Jumat, 28 Februari 2020

Ikan ikan apa yang tongkol?


Biarkanlah cerpen ini menggiring bukti kepemilikan kalau kita pernah bersama. (1)
Untuk kawan-kawan Kota Karang dan GUIM; dan segala aspek kehidupan yang karenanya raga nan hati kita bertautan. (2)
Ditulis dengan suplemen Don McLean melalui Vincent; hikmah dari sepotong kuping milik Van Gogh. (3)
Selamat membaca prosa ngawur ini; ayolah, semusim dan semusim lagi, kita angkat sauh dan berpencar untuk berlabuh. (4)
Senyata apa pun, anggap saja ini sebagai karya fiksi. (5)

Serangkaian Unek-unek Saras

Pukul lima sore, langit pesisir ini ketumpahan violet sehingga lembayung mencuat tanpa malu-malu, membentuk lukisan langit. Palet-palet kosong berbekas putih, jingga, dan biru. Ombak-ombak berulah dan berontak serupa didadar oleh angin samudra. Gulungan itu makin kencang, kejar-kejaran, hingga bibir pantai barulah reda dan kembali surut. Sisi timur pantai kedatangan oleh kawanan air sungai yang berkuala pada surutan laut. Mereka berdampingan oleh sisi barat pantai yang berjarak dekat saja pada pematang sawah.

Pada dekorasi geografis itu, sebuah Sekolah Dasar (SD) menggandeng pantai dengan suatu tanggul tinggi pembatas riak-riak lautan dengan bangunan pendidikan tersebut. Segerombolan pemuda-pemudi merakit asa. Mereka disebut relawan. Relawan mengajar sebetulnya. Satu dua dari mereka mungkin saja telah khatam menjelaskan bahwa adalah kekeliruan menyebut kegiatan mereka sebagai Kuliah Kerja Nyata (KKN).

Untuk mempersingkat perkenalan, KKN adalah sebuah kekaprahan ketimbang: “kami adalah gerakan pendidikan yang tujuannya mengajar di daerah pelosok dan berfokus pada sekolah dasar. Ini adalah inisiasi murni mahasiswa dan bukan kakaen.”

Warga lokal takkan repot-repot mencerna itu semua. Lihat saja Kowi, seorang relawan mengajar yang raib suaranya akibat berbicara terlampau maruk. Leher jenjangnya serupa perosotan. Selicin itu pula vokalnya meluncur dan hilang rimbanya.

“Suara saya ketinggalan di Way Pampang,” ujarnya jenaka.
Baca selengkapnya »

Label:

Minggu, 09 Februari 2020

Burung-burung Kuntul

Dengan tidak terlampau ramai, wajah perempuan itu polos saja melalui keterlibatan bedak dan gincu yang nihil. Lekuk bibirnya ditarik simetris pada tiap-tiap emosi yang ia tunjukkan. Lekuk cekung kalau bergembira, sesekali lekuk cembung mulai ditunjukkan kalau muram. Anggaplah tidak terjadi apa-apa, lekuk horizontal dengan tekun bergelayutan pada gurat bibirnya. Aku selalu paham asal muasal kuketahui pengetahuan perihal perempuan itu. Namun, aku merupakan lelaki yang menunggu momentum.

Citra diri andalan miliknya yang amat kunanti: ngambek. Bahwa aku bersyukur perempuan itu merajuk dengan gemilang. Ngambek adalah kemewahan yang pada dirinya menjadi wadah untuk menunjukkan, bahwa pada situasi muram hati, perempuan itu menegaskan sisi diri paling memesona.

Namun, itu hanya perihal sesuatu yang lawas; sudah berlalu, usang, ditinggalkan, tak terurus dengan versi yang paling tidak kuinginkan.
Baca selengkapnya »

Label: