Jumat, 23 Agustus 2019

Idih

Oleh Jaila Jimkins

Ya, ya, ya. Haruskah saya juga berganti nama, tuan?

Label:

Perihal; Wallace, Plath, dan Woolf

Tiga orang ikut melibatkan satu orang yang aku ingat: mendiang Robin Williams. Kalau ini benar konspirasi dengan nama akhir berawalan 'W', maka akal lebih berbahaya dibanding sepucuk AG-043. Baiklah, aku tidak mau jadi kelompok berbasis dua poros, jadinya direvisi: akal dan AG-043 di level yang sama.

Mereka dengan pikiran mereka, atau mereka dengan eksternal mereka, jangan turut campur. Namun, kalau berenang terlalu dalam ke kolam pikiran, aku yakin makin terisap.

Dia bilang tidak mungkin hanya dengan membaca Oliver Twist untuk memahami kamu. Aku pikirdi momen itudia pria yang punya satu peleton petuah bijak dan tanpa masalah sampai di level merenggut jiwa, aku pikir. Will hunting sungguh beruntung, karena namanya bukan Hunting Will.

Terus terang belakangan aku ingin bertemu seorang Janitor yang Prodigy.

-Ditutup dengan suara motor-

Label:

Senin, 19 Agustus 2019

Bayi Bernama Borneo dan Persahabatannya dengan Brasilia

Tanah Borneo selayaknya pengejawantahan seorang bayi kalau dibandingkan dengan Brasilia yang merupakan penjelmaan orang dewasa dalam konteks kematangan memikul diri sebagai ibu kota negara. 

Ibu kota pindah, bukan hanya perihal bangunan kota. Ini adalah urusan kompleks yang  perlu melibatkan pelbagai disiplin ilmu. Dan harapan adalah sesuatu yang perlu diatur dengan realistis—dan optimis, karena ini bukan impian satu individu, melainkan hajat hidup sebuah negara.

Pemerintah telah menentukan langkahnya untuk Borneo, ia akan dikultuskan sebagai ibu kota negara yang baru. Selanjutnya, Indonesia dirasa relevan untuk berguru dengan Brasil, karena keberhasilannya  memindahkan pusat pemerintahan dari Rio de Janiero ke Brasilia—terlepas sisi minusnya.

Brasilia, 1958
Indonesia ingin belajar dari Brasil, maka tuntutlah ilmu dan tengok Kota Brasilia, tempat yang dahulunya nihil dan sekarang penduduknya lebih dari dua juta jiwa. Konteks dua negara mempunyai beberapa kesamaan karakteristik, sehingga mempelajari Brasilia tak ada salahnya.

“Indonesia bisa belajar dari negara yang memiliki kesamaan padahal tempatnya jauh seperti Brasil, yang sama-sama negara anggota G-20,” ucap Menteri PPN/Kepala Bappenas seperti dilansir di laman Setkab, “Brasil dan Indonesia, dikenal memiliki PDB terbesar. Wilayah Indonesia dan Brasil juga masuk terbesar di dunia.”

Kemegahan Kota Brasilia

Kemegahan Kota Brasilia berubah menjadi semacam lawakan tatkala terlalu megah bagi umat manusia. Hal ini merupakan pujian, karena seluruh dunia seolah terisap dalam magnet ketakjuban dengan titik pusat Brasilia.

Melalui pemberitaan Kominfo, mengutip Sudaryomo selaku Dubes LBBP untuk Brasil (2010-2014), "…astronot Yuri Gagarin saat pertama datang ke Brasilia, seperti mendarat di planet yang lain. Itu karena desainnya yang futuristik, serba modern, dan terencana dengan baik," jelasnya dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat (FMB) 9.


Itamaraty Palace, Brasilia
Keberhasilan Brasilia siapa yang perlu ragu. Indah dan megah, begitulah deskripsi konkrit ketika bertandang langsung ke kota itu. Namun, ini bukan melulu soal pujian untuk Brasilia, melainkan pembelajaran untuk Borneo. Mari perhatikan saksama. Di balik bangunan-bangunan penantang intelektualitas langit itu, Kota Brasilia tak juga lepas dari sisi kurang.

Apakah yang Membuat Suatu Kota Menjadi Ideal untuk Dihuni?

Perihal Brasilia kita sisihkan dahulu. Sebelum melihat lebih jauh, perlu adanya kesepakatan bersama perihal karakteristik/indikator dari kota ideal, sehingga acuan menjadi tampak.

Kota ideal dijelaskan melalui Laporan DC Appleseed and Our Nation’s Capital (ONC) tentang “Building the Best Capital in the World” (PDF, 2008) bahwa terdapat paling tidak dua belas (12) karakteristik penentu ideal atau tidaknya suatu kota—merangkum berbagai  kajian-kajian urban planning. (Sila diakses tautan tersebut untuk mengetahui lebih dalam.)

Laporan tersebut memaparkan, bahwa suatu kota idealnya memiliki natural features, lingkungan yang semarak, dan sense of place. Tiga hal ini teramat unik. Pemerintah tentu mempertimbangkan yang sudah-sudah dari Jakarta; 
panas, polusi, macet, banjir, dsb. Namun, tiga hal tersebut kadang terlewat ketika membicarakan konteks mendirikan sebuah kota. Konotasi mendirikan bernuansa hadir dari ketiadaan, bukan membangun dari hal yang sebelumnya telah ada.


Opini penulis berkata, bahwasanya karakteristik tersebut dapat diraih, ketika suatu kota bukan semata-mata fokus pada bangunan fisik—kecuali natural features yang sedari awal telah ada, tetapi juga mempertimbangkan konteks manusia dan masyarakat yang akan tinggal. Dalam hal ini, ilmuwan-ilmuwan sosial hendaknya diberikan porsi keterlibatan yang cukup. Upaya ini dilakukan agar bangunan dan masyarakat menjadi sinkron dan saling kesinambungan.

Brasilia Tempo Sekarang dan yang Masih Perlu Dibenahi

Brasilia dirancang oleh Oscar Niemeyer, seorang arsitek Kewarganegaraan Brasil. Bangunan-bangunan di Brasilia adalah mahakarya ulung miliknya. Saat tahun-tahun awal, meski belum begitu dewasa seperti sekarang, Brasilia sudah menjadi pusat perhatian seluruh dunia karena desain yang begitu elegan dan menakjubkan.


Potret Oscar Niemewer
Namun, Kota Brasilia dirasa kurang memiliki feel sebagai sebuah kota sebagaimana mestinya. “Brasilia tidak memiliki kompleksitas layaknya sebuah kota, seolah hanya sekadar lingkungan kampus untuk kantor-kantor pemerintahan. Orang-orang pergi pada kamis malam dan mencari hiburan justru di Kota Sao Paulo dan Rio de Janeiro,” dilansir dalam BBC.

Hal tersebut dapat saja terjadi, ketika sebuah pembangunan kota hanya berfokus pada bangunan fisik, tanpa mempertimbangkan aspek manusia dan masyarakat yang akan menghidupkan kota.

Brasilia nihil kehadiran street life, hal ini cenderung lucu sementara pemerintah setempat merancang kota dengan keteraturan dan kategorisasi yang efektif. Penduduk justru merasa hal tersebut tidak natural dan menilai street life justru dapat menghidupkan kota dan mendorong interaksi antar warga kota. Tidak mengherankan kalau penduduk rekreasi ke kota lain.

Brasilia juga minus dalam penerapan sense of place dan lingkungan yang kurang semarak karena terlalu kaku dalam sistem kotanya. Natural features juga minim di Brasilia karena kota tersebut memang dibangun di atas lahan yang awalnya benar-benar kosong.

Di Tanah Borneo

Harapan bukan perkara klise, karena ini persoalan kenegaraan yang menyangkut hajat bersama. 
Rakyat sepakat kalau ibu kota adalah representasi negara, tetapi akan sangat bijak menyadari bangsa-bangsa lain bukan hanya melihat kemegahan bangunan fisik suatu bangsa, melainkan kualitas manusia dan masyarakatnya.


Bayi itu bernama Borneo. Ia dibesarkan oleh pemerintah. Orang dewasa biasanya lebih bijak. Oleh karena itu, Borneo sejak lama berkawan dengan Brasilia. Karena Brasilia telah dewasa. Dan Borneo, ingin menjadi ibu kota yang bijak.


@Bappenasri
#Bappenas
#Ibukotabaru

Jumlah kata: 793

Kamis, 15 Agustus 2019

Alegori Sarangan

Kabut tipis berbenah ingin berkenalan dengan Bapak Bakso. Kata Bapak Bakso, apakah kalian ingin membeli nama saya: bakso? Hujan menjebak Bapak Bakso dan kami menjelajah halaman rumah Pak Bayan untuk bergegas membeli nama beliau—bakso.


Hobi kami berkelakar. Salah satunya perihal WC bersatu dengan alam. Salah duanya berwudhu dengan badai. Dan salah tiganya perihal guyonan kartu kuning babeh. Salah empatnya adalah kemahapamungkasan receh: far away... far away...

Dini hari menuju tiga. Mempertanggungjawabkan boneka-boneka itu adalah alasan kamu terjaga. Sejenak saja sadarnya aku, kalau karpet ruang tamu adalah benda primer penyekat dingin. Iya, kamu juga dingin.

Wanita jauh juga bilang, kalau kamu itu dingin, "cukup untuk membuat minyak goreng menjadi zat padat," katanya sungguh-sungguh. Aku iya-iya saja. Ini misteri. Rubik saja dibuatnya minder. Namun, hidup memang perihal misteri-misteri layak dipecahkan tetapi tak layak manusia pecahkan. Jadi, anggap saja misteri yang dingin.

Aku adalah penyintas. Apakah kamu seorang penyintas? Aku adalah seorang penyintas waktu. Apakah kamu juga? Kamu bikin aku bingung, sih. Atau aku yang membuat kamu bingung. Kenapa kebingungan ini terus berputar pada porosnya.

Kamu ada banyak. Di lapangan sekolah yang bertautan dengan bukit-bukit—kurasa itu gunung? entahlah—itu, ada kamu. Kamu juga kadang melakukan kegiatan assessment di induk semang terdekat. Tubuh-tubuh kamu, ada banyak. Mungkin memang benar kalau kamu maha dingin, soalnya, bersatu.

Latut berwajah senyum. Bibirnya tersenyum. Hidungnya tersenyum. Pipinya tersenyum. Matanya tersenyum. Alisnya tersenyum. Semoga masa depannya—dan bocah-bocah lainnya—ikut tersenyum.

Di kontinum berbeda, kesatria berboots kuning menghentak Bumi Sarangan.
(Tulis sendiri kisahmu tentangnya.)

Dualisme penyelenggara dan yang dipersembahkan. Kurasa lebih menghentak. Adakah perlu harga untuk dihargai. Namun, kamu terlanjur beku. Dingin, dingin, beku. Jadinya keras. Mengeras. Dihargai secara keras. Aku dan penyelenggara semakin berputar pada porosnya.

Dipersembahkan untuk kamu, maaf kalau kamu tidak merasa dipersembahkan. Kalau saja, rasa maaf itu dapat membuat minyak goreng itu kembali menghadap kodratnya.

Orang-orang bertemu. Orang-orang berbuat salah. Orang-orang lalu tidak saling memahami. Orang-orang berbeda dengan manusia-manusia. Namun, adakah bedanya. Banyak meracau. Banyak menjadi manusia. Banyak menjadi orang.

Karena aku perhatian, aku jadi kamu, dingin. Kamu yang mengajari aku. Kamu 'kan banyak. Maka sekumpulan gunung es, masih ada dasar-dasar lain.

Kamu itu aku. Dipersembahkan untuk kamu, dan menyelenggarakan dirimu. Aku itu kamu.
Kisah itu berdurasi 25 hari, bukan selamanya, jadi memang pudar semakin pudar semakin pudar dan anggap saja bagian dari fragmen-fragmen kehidupan yang selesai.

Senang pernah mengenal kalian, kataku, satu-satunya kalimat non-alegori di sini. Dan mungkin akan berlanjut. Aku jadi kangen bianglala. Aku jadi ingin menjadi bocah lagi, supaya dapat berbuat salah sebanyak-banyaknya. Rasa bersalah seorang merah. Namun, sudah kedaluwarsa akut, sih. Maaf.


-Ditutup dengan: I'm Glad I'm Me_Hap Palmer-

Label:

Sabtu, 03 Agustus 2019

Congkak!

Oleh Jaila Jimkins

Kalau saja mereka tahu bahwa sumber dari segala sumber dirinya sekadar segenggang organ. Dengan berbekal itu, sudah merasa memahami dunia? Memang itu spektakuler. Kaki hilang masih hidup, tangan raib masih juga bernafas, tetapi lain kisah kalau otak. Karena memang itulah keunggulan kalian!

Aku bingung dengan manusia. Karena terlalu sering hidup dengan sudut pandang dirinya, tak dapat lagi melihat dengan sudut pandang ketiga. Kalau membaca sastra saja, baru akan mau!

Tolong cari tahu berapa diameter bumi. Tolong bandingkan dengan diameter otak anda.
Anda jangan mendengus, aku bukan kawanan karbon dioksida.

Milyaran manusia, akankah meringankan makna kamu sebagai manusia? Kalau terhadap anda, aku tak acuh. Aku hanya acuh dengan kamu, beri makan yang benar tubuh itu! Pasokan energi saja terus dihisap, aku tidak kebagian!


Aku heran tentang hasrat manusia yang inginkan kebenaran. Kalau saja anda tahu, elemen-elemen kehidupan sehari-hari anda bertumpu pada bukan kebenaran. Hal ini perlu karena tak semua orang siap dengan kebenaran. Hingga di kemudian hari, kebenaran dianggap sepihak. Tak apa-apa, sila anggap kebenaran memang semu. Memang seperti itu manusia hidup, melupa agar bertahan. Tak kuat segenggam organmu itu dengan diameter bumi beserta isinya. Rasionalitas? Baiklah, itu produk andalan anda-anda sekalian, manusia.

Hingga suatu hari, anda akan menyerah karena rasionalitas dan logika akan tak sanggup memahami suatu perkara... yang aku harap, apa pun itu, anda sudah siap menghadapinya.

Label: