu. Moga bertemu di siang bolong di sudut Québec atau Edinburgh.
Baca selengkapnya »

Label:

Minggu, 08 Desember 2019

Pendulum yang Berhenti Mengayun

“Aku ingin mati barang sehari, hanya untuk mengetahui siapa yang peduli.”

Ucapan Em kutanggapi biasa kalabeberapa hari lalu—itu. Kalimat itu bukan perkara sekali aku dengar. Bagaimanapun, Em tidak mengungkit keseriusan pada omongannya perihal sehari. Perempuan itu adalah pembohong sekaliber kakap. Nyatanya, semua orang datang dan tak semua benar-benar peduli. Mungkin kaget, kebetulan sedang tak ada agenda, rumah dekat, dan pelbagai haltapi itu bukan berarti mereka peduli. Di hadapan makamnya yang dilumuri kembang, aku mengutuk Em sebagai pembohong yang melangkahiku. Sehari? Maksudmu selamanya? Kataku berbincang dengan papan kayu yang terukir namanya itu.

Ayunan pendulum milik Em telah genjat, entah karena talinya putus atau berhenti kelelahan. Namun, aku yakin kalau itu terputusdiputus secara paksa. Aku takjub pada caranya memilih mati. Tubuhnya lompat indah dari atap gedung kampus. Gravitasi ditantang. Tubuhnya koyak, hancur, tercerai-berai, mirip seperti piring pecah. Pegawai kampus heboh; dosen-dosen panik; mahasiswa bengong. Di haribaan kematian, intelektual organik itu hanyalah seonggok manusia. Setidaknya, mereka jadi punya objek obrolan. Setidaknya, mereka merasa diri lebih karena tak sejauh itu; perilaku mengutuk kematian sepihak.

Beberapa hari lalu kuremehkan dia. “Cara yang cukup jitu dan tidak rawan terendus,” kataku kepada Em, perihal tali tambang seukuran kelingking jarinya. “Tubuhmu akan melayang-layang berhari-hari, bahkan berminggu-minggu di dalam kamar, tergantung seberapa lama seonggok mayat dapat mengeluarkan bau tak sedap—dan tercium.
Baca selengkapnya »

Label:

Selasa, 03 Desember 2019

Dihidrogen Monyongsida

Anak sekecil itu berkelahi bukan dengan waktu, memang karena satu impian, dan benar pula acap kali tidurnya terganggu. Ibu Guru bertanya tentang cita-citanya kelak. Satu, dua, tiga, sekelas; dokter, polisi, polwan, presiden. Hanya dia yang tak dapat menerka ingin jadi apa. Dia bingung, mengapa profesi menjadi begitu penting: supaya jadi orang. Begitu katanya. Mengapa cita-cita harus diwujudkan melalui profesi. Lantas, bukannya aku sudah menjadi orang? Begitu kata Anak. Esok hari pun datang.

“Budi, sudah tahu cita-citanya apa?” Pertanyaan yang telah dinanti.
“Sudah, Bu.”
“Apa itu?”
“Aku ingin menciptakan alat yang dapat memisahkan hidrogen dan oksigendua hidrogen, lebih tepatnya.”
Ibu Guru menatap asingada kuriositas dari matanya.
“Supaya tidak ada lagi orang tenggelam.”

Oh, Budi, Budi, Budi. Ini adalah Budi. Bocah sekolah dasar di negara yang romansa lebih laku ketimbang fantasi. Jalan terjal untuk Budi.

Ibu Guru menahan komentarnya di akal. Budi, buih di samudra saja tak dapat dihitung, bagaimana caramu menakar volume lautan dengan alatmu beserta bobot orang yang tenggelam. Lantas, apa yang ingin kamu perbuat dengan hidrogen-hidrogen itu? Mengisi balon supaya terbang sehingga dapat membikin rumah melayang-layang seperti di kartun itu?

“Tepuk tangan untuk Budi!”

Label: