Minggu, 13 Februari 2022

Ayang

Kamu datang dan aku terbata-bata sampai jadi sebuah rumah tempat kita saling kasih, "Kalau bahas zodiak lagi, aku tempeleng!"

*

Bersepeda berdua di sekeliling parit-parit air bening. Lantas dari belakang, kamu berbisik tipis, “Dunia jahat tapi kita tidak boleh.” Kita bertengkar lalu kita berbaikan, dan kubalas sambil terus mengayuh pedal, "Andaikan kentut tidak bau." Kita bertengkar.

*

Perlukah aku mempelajari genealogi orang-orang cantik, hanya untuk mencari tahu tentang kamu? Dan lagi: saranku, sebaiknya kurangi kebiasaan mengetuk-ngetuk permukaan meja lalu bilang, "Amit-amit!" Seperti yang saat ini sedang kamu lakukan.

*

Waktu itu kita berlayar ke Depok melewati sore yang sebentar lagi malam. Kamu pelan tapi tergesa-gesa ingin segera meninggalkan suasana gelap. Aku cuma mengamati punggung yang lama-lama menjauh. Dan kita berjalan dengan fase masing-masing.

*

Kalau bertemu anda, saya kikuk lantas berlari menjauh dengan egrang. Namun, saya terjatuh oleh kejauhan anda yang berbincang dengan lelaki lain.

*

Aku ingin membuat pelabuhan tempat orang-orang kangen saling bertemu.

Label:

Selasa, 01 Februari 2022

Seyogianya Sekar, "Cantik dari dalam adalah sebuah kekonyolan."

Kalau hendak membaca tugas akhir, memang seyogianya melihat halaman abstrak terlebih dahulu. Anggaplah seperti itu, beginilah kira-kira hal ini akan disuguhkan: Sekar merupakan biang perbincangan di cerita ini yang semuanya bermula pada Jiran yang mengatainya gendut. Selanjutnya, mereka berdua akan berkutat dengan dunia akhir-akhir ini, beserta kata kunci: perundungan (maya dan tubuh), bersama segala sesuatu yang berkelindan di balik semak-semak digital itu.

Selayaknya Sekar, begitu rakus terhadap dialektika, sehingga gemar nian mendamprat kedalaman berpikir seseorang yang hanya sejengkal. Seyogianya Sekar, massa tubuhnya itu layaknya fanatisme—berlebihan dan sukar ideal. Sekar dan Jiran merupakan karib sekampus dan selepas mengkhatamkan mata kuliah pada sore ini, Gedung Koentjaraningrat menjadi pelataran oranye tempat mereka berdua nongkrong.

Menanggapi perihal seminggu lalu, ketika ia dipanggil "gendut" di hadapan gawai milik Jiran, Sekar langsung saja tanpa tedeng aling-aling memulai ucapannya.

“Mereka menganggapmu melakukan body shaming!” ungkapnya ringan. 

“Merundung tubuh!” balas Jiran.

“Baiklah, baiklah, dasar anak kandung KBBI!” ucapnya meramu ejekan.

Sekar, engkau mendamprat siapa saja perempuan yang tidak menarik secara fisik, dan berkelit kalau kecantikan mereka bersemayam di hati. Dengan senyuman miring, dihardik kepercayaan itu oleh engkau karena itu semakin membuat perempuan tak kasatmata terhadap kenyataan.

Ngomong-ngomong, Sekar kerap kali berbasis diksi-diksi kepuritan, "Kalau tak cantik, akui sajalah!" ucapnya. Sebagai latar belakang, perlulah menambatkan perhatian kepada Sekar, sebagai tokoh yang tidak berparas cantik—mohon maaf, sama sekali bukan ejekan, ini mengutip dari Sekar sendiri: "Aku memang tidak cantik, tetapi bukanlah tentu aku jelek, di mana moderat-moderat itu?!" begitulah ucapnya sedari dulu.

Kalau saja ada yang menyebutnya jelek, Sekar hanya akan menanggapi dengan, "Ya… begitulah, tidak semua hal dapat diraih." Santai sekali perempuan itu. Sikapnya tidak masa bodo; tak acuh secukupnya; responsif sekadarnya; dan lebih dari itu, seyogianya Sekar, tabiatnya itu yang seperti di pantai—santai tanpa lebay.

Sekar merupakan mahasiswi tingkat tiga. Walau jiwanya itu veteran tingkat seratus. Sekar sama sekali tidak keberatan ketika dijadikan objek candaan oleh satu angkatannya berkenaan dengan massa tubuhnya itu. Menurutnya, panggilan tersebut hanyalah penyampaian fakta: “Memang aku ini gemuk, mengapa perlu ditutup-tutupi melalui perasaan tak enak hati!” Dengan itu semua, Sekar melanjutkan hidup dengan biasa-biasa saja.

Karena memikul diksi kepuritan, Sekar tidak merisaukan konotasi yang merebak pada setiap penggunaan kata. Misalnya, dewasa ini, penggunaan kata 'miskin' menjadi amat dihindari, lantas mulailah diromantisisasi menjadi 'prasejahtera'. Sekar berpendapat, kalau kenyataan perlu didekap dan dibicarakan terbuka jika ingin berdamai dengan keadaan. Oleh sebab itu, menurut Sekar, perempuan yang telah menerima keadaan dirinya yang tidak unggul dalam dimensi cantik (bukan berarti jelek!), perlulah kiranya untuk mengembangkan hal lain yang masih dapat dipoles.

*

Jiran merupakan delima ranum yang diperebutkan lelaki, melalui parasnya. Oleh karena itu, perempuan yang—oleh Sekar—dikultuskan sebagai anak kandung KBBI tersebut, memiliki cukup banyak penggemar maya. Selain itu, dapatlah dikatakan kalau Jiran adalah pencinta bahasa Indonesia poros ekstrem.

Kalau Gedung Koentjaraningrat minggu depan beraroma oranye, lain di hari ini yang pelatarannya cukup pekat. Namun, apa pun warna yang ditampilkan pada bangunan kampus itu, mereka berdua tetap nongkrong seperti biasanya.

Sebelum berucap, Sekar melongo dengan gemilang ketika dilihatnya media sosial milik Jiran, “Banyak sekali followers-nya!”

“Pengikut!” pungkas Jiran. “Baiklah!”

Lantas, Jiran mengambil beberapa swafoto dan berjeda sebentar untuk memastikan wajahnya. Selagi memperhatikan gerak-gerik sahabatnya itu, Sekar mengambil ancang-ancang lalu berucap, “Kalau kamu ingin bertanya apakah pipimu bulat, atau alismu menghilang, mending kuhardik saja agar lebih pantas, ketimbang menulis itu sebagai caption!”

“Takarir!” pungkas Jiran mencoba membetulkan.

“Hah?!”

“Pengganti kata ‘caption’!”

“Luar biasa!!”

Selama bertahun-tahun berkawan baik, Jiran tahu pasti bahwa Sekar adalah perempuan yang telah mempan terhadap komentar fisik. Ketika semua perempuan mengatakan tentang inner beauty, yang kemudian akan dikoreksi oleh Jiran menjadi, “Kecantikan dari dalam!” Namun, Sekar takkan berkoar perihal kecantikan yang dari dalam. Perempuan itu, tak pernah

setuju kalau ada kecantikan dari dalam. Menurut otaknya itu, ada dimensi yang berbeda di antara baik hati dan cantik. Beginilah kalau jadi orang puritan.

"Cantik dari dalam? Kenapa gemar sekali menciptakan kekonyolan. Temanku yang gendut-gendut itu—sama seperti aku… janganlah cepat tersinggung! Orang gendut dan tersinggung adalah dua kombinasi paling menyusahkan—amat sulit gencatan senjata terhadap dirinya, terus saja menyangkal kenyataan!" begitu ungkap Sekar.

“Jadi, bagaimana menurutmu sebagai orang yang gendut?” tanya Jiran dengan gawai yang telah tersambung dengan media sosialnya.

“Ya sudah. Bagiku tubuhku, bagimu tubuhmu!” ucapnya di depan lensa kamera. “Tetapi, apakah tubuh sesakral itu untuk mengubah diksi ‘agama’?”

“Luar biasa!!”

*

Menurut pengakuan Sekar, selama otaknya masih berfungsi dengan baik, ia takkan repot-repot dengan kodrat biologisnya. Namun, profil Sekar sangatlah membumi. Meski berbobot tak ideal, Sekar tak pernah merasa perlu menampilkan apa pun untuk khalayak—demi menutupi kekurangannya, yang secara harfiah adalah kelebihan. Jadi, meski tubuhnya tidak ideal, kepercayaan diri milik Sekarlah yang ideal—memang mustahil untuk ideal pada setiap aspek. Dan hal ini, seyogianya Sekar dan segenap perempuan yang sefrekuensi dengannya, perlu diraih erat-erat.

Di salah satu vlog miliknya, Jiran memanggil Sekar dengan sebutan ‘gendut’ atau kalau sedang ingin imut menjadi ‘ndut!’. Secara kasatmata, kelakuan Jiran terlihat seperti orang kaya yang sedang memanggil orang miskin dengan ‘miskin’ atau kalau sedang ingin kasar menjadi ‘dasar miskin!’. Dewasa ini, kecemburuan sosial bersaing pamornya dengan kecemburuan biologis; banyak penonton yang mencercanya akibat hal tersebut.

Pesan-pesan digital menjadi hilir mudik bertamu di gawai milik Jiran. Perempuan itu, menjadi sasaran paling strategis untuk sebuah kecemburuan biologis yang telah lama dipendam oleh orang-orang yang mudah tersinggung oleh sentimen kecantikan.

Jiran merasa terpukul bertubi-tubi, dan cukup menyakitkan ketika melihat setiap komentar yang muncul pada kanal-kanal media sosial miliknya, hanyalah ujaran kebencian yang saling dukung.

Beramai-ramai, Jiran diserang oleh warganet dari berbagai sisi. Kalau melihat Tugas Akhir, dapat terlihat di bab terakhir terdapat kesimpulan dari tulisan ilmiah itu. Anggaplah demikian, beginilah kira-kira kesimpulan dari komentar-komentar warganet kepada Jiran yang dapat dirangkum padu: “Dengerin, Mbak! Orang tuanya ngedidik gak?! Kok akhlaknya kayak kabur gitu, seenaknya ngatain perempuan ‘gendut’, mentang-mentang situ cantik, gitu?! Kalau gue ketemu elo di jalan, gue cakar juga muka elo itu, ngerti?! Dasar sundal!!

Seharian itu, Jiran menjadi amat kelabu. Di sore hari pada pelataran kampus yang pekat, Jiran mengelilingi trotoar kampus dengan berjalan kaki, dan membenamkan benaknya terhadap apa yang menimpa dirinya itu. Setidaknya, hanya dengan memanggil Sekar ‘gendut’, ada empat hasil yang didapat olehnya: 1) orang tuanya dipertanyakan kemampuan mengurus anak; 2) kepribadiannya direndahkan; 3) menerima ancaman akan disakiti; dan terakhir 4) dirundung dengan panggilan tak seyogianya.

*

“Itulah mengapa, di setiap kontes kecantikan, pastilah ada poin penilaian dari wawasan masing-masing kontestan,” ucap Sekar beserta pelataran gedung yang makin oranye.

Itu bukan lembayung, tetapi cukup cantik untuk ukuran langit Depok. Jiran melanjutkan obrolan itu, yang sebelumnya masih merasa terusik dengan setiap pesan cemooh yang masuk di media sosialnya.

“Kecantikan perempuan, mana mungkin dapat dipilih salah satu menjadi yang terbaik? Oleh karena itu, dewan juri pasti mencari-cari indikator lain supaya upaya mencari pemenang menjadi tidak terlampau mustahil,” ucap Sekar lagi.

“Tetapi, tetap saja itu namanya kontes perempuan unggul, bukan hanya kecantikan,” ucap Jiran menanggapi sahabatnya.

“Sebenarnya, mudah saja untuk mengukur apakah perempuan sudah berdamai dengan dirinya, ataukah belum. Silakan saja mengamati media sosial perempuan-perempuan yang parasnya cantik, atau menonton kontes kecantikan sampai khatam.”

Kalau ada satu hal yang dapat disetujui bersama oleh kedua sahabat itu, adalah mengenai kontes kecantikan yang semakin mempromosikan standar kecantikan yang diimpi-impikan oleh segenap perempuan. Seyogianya, standar kecantikan itu fana. Namun, kedua perempuan itu barangkali akan didebat habis-habisan terhadap opininya.

“Dan media sosial, semakin membuat perempuan menjadi insecure terhadap tubuhnya,” ungkap Sekar.

“Haloo… Jiran?!” ucap Sekar lagi, mencoba memastikan sahabatnya.

“Apa?”

Insecure?!”

“Oh, ya… aku belum menemukan padanan kata yang paling tepat.’ “Baiklah, statusmu sekarang turun kelas, menjadi anak tiri KBBI.” “Ha-ha, baiklah, lanjutkan omonganmu.”

“Dunia yang dewasa ini dihilangkan batas-batasnya oleh internet, membikin orang-orang jelek dan orang-orang cantik berada pada satu wadah. Dan, mempertemukan keadaan kontras inilah yang memicu konflik digital,” ucap Sekar berpanjang lebar.

“Oleh karena itu, kamu memilih menjadi seorang moderat di setiap spektrum isu, benar begitu?”

“Iya, karena kalau poros ekstrim, akan memicu keributan.”

“Ekstrem!”

“Luar biasaaa!!”

“Bukankah tidak ada perempuan yang jelek, semua perempuan itu cantik?” ucap Sekar mencoba menggoda sahabatnya itu.

“Ha-ha! Sebagai anak kandung KBBI, apa artinya ‘jelek’ itu?”

“Aku kembali naik kelas?”

“Iya!”

“Jelek artinya: ‘tidak enak dipandang mata’,” balas Jiran.

“Menurutmu, semua perempuan ‘enak dipandang mata’?” tanya Sekar.

Jiran diam saja, tidak menjawab sama sekali. Untuk hal ini, mereka sepakat untuk tidak sepakat. Berkawan memang tidak melulu harus satu suara. Dan kedewasaan untuk menerima pendapat yang berbeda, amat sulit untuk warga-warga di internet. Berkenaan dengan itu semua, Sekar melanjutkan bicaranya.

“Mereka masih menghardikmu?” tanyanya.

“Iya, karena aku melakukan body shaming,” ucapnya seraya memperagakan simbol ‘tanda kutip’ untuk dua kata terakhir yang dia ucapkan.

“Ha-ha, apakah itu sebuah kompromi?” tanya Sekar berkenaan dengan penggunaan dua kata asing itu oleh anak kandung KBBI.

“Betul,” pungkas Jiran beserta senyumnya.

Lalu, Sekar dan Jiran membuat vlog bersama dan mulailah perempuan tersebut menjelaskan sikapnya terhadap Jiran yang memanggilnya ‘gendut’ pada tempo lalu. Di hadapan sepucuk kamera milik Jiran, mulailah Sekar mengeluarkan kata-katanya:

“Halo, perkenalkan, namaku Sekar, sahabat dari orang ini,” ucap Sekar yang telunjuknya mengarah ke Jiran, “di dunia ini, pada era yang hampir menghilang batas-batas riil dan maya, sepatutnya kalian (warganet) mengerti kalau aku biasa saja dipanggil ‘gendut’, sehingga yang dilakukan Jiran kepadaku bukanlah body shaming. Mengenai ketersinggungan kalian terhadap kelakuan Jiran, aku iba sekali karena kalian belum berdamai dengan itu semua dan melesatkan kebencian kepadanya. Kalau tidak cantik seperti Jiran, biasakanlah!”



Label: