Minggu, 23 Agustus 2020

Nakya

Gadis itu, Nakya.
Meramu keberadaan diri dengan serba-serbinya: jongkok, duduk, dan bersender di atas kursi.
Kakinya tidak berhak, tetapi tumitnya disangga bawah kursi.
Berjam-jam, berhadapan dengan laptopnya.

Gadis itu, bergelimang kesulitan diri.
Berkali-kali melamar, berbeda-beda lokasi, tetapi tiada respons sampai puluhan tanggal.
Memang belum berjodoh dengan partikelir, apalagi kedinasan.
Uang darurat makin tipis, sehingga darurat hidupnya pula.

Hai, Nakya.
Benalu bagi republik, itu katamu kalau sedang lelah.
Berapa puluh aplikasi kerja telah diupayakan.

Tetapi, suatu hari, terdengar suaramu dari indekos sempit itu:

"Aku bergelimang privilese!"

Lantas, ia mempraktekkannya langsung:
Menatap mi instan, membauinya, lantas mulai melahap dan merasakan bawah mangkuknya yang hangat--sampai isapan kuah yang terdengar di telinga.

Label: ,

Senin, 17 Agustus 2020

Terlalu Capai Untuk Tidur

Lantas kutemui teratai,
dan kucicil ambangku di permukaan hijaunya.
Kamu kembang,
dan aku tenggelam.

Label:

Gundu(kan) Pasir

Semesta adalah kelereng yang digenggam. 
Satu kelereng, lebih tepatnya.
Kita adalah pasir. 
Satu butir pasir, begitulah masing-masing kita.

Hal kecil menjadi besar.
Contohnya, partikel pasir diperbesar dan dicetak seukuran baliho.

Hal besar berubah kecil.
Misalnya, bumi yang butiran pasir di galaksi lepas.

"Everything wil be okay over."

Mengapa khawatir, ketika itu akan berakhir.
Mengapa bahagia, ketika itu tidak selamanya.

"Everything happens for a reason."

Alasan kuat, alasan lemah; keduanya alasan.
Demi percaya kalau hidup bukanlah undian acak, anggaplah seperti itu.

-Dah ah capek pen bobok-

Label:

Jumat, 14 Agustus 2020

Melihat ke Belakang

Hebatnya digitalisasi adalah, bahkan kamu tidak perlu mengenal seseorang secara personal di kehidupan nyata, untuk mengetahui budaya populer macam apa yang dia sukai. Untuk waktu yang cukup lama, aku memang menyukai kegiatan berkunjung ke beberapa blog milik teman-teman kampusku yang sekiranya (tentu saja) memiliki blog—dan seringkali, tanpa sepengetahuan mereka.

Suatu hari, aku terlibat pada sebuah obrolan dengan seorang kawan. Dan kerap kali yang kurasakan, hanya dengan membaca tulisan-tulisan di blog pribadinya, aku secara tidak langsung menjadi penggemarnya. Aku menggemari tulisannya (atau mungkin orangnya juga?). Ini terjadi, karena sepanjang perbincangan, aku seolah sudah mengetahui isi kepalanya bahkan sebelum dia mengutarakannya sendiri.

Ketika tulisan ini dibuat, aku berada di tengah-tengah anime Black Clover yang cukup membikin jengkel—dan beloonnya, tetap kulanjutkan! Kejengkelan ini adalah serangkaian akumulasi yang terjadi di antara: animasi sekadarnya, karakter generik, plot tertebak, tetapi kok lagunya baguuusss jadi aku sukak. Semua ini terjadi, karena ada gap kualitas yang terlalu besar, diakibatkan aku yang sudah menonton Haikyuu!! sebelumnya. Rasanya, seperti menonton True Detective (yang musim kedua, tentu saja) setelah khatam Breaking Bad (bersama El Camino sekaligus, mungkin?).

Untuk waktu yang cukup lama juga, aku menjadi kurang mendokumentasikan kehidupanku melalui kata-kata di blog ini. Karena kalau ingin dirunut, blog ini sudah berada di dalam pikiranku sejak tahun 2012. Saat itu, seingatku semampunya, aku sedang berada di tengah-tengah salat magrib. Dan hatiku sungguh semringah karena sebentar lagi akan memiliki blog. Aku saat itu, dapat bahagia hanya dengan memiliki blog pribadi. Ini yang kubutuhkan sekarang: Bahagia hanya dengan hal-hal kecil. Perihal aku yang saat itu lebih memikirkan header blog apa yang ciamik, ketimbang ayat suci apa yang pendek untuk dibaca, tentu tak perlu dipersoalkan.

Memang benar, setiap bulan, aku tetap mengisi blog ini dengan beberapa (yang seringnya hanya satu) kiriman. Namun, tetap saja itu adalah sekumpulan prosa kasar nan ngawur. Rasanya, tulisan yang sifatnya personal, perlu kutulis dengan gaya bahasa apa adanya saja, seperti ini. Prosa sebarang yang kutulis itu, hanyalah sebuah upaya eksploratif terhadap bahasa milikku. Ada banyak kata-kata yang menarik untuk digunakan serta belum familier. Dan juga, aku menyukai bahasa Indonesia, karena hanya inilah satu-satunya identitas kebangsaan yang nampak. Suku? Agama? Ras? Rasa-rasanya, kalau kamu diberkahi kesempatan kuliah di pelosok dunia yang kamu adalah satu-satunya orang Indonesia di situ, tiga hal tersebut dapat kamu abaikan kalau tiba-tiba ada yang berkata ke arahmu: "Orang Indonesia yaa!? Anjirr kangen banget gueee ngomong bahasa Indonesiaaa!!!"

Jadi, akhir kata, meski tidak mengenal secara personal. Orang (kamu) yang membaca ini setidaknya mengetahui bagian-bagian kecil (budaya populer) dari pemilik blog (aku). Sesuai dengan yang kuutarakan di awal perihal kawanku itu.

Saat ini, 2020.
Sesegera mungkin, tahun ini akan masa lalu.
Dan rasanya, setelah melihat ke belakang, aku sepakat kalau mengeluh adalah indikator kecil dari tidak bersyukur. Karena 2012 lebih enteng untukku ketimbang 2020, dan mungkin 2028 (kalau ada usia) lebih berat untukku ketimbang 2020.

Label: