Pepes Manusia
Meskipun Murakami1 membilang
bahwa menulis hanyalah upaya-upaya kecil untuk menyembuhkan diri, menurut
hematku ini, tidaklah sepenuhnya tepat. Banyak hal seiring umur yang kudamaikan
melalui menulis. Satu hal ini misalnya: kereta pagi dan petang yang penuh
sesak.
Di pagi hari pada peron-peron,
manusia berkerumun menunggu kedatangan kereta. Siku-siku dipersiapkan serupa
alat gulat. Selayaknya serdadu perang menerobos gerbang mencari tempat kosong.
Manusia-manusia seolah pakaian yang dijejalkan dalam sebuah koper sempit. Yang
penting muat, yang penting sampai tujuan. Berdempet-dempet menyerupai seonggok
pepes. Kelas-kelas pekerja ini—termasuk
aku—terlampau
biasa mengalami tragedi karir yang pilu.
Tengok saja perempuan yang terhimpit desakan tubuh-tubuh
harum-apek di kiri-kanan-depan-belakang. Seyogianya mahasiswa demonstrasi
yang saling himpit dengan pagar betis dan aparat. Kalau kereta rem mendadak,
terhunuslah dengan lautan tubuh dan badanku ini gepeng sudah kalaulah semacam
spons, dan akan semula kembali melalui proses menyakitkan.
Ini adalah simpanse tata krama. Bayangkan
berpuluh menit hingga sampai hitungan jam, berada pada situasi terhimpit
seperti ini. Kalau ada penumpang yang ingin turun peron, maka bersiap-siap saja
mencari cara keluar dari desakan samudra manusia. Bagaimana mungkin dapat
menerobos keluar tanpa membikin penyek sekitar.
Baca selengkapnya »Label: Cerpen