Minggu, 05 Mei 2019

Perihal pertemanan and beyond

Aku kepikiran. Kadang kalau sedang kepikiran, susah hilangnya. Seperti perasaan hampa yang datang selepas menamatkan sebuah buku/film/series. Sebenarnya sepele. Ini hanya perihal pertemanan—hubungan dengan manusia memang rumit, kadang. Atau malah aku sendiri yang merumitkannya—merumitkannya? Merumitkannya?! Bahasa apa itu?! Seseorang tolong cek apakah benar ada kata 'merumitkannya' di KBBI?!

(Tolong ini kenapa tombol 'tab' di blogger enggak bisa ya?! Aidah sudahlah, aku terlalu malas mengedit—menyunting, tuanku, menyunting!)

Percaya atau pun tidak, di titik dalam kehidupanku, aku bertemu banyak orang-orang dengan beragam tata kelakuan, gesture ketika berbicara, cara menatapku yang berbeda, cara merespons omonganku dengan beragam mimik muka. Dan di antara banyak warna itu, kadang aku berpikir: Kalau kita mempunyai banyak momen bersama sedikit saja, mungkin kita akan menjadi sahabat.

Orang-orang bertemu dengan cara yang penuh misteri. Ada jutaan hingga milyaran manusia di dunia, dan hanya beberapa yang benar-benar dekat dengan kita. Kadang kita dapat memilih circle pertemanan, kadang juga kita tercebur di dalamnya, hingga tenggelam, hingga nyaman, hingga tanpa sadar kalau sebenarnya tak pernah ada kecocokan dan hanya merasa tak enak hati untuk berenang ke permukaan.

Sering atau kadang. Aku berkenalan dengan orang baru. Dan hanya dalam hitungan menit dari caranya berbicara, aku dapat menilai: Oh, orang ini akan cocok mengobrol denganku dengan bantuan segelas kopi. Sayang sungguh sayang, karena pertemuan itu sangat singkat, dan tidak ada garis kehidupan yang menakdirkanku bertemu lagi dengannya, atau tak ada lagi momen yang memberi urgensi untuk kami berbincang-bincang lagi.

Yah, mungkin itulah gunanya pasangan, ya. Untuk menjadi sahabat dalam obrolan tengah malam. Memang dunia sudah dirancang sedemikian rupa demi melayani penghuninya.

Untuk beberapa orang yang kutemui, aku sungguh penasaran dengan sudut pandangnya tentang sesuatu. Aku sungguh penasaran dengan dirinya dengan sisi yang lain. Untuk sebab yang tak kupahami, aku tertarik dengan manusia, spesiesku sendiri.

Aku—saat tulisan ini dibuat—menganggap status kewarganegaraan, suku, ras, dan lain sebagainya sebagai sebuah pembatas yang membuatku kesulitan untuk mengetahui sudut-sudut pandang lain yang ingin aku ketahui. Aku menganggap manusia sebagai manusia. Bukan sebagai orang kristen, orang jepang, orang asing, atau orang-orang yang lain. Kita lahir dengan sebuah perangkat kehidupan yang kita sendiri tak pernah memintanya.

Sudah itu saja.
Itu saja sudah.


Label: