Jumat, 03 Januari 2020

Yatim yang Piatu

Di malam tahun baru yang penuh wira-wiri perayaan, aku mengutuk keras kembang api yang membikin kupingku ngilu. Percik-percik cahaya seperti ingin memetakan langit. Sungguh bodoh. Langit sudah hitam, tidak ada yang perlu lagi untuk dicari-cari. Sonar cahaya itu berpencar membentuk rupa kerangka bunga dandelion. Meskipun jutaan peleton kembang api secara serentak dinyalakan ke langit malam, akhir cerita akan tetap sama: langit akan tetap hitam. Laki-laki itu pun hadir, seolah aku, langit yang sedang hitam, dapat diberinya cahaya dengan kedatangannya yang membikin gaduh hidupku yang sudah serupa piring pecah.

Manusia gemar sekali merayakan. Apa pun dirayakan. Tahun baru dirayakan. Hari ibu dirayakan. Hari ayah dirayakan. Menurut hematku, tiga perayaan itu tak sepantasnya sama sekali dirayakan. Satu. Aku telah berhenti menghitung umurku. Dua. Ibu adalah karakter bawang merah yang selalu mengiris bagian tubuhnya itu ke selaput mata dan luka terbuka milikku. Tiga. Ayah adalah karakter fiksi yang nihil keberadaannya. Tahu-tahu. Dua orang yang dahulu pernah bersumpah setia malahan melibatkanku pada pertemuan di malam tahun baru yang membuat mual ketenanganku.

Satu-satunya alasanku hadir, hanya karena aku darah daging mereka. Pikirku mengutuk kecanggungan.
Baca selengkapnya »

Label: