Yatim yang Piatu
Di malam
tahun baru yang penuh wira-wiri perayaan, aku mengutuk keras kembang api yang
membikin kupingku ngilu. Percik-percik cahaya seperti ingin memetakan langit. Sungguh
bodoh. Langit sudah hitam, tidak ada yang perlu lagi untuk dicari-cari. Sonar cahaya
itu berpencar membentuk rupa kerangka bunga dandelion. Meskipun jutaan peleton
kembang api secara serentak dinyalakan ke langit malam, akhir cerita akan tetap
sama: langit akan tetap hitam. Laki-laki itu pun hadir, seolah aku, langit yang
sedang hitam, dapat diberinya cahaya dengan kedatangannya yang membikin gaduh
hidupku yang sudah serupa piring pecah.
Manusia
gemar sekali merayakan. Apa pun dirayakan. Tahun baru dirayakan. Hari ibu
dirayakan. Hari ayah dirayakan. Menurut hematku, tiga perayaan itu tak
sepantasnya sama sekali dirayakan. Satu. Aku telah berhenti menghitung umurku. Dua.
Ibu adalah karakter bawang merah yang selalu mengiris bagian tubuhnya itu ke
selaput mata dan luka terbuka milikku. Tiga. Ayah adalah karakter fiksi yang nihil
keberadaannya. Tahu-tahu. Dua orang yang dahulu pernah bersumpah setia malahan
melibatkanku pada pertemuan di malam tahun baru yang membuat mual ketenanganku.
Satu-satunya alasanku hadir, hanya karena
aku darah daging mereka. Pikirku
mengutuk kecanggungan.
Baca selengkapnya »Label: Cerpen