Kepada Puanku, Bahkan Sebubar Beberapa Windu
Kamu pernah bilang kalau rasa sayang harus dicicil. Sudahkah saat ini lunas?
—ditulis dengan kenaifan presisi
Kamu pernah bilang kalau rasa sayang harus dicicil. Sudahkah saat ini lunas?
Maksudnya, apa? Kemarin telah berlalu dan aku sama sekali tidak bertemu denganmu.
"Kami telah bertemu besok," kata kamu seolah ingin pamer, karena tidak ada aku pada kaminya kamu.
Aku benci ketika kamu tidak melibatkanku sama sekali. Kamu begitu yakin terhadap sesuatu yang belum terjadi, kalau itu tanpa kita berdua.
Aku dan kamu yang gagal menjadi kita, seperti begitu cemen ketika kamu mendepakku melalui keterlibatan kaminya kamu.
Kamu suka mengutip kata-kata dokter gadungan, yang melarang tangisan akibat perpisahan dan lebih menyarankan untuk tersenyum karena setidaknya telah terjadi pertemuan.
Hanya butuh satu perpisahan untuk menghapus seribu pertemuan kita.
Terakhir kali kita bertemu, untuk memperingati kaminya kita. Aku berusaha melindungi diri, "Kami telah baik-baik saja."
Kami itu hanyalah aku sendiri.
Label: Prosa Konyol
Kamu datang dan aku terbata-bata sampai jadi sebuah rumah tempat kita saling kasih, "Kalau bahas zodiak lagi, aku tempeleng!"
Bersepeda berdua di sekeliling parit-parit air bening. Lantas dari belakang, kamu berbisik tipis, “Dunia jahat tapi kita tidak boleh.” Kita bertengkar lalu kita berbaikan, dan kubalas sambil terus mengayuh pedal, "Andaikan kentut tidak bau." Kita bertengkar.
*
Perlukah aku mempelajari genealogi orang-orang cantik, hanya untuk mencari tahu tentang kamu? Dan lagi: saranku, sebaiknya kurangi kebiasaan mengetuk-ngetuk permukaan meja lalu bilang, "Amit-amit!" Seperti yang saat ini sedang kamu lakukan.
*
Waktu itu kita berlayar ke Depok melewati sore yang sebentar lagi malam. Kamu pelan tapi tergesa-gesa ingin segera meninggalkan suasana gelap. Aku cuma mengamati punggung yang lama-lama menjauh. Dan kita berjalan dengan fase masing-masing.
*
Kalau bertemu anda, saya kikuk lantas berlari menjauh dengan egrang. Namun, saya terjatuh oleh kejauhan anda yang berbincang dengan lelaki lain.
*
Aku ingin membuat pelabuhan tempat orang-orang kangen saling bertemu.
Label: Prosa Konyol
Kalau hendak membaca tugas akhir, memang seyogianya melihat halaman abstrak terlebih dahulu. Anggaplah seperti itu, beginilah kira-kira hal ini akan disuguhkan: Sekar merupakan biang perbincangan di cerita ini yang semuanya bermula pada Jiran yang mengatainya gendut. Selanjutnya, mereka berdua akan berkutat dengan dunia akhir-akhir ini, beserta kata kunci: perundungan (maya dan tubuh), bersama segala sesuatu yang berkelindan di balik semak-semak digital itu.
Selayaknya Sekar, begitu rakus terhadap dialektika, sehingga gemar nian mendamprat kedalaman berpikir seseorang yang hanya sejengkal. Seyogianya Sekar, massa tubuhnya itu layaknya fanatisme—berlebihan dan sukar ideal. Sekar dan Jiran merupakan karib sekampus dan selepas mengkhatamkan mata kuliah pada sore ini, Gedung Koentjaraningrat menjadi pelataran oranye tempat mereka berdua nongkrong.
Menanggapi perihal seminggu lalu, ketika ia dipanggil "gendut" di hadapan gawai milik Jiran, Sekar langsung saja tanpa tedeng aling-aling memulai ucapannya.
“Mereka menganggapmu melakukan body shaming!” ungkapnya ringan.
“Merundung tubuh!” balas Jiran.
“Baiklah, baiklah, dasar anak kandung KBBI!” ucapnya meramu ejekan.
Sekar, engkau mendamprat siapa saja perempuan yang tidak menarik secara fisik, dan berkelit kalau kecantikan mereka bersemayam di hati. Dengan senyuman miring, dihardik kepercayaan itu oleh engkau karena itu semakin membuat perempuan tak kasatmata terhadap kenyataan.
Ngomong-ngomong, Sekar kerap kali berbasis diksi-diksi kepuritan, "Kalau tak cantik, akui sajalah!" ucapnya. Sebagai latar belakang, perlulah menambatkan perhatian kepada Sekar, sebagai tokoh yang tidak berparas cantik—mohon maaf, sama sekali bukan ejekan, ini mengutip dari Sekar sendiri: "Aku memang tidak cantik, tetapi bukanlah tentu aku jelek, di mana moderat-moderat itu?!" begitulah ucapnya sedari dulu.
Kalau saja ada yang menyebutnya jelek, Sekar hanya akan menanggapi dengan, "Ya… begitulah, tidak semua hal dapat diraih." Santai sekali perempuan itu. Sikapnya tidak masa bodo; tak acuh secukupnya; responsif sekadarnya; dan lebih dari itu, seyogianya Sekar, tabiatnya itu yang seperti di pantai—santai tanpa lebay.
Sekar merupakan mahasiswi tingkat tiga. Walau jiwanya itu veteran tingkat seratus. Sekar sama sekali tidak keberatan ketika dijadikan objek candaan oleh satu angkatannya berkenaan dengan massa tubuhnya itu. Menurutnya, panggilan tersebut hanyalah penyampaian fakta: “Memang aku ini gemuk, mengapa perlu ditutup-tutupi melalui perasaan tak enak hati!” Dengan itu semua, Sekar melanjutkan hidup dengan biasa-biasa saja.
Karena memikul diksi kepuritan, Sekar tidak merisaukan konotasi yang merebak pada setiap penggunaan kata. Misalnya, dewasa ini, penggunaan kata 'miskin' menjadi amat dihindari, lantas mulailah diromantisisasi menjadi 'prasejahtera'. Sekar berpendapat, kalau kenyataan perlu didekap dan dibicarakan terbuka jika ingin berdamai dengan keadaan. Oleh sebab itu, menurut Sekar, perempuan yang telah menerima keadaan dirinya yang tidak unggul dalam dimensi cantik (bukan berarti jelek!), perlulah kiranya untuk mengembangkan hal lain yang masih dapat dipoles.
*
Jiran merupakan delima ranum yang diperebutkan lelaki, melalui parasnya. Oleh karena itu, perempuan yang—oleh Sekar—dikultuskan sebagai anak kandung KBBI tersebut, memiliki cukup banyak penggemar maya. Selain itu, dapatlah dikatakan kalau Jiran adalah pencinta bahasa Indonesia poros ekstrem.
Kalau Gedung Koentjaraningrat minggu depan beraroma oranye, lain di hari ini yang pelatarannya cukup pekat. Namun, apa pun warna yang ditampilkan pada bangunan kampus itu, mereka berdua tetap nongkrong seperti biasanya.
Sebelum berucap, Sekar melongo dengan gemilang ketika dilihatnya media sosial milik Jiran, “Banyak sekali followers-nya!”
“Pengikut!” pungkas Jiran. “Baiklah!”
Lantas, Jiran mengambil beberapa swafoto dan berjeda sebentar untuk memastikan wajahnya. Selagi memperhatikan gerak-gerik sahabatnya itu, Sekar mengambil ancang-ancang lalu berucap, “Kalau kamu ingin bertanya apakah pipimu bulat, atau alismu menghilang, mending kuhardik saja agar lebih pantas, ketimbang menulis itu sebagai caption!”
“Takarir!” pungkas Jiran mencoba membetulkan.
“Hah?!”
“Pengganti kata ‘caption’!”
“Luar biasa!!”
Selama bertahun-tahun berkawan baik, Jiran tahu pasti bahwa Sekar adalah perempuan yang telah mempan terhadap komentar fisik. Ketika semua perempuan mengatakan tentang inner beauty, yang kemudian akan dikoreksi oleh Jiran menjadi, “Kecantikan dari dalam!” Namun, Sekar takkan berkoar perihal kecantikan yang dari dalam. Perempuan itu, tak pernah
setuju kalau ada kecantikan dari dalam. Menurut otaknya itu, ada dimensi yang berbeda di antara baik hati dan cantik. Beginilah kalau jadi orang puritan.
"Cantik dari dalam? Kenapa gemar sekali menciptakan kekonyolan. Temanku yang gendut-gendut itu—sama seperti aku… janganlah cepat tersinggung! Orang gendut dan tersinggung adalah dua kombinasi paling menyusahkan—amat sulit gencatan senjata terhadap dirinya, terus saja menyangkal kenyataan!" begitu ungkap Sekar.
“Jadi, bagaimana menurutmu sebagai orang yang gendut?” tanya Jiran dengan gawai yang telah tersambung dengan media sosialnya.
“Ya sudah. Bagiku tubuhku, bagimu tubuhmu!” ucapnya di depan lensa kamera. “Tetapi, apakah tubuh sesakral itu untuk mengubah diksi ‘agama’?”
“Luar biasa!!”
*
Menurut pengakuan Sekar, selama otaknya masih berfungsi dengan baik, ia takkan repot-repot dengan kodrat biologisnya. Namun, profil Sekar sangatlah membumi. Meski berbobot tak ideal, Sekar tak pernah merasa perlu menampilkan apa pun untuk khalayak—demi menutupi kekurangannya, yang secara harfiah adalah kelebihan. Jadi, meski tubuhnya tidak ideal, kepercayaan diri milik Sekarlah yang ideal—memang mustahil untuk ideal pada setiap aspek. Dan hal ini, seyogianya Sekar dan segenap perempuan yang sefrekuensi dengannya, perlu diraih erat-erat.
Di salah satu vlog miliknya, Jiran memanggil Sekar dengan sebutan ‘gendut’ atau kalau sedang ingin imut menjadi ‘ndut!’. Secara kasatmata, kelakuan Jiran terlihat seperti orang kaya yang sedang memanggil orang miskin dengan ‘miskin’ atau kalau sedang ingin kasar menjadi ‘dasar miskin!’. Dewasa ini, kecemburuan sosial bersaing pamornya dengan kecemburuan biologis; banyak penonton yang mencercanya akibat hal tersebut.
Pesan-pesan digital menjadi hilir mudik bertamu di gawai milik Jiran. Perempuan itu, menjadi sasaran paling strategis untuk sebuah kecemburuan biologis yang telah lama dipendam oleh orang-orang yang mudah tersinggung oleh sentimen kecantikan.
Jiran merasa terpukul bertubi-tubi, dan cukup menyakitkan ketika melihat setiap komentar yang muncul pada kanal-kanal media sosial miliknya, hanyalah ujaran kebencian yang saling dukung.
Beramai-ramai, Jiran diserang oleh warganet dari berbagai sisi. Kalau melihat Tugas Akhir, dapat terlihat di bab terakhir terdapat kesimpulan dari tulisan ilmiah itu. Anggaplah demikian, beginilah kira-kira kesimpulan dari komentar-komentar warganet kepada Jiran yang dapat dirangkum padu: “Dengerin, Mbak! Orang tuanya ngedidik gak?! Kok akhlaknya kayak kabur gitu, seenaknya ngatain perempuan ‘gendut’, mentang-mentang situ cantik, gitu?! Kalau gue ketemu elo di jalan, gue cakar juga muka elo itu, ngerti?! Dasar sundal!!
Seharian itu, Jiran menjadi amat kelabu. Di sore hari pada pelataran kampus yang pekat, Jiran mengelilingi trotoar kampus dengan berjalan kaki, dan membenamkan benaknya terhadap apa yang menimpa dirinya itu. Setidaknya, hanya dengan memanggil Sekar ‘gendut’, ada empat hasil yang didapat olehnya: 1) orang tuanya dipertanyakan kemampuan mengurus anak; 2) kepribadiannya direndahkan; 3) menerima ancaman akan disakiti; dan terakhir 4) dirundung dengan panggilan tak seyogianya.
*
“Itulah mengapa, di setiap kontes kecantikan, pastilah ada poin penilaian dari wawasan masing-masing kontestan,” ucap Sekar beserta pelataran gedung yang makin oranye.
Itu bukan lembayung, tetapi cukup cantik untuk ukuran langit Depok. Jiran melanjutkan obrolan itu, yang sebelumnya masih merasa terusik dengan setiap pesan cemooh yang masuk di media sosialnya.
“Kecantikan perempuan, mana mungkin dapat dipilih salah satu menjadi yang terbaik? Oleh karena itu, dewan juri pasti mencari-cari indikator lain supaya upaya mencari pemenang menjadi tidak terlampau mustahil,” ucap Sekar lagi.
“Tetapi, tetap saja itu namanya kontes perempuan unggul, bukan hanya kecantikan,” ucap Jiran menanggapi sahabatnya.
“Sebenarnya, mudah saja untuk mengukur apakah perempuan sudah berdamai dengan dirinya, ataukah belum. Silakan saja mengamati media sosial perempuan-perempuan yang parasnya cantik, atau menonton kontes kecantikan sampai khatam.”
Kalau ada satu hal yang dapat disetujui bersama oleh kedua sahabat itu, adalah mengenai kontes kecantikan yang semakin mempromosikan standar kecantikan yang diimpi-impikan oleh segenap perempuan. Seyogianya, standar kecantikan itu fana. Namun, kedua perempuan itu barangkali akan didebat habis-habisan terhadap opininya.
“Dan media sosial, semakin membuat perempuan menjadi insecure terhadap tubuhnya,” ungkap Sekar.
“Haloo… Jiran?!” ucap Sekar lagi, mencoba memastikan sahabatnya.
“Apa?”
“Insecure?!”
“Oh, ya… aku belum menemukan padanan kata yang paling tepat.’ “Baiklah, statusmu sekarang turun kelas, menjadi anak tiri KBBI.” “Ha-ha, baiklah, lanjutkan omonganmu.”
“Dunia yang dewasa ini dihilangkan batas-batasnya oleh internet, membikin orang-orang jelek dan orang-orang cantik berada pada satu wadah. Dan, mempertemukan keadaan kontras inilah yang memicu konflik digital,” ucap Sekar berpanjang lebar.
“Oleh karena itu, kamu memilih menjadi seorang moderat di setiap spektrum isu, benar begitu?”
“Iya, karena kalau poros ekstrim, akan memicu keributan.”
“Ekstrem!”
“Luar biasaaa!!”
“Bukankah tidak ada perempuan yang jelek, semua perempuan itu cantik?” ucap Sekar mencoba menggoda sahabatnya itu.
“Ha-ha! Sebagai anak kandung KBBI, apa artinya ‘jelek’ itu?”
“Aku kembali naik kelas?”
“Iya!”
“Jelek artinya: ‘tidak enak dipandang mata’,” balas Jiran.
“Menurutmu, semua perempuan ‘enak dipandang mata’?” tanya Sekar.
Jiran diam saja, tidak menjawab sama sekali. Untuk hal ini, mereka sepakat untuk tidak sepakat. Berkawan memang tidak melulu harus satu suara. Dan kedewasaan untuk menerima pendapat yang berbeda, amat sulit untuk warga-warga di internet. Berkenaan dengan itu semua, Sekar melanjutkan bicaranya.
“Mereka masih menghardikmu?” tanyanya.
“Iya, karena aku melakukan body shaming,” ucapnya seraya memperagakan simbol ‘tanda kutip’ untuk dua kata terakhir yang dia ucapkan.
“Ha-ha, apakah itu sebuah kompromi?” tanya Sekar berkenaan dengan penggunaan dua kata asing itu oleh anak kandung KBBI.
“Betul,” pungkas Jiran beserta senyumnya.
Lalu, Sekar dan Jiran membuat vlog bersama dan mulailah perempuan tersebut menjelaskan sikapnya terhadap Jiran yang memanggilnya ‘gendut’ pada tempo lalu. Di hadapan sepucuk kamera milik Jiran, mulailah Sekar mengeluarkan kata-katanya:
“Halo, perkenalkan, namaku Sekar, sahabat dari orang ini,” ucap Sekar yang telunjuknya mengarah ke Jiran, “di dunia ini, pada era yang hampir menghilang batas-batas riil dan maya, sepatutnya kalian (warganet) mengerti kalau aku biasa saja dipanggil ‘gendut’, sehingga yang dilakukan Jiran kepadaku bukanlah body shaming. Mengenai ketersinggungan kalian terhadap kelakuan Jiran, aku iba sekali karena kalian belum berdamai dengan itu semua dan melesatkan kebencian kepadanya. Kalau tidak cantik seperti Jiran, biasakanlah!”
Label: Cerpen
Sejak usia empat belas, aku sudah meninggalkan rumah. Beliau pernah bilang, "Pergilah, anak bujang! Tak jemukah kau, menumpang bermain Harvest Moon dan berulang kali menikahi Karen?!"
Semenjak itu, rumah bagiku adalah seperangkat sandang dan koper.
Di suatu malam, tetangga indekosku muntah-muntah pecel lele, akibat terlalu bersemangat mengisap lem aibon.
Di suatu sore yang lesu, aku diberikan sebuah matoa manis. Manis, selain untuk buah-buahan, dapat pula wajah seseorang.
Kawanku pernah bilang, "Petugas sekolah yang tempo hari bersepeda, telah gantung diri. Arwahnya gentayangan tiap malam sambil berkata, 'Naikkan upahku! Naikkah upahku?'"
Kalau sedang menangis, tampunglah air matamu sehingga bunga hyacinth dapat tumbuh dan mekar. Ini hanya dapat dilakukan kalau telaten dan menangis terbahak-bahak.
Di Selat Sunda, di atas kapal feri tempat biduan-biduan berdansa koplo, aku bertemu seorang bapak tua dengan air muka sedu berkata, "Ada banyak sekali penumpang di kapal ini, tetapi tidak satu pun yang kukenal."
Label: Sembarang/Sebarang
"Perempuan itu hanya mengenakan bawahan sepanjang beberapa senti dari vaginanya!" hampir-hampir Sekar tersedak oleh perkataannya sendiri.
Selayaknya Sekar, hujan tak ada, angin tak hadir, tetapi disuguhkan kepadaku sebaris omongan yang membikin satu ruangan meletakkan perhatiannya kepada kami berdua.
"Wow, wow, tenang. Jangan menggunakan topi sombrero di sini!" balasku. Tidakkah Sekar sadar kalau beruang laut akan hadir melalui tatapan para pengunjung kafe.
"Aku tidak membawa klarinet!" dilemparkan kembali ucapanku.
Apa yang dialami Sekar, menurut google translate, adalah gegar budaya. Istilah ini tentu tidak sopan, karena berdasarkan sinema elektronik, gegar otak adalah istilah paling frekuen digunakan dalam membumbui cerita. Aku curiga kalau Sekar mendalami dua gegar sekaligus.
"Nyaliku berbanding lurus dengan bawahan yang kupakai, semakin pendek, bakal semakin rendah," kata Sekar.
"Berbanding lurus?" tanyaku.
"Iya!"
"Nyalimu pendek atau rendah?"
"Boleh keduanya."
"Tekanan darah pendek?"
"Hmm..."
"Bawahan tinggi atau panjang?"
"Panjang!"
"Anak pandai!"
Seyogianya Sekar, seorang karyawati dengan lutut yang tak pernah mendahului bawahan. Lain waktu bakal kuceritakan perihal Sekar, perempuan yang cita-citanya adalah menanak kebahagiaan.
(Bersambung kalau Sekar berkenan)
Label: Prosa Konyol, Sembarang/Sebarang
Dahulu, aku suka melakukan semacam pertemuan-pertemuan kecil dengan kawan-kawan masa kecil di sebuah sumur pinggir ladang milik seseorang yang sampai saat ini entah siapa.
(Oh, ya, sebelum aku melantur terlalu jauh
akibat ketololan dalam merangkai kata-kata, perlu kiranya aku sampaikan
bahwasanya tulisan ini dibuat dalam rangka merekam ingatan. Oleh karenanya, anggap
saja jari-jari ini berbicara tanpa terlalu mengindahkan ketepatan berpikir dan
amburadulnya kata-kata adalah klise yang berputar pada porosnya dan aku merasa
hal ini dapat langsung kupraktikkan di sini melalui kehadiran Nicholas Cage
yang ke sana ke mari mencari sesuatu yang bukan alamat, tetapi harta karun
nasional dan Max Weber menggagalkan usahanya dengan sesuatu yang bernama iron cage
karena lelaki yang aktor itu terkurung di dalamnya bersama kera sakti yang juga
mencari kitab suci di gunung myoboku. Sekian ketololan kupersembahkan, lanjut.)
Walaupun sumur dekat ladang itu tidak digunakan
untuk menumpang mandi, tetapi kami semua dapat berjumpa kembali karena bermain
layang-layang sungguh asyik, sebab angin-angin di area itu adalah gula-gula yang menggait kami semua, semut-semut kecil pengitar gula-gula manis yang membikin angin mengelilingi
kami semua, seperti ingin menyantap gula.
Aku tahu, setelah usiaku hampir seperempat
abad, kehadiran gula tak selalu kehadiran semut, dan kalau ada sumur di ladang,
tak selalu dapat ditumpangi mandi, sehingga kalau ada umur panjang, tak lantas
dipergunakan untuk berjumpa kembali.
Namun, sumur tak harus ada di ladang, sumur dapat saja tersedia di sebuah vila kawasan Sentul, dan kami semua adalah semut-semut yang bermain layang-layang akibat angin dan ide-ide dasar mengenai gula yang membikin kami bergerombol mendiskusikan sesuatu yang begitu lekat, yaitu kepayahan-kepayahan hidup yang secara mengagumkannya begitu brengsek.
Meskipun seekor semut, kami mampu berdansa lewat permainan layang-layang. Gerak ke kiri, mengenai kebebasan, gerak ke kanan, perihal apa-apa yang tidak bebas. Aku memantau dari tengah, kawan-kawanku yang lebih gemar berdansa ke kiri, selagi memperhatikan kawan-kawanku yang berdansa di kanan.
Tidak semuanya dapat berdansa dengan mengagumkan. Aku sendiri payah dalam berdansa sambil bermain layang-layang. Namun, berdansa sudah merupakan kemewahan. Hanya saja, akan sangat melegakan kalau pedansa-pedansa dari kiri dan kanan dapat saling terhibur dengan dansa yang masing-masing tampilkan. Kalau pun tidak terhibur, setidaknya menghargai tarian-tarian itu sebagai keberagaman tanpa saling sinis atau mengejek.
"Wah, tarian apa itu? Dapatkah sekali lagi ditampilkan padaku karena itu begitu memesona?"
Melalui pertemuan-pertemuan kecil, mungkin hidup sepadan untuk dijalani.
Selain itu, kawan tak perlu berwujud seseorang beserta atribut-atribut detail tentangnya, yaitu nama, bentuk fisik, dan lain sebagainya. Kawan adalah gula-gula yang membikin semut bergerombol dan dapat saling bertemu serta berdansa. Kawan tak harus seekor semut, kawan dapat saja setumpuk gula yang dinikmati melalui ejawantahnya, dapat saja berbentuk kepayahan-kepayahan hidup yang saling diutarakan.
Hari ini kita pergi, sembari menunggu sumur tempat mampir sejenak lalu berpulang ketempat masing-masing lagi.
Waktu itu langit adalah orkestra petasan penuh cekcok. Siapa pun yang jemurannya belum diangkat, kuucapkan turut berduka cita.
“Tidak ada kunang-kunang di Manhattan,“ begitu
kata congormu kalau sudah lelah dengan langit-langit Depok.
“Olenka mungkin bakal berasa lebih memuaskan,”
begitu saja kubalas.
Kamu tersenyum, aku buyar tak terperikan. Belum
ada orang yang terpukau selama satu dasawarsa, hanya aku kalau bersama kamu.
Kami membicarakan gerak-gerik belalang sembah,
seekor kucing yang tidak bertanggung jawab terhadap tahinya, sampai kematian
Jeon Mi-Seon di langit-langit kamarnya.
“Kita ini gemuruh,” katanya sambil mengelus
buku Umar Kayam, “takkan dapat mendahului kilat.”
Untuk seseorang yang mempermasalahkan pada
situasi seperti apa ‘telinga’ dan ‘kuping’ seharusnya digunakan, omongan ini
cukup menggelikan kalau keluar dari mulutnya. Oleh karena itu, ingin rasanya
menempeleng kepalanya dengan lemah lembut.
“Wah, bacotmu keren sekali!” balasku.
Dan satu dasawarsa dilanjutkan melalui Wuthering
Heights sampai Weathering Bersama Kamu. Kita hanya berisik, tidak
menyilaukan sama sekali, tetapi itu sudah lebih dari cukup karena gemuruh kita
berdua sehebat langit-langit Depok. Marilah mengangkat jemuran kalau kami
berdua sudah bertemu.
Label: Prosa Konyol
Siapa sebenarnya perempuan yang terseret truk di jalan depan pekarangan rumahku? Waktu itu aku sedang bermain-main dengan balon tiup yang sedotannya kuning-kecil. Rambutnya kental darah, tetapi sepertinya masih hidup. Padat serupa rambut Popuri, tetapi merah kehitaman. Usiaku lima tahun dan ini adalah tontonan yang asyik kala itu. Padahal aku akan menonton Joshua oh Joshua, lalu Mr. Bean, dan iseng-iseng berhadiah kutemukan sebuah kaset video rekaman seekor buaya yang dibelah isi perutnya dan ditemukan jasad seseorang di dalamnya. Kalau sudah asyik menyimak tontonan, aku tidak sadar kalau seekor musang sedang menyantap ayam kampung di belakang rumah. Sekali waktu, ayam itu tinggal sayapnya saja. Di belakang rumah ada dataran terjal, dan kalau digali-gali tanahnya, akan ditemukan selongsong peluru kusam yang entah sudah menembus berapa tubuh. Dari arah dataran terjal, ada babi hutan soliter yang sekali waktu bertamu ke rumahku–tentu saja diusir sebelum disajikan teh kepadanya.
Label: Prosa Konyol
Waktu itu kita berlabuh ke stasiun dekat kampus, dan
rambutmu diikat dengan dua karet gelang. “Apakah rambut itu menjadi pelengkap
ketoprak dan rasanya pedas?” begitu aku bertanya kepada diri sendiri. Kamu, melalui
lekuk bibir yang seperti Mona Lisa, seakan-akan berusaha membalas pertanyaanku,
“Kamu salah, kalau pedas, bungkusnya tidak harus berkaret dua, kadang dirobek
sedikit oleh penjualnya.”
Kalau sedang di warkop, nyamuk-nyamuk suka berbisik
kepadaku dan Nakya, “Hei, pemuda-pemudi tolol, kalian kira asap rokok itu dapat
mengusir kami?!” Aku menangkap kesan kalau Nakya berusaha menjelaskan kepada
nyamuk-nyamuk itu, “Maaf, tidak ada darah untuk kalian hari ini.” Aku harus berhati-hati
terhadap kebiasaan lama Nakya yang suka menggores permukaan kulitnya dengan pisau
dapur. Sekali waktu, satu tutup botol pernah diisinya oleh darah dan begitu
menakjubkan upaya untuk memberi makan nyamuk-nyamuk di dalam kamarnya.
Nakya seperti daerah pelosok yang baru saja kebagian
listrik, terang… terang… jadi tidak ada lagi kelakuannya yang aneh-aneh kalau
terang. Kalau ada kecoa terbang di kamar, Nakya akan menangkapnya tanpa
ragu-ragu. Kalau sedang iseng, pernah kecoa itu dibawanya ke kampus dan
dihadiahkan kepadaku.
“Kecoa adalah hadiah paling istimewa untuk orang-orang
kabisat!” ucap Nakya dengan keceriaan tak terkalahkan. Kalau harga yang harus
dibayar untuk kebahagiaan Nakya adalah menerima hadiah itu dengan tanganku,
sepertinya ini terlalu murah.
Label: Nakya, Prosa Konyol
Hanya
dalam satu kedip mata, peluru bersarang di dada Mawas. Hutan hujan yang senyap
dan lembab, sekonyong-konyong bising dan buyar segala kebisuan rimbanya.
Keadaan bernada kelam. Mawas roboh selepas tembakan beruntun, lantas menatap
anak jantannya yang belum tampak flensa[1] di
dua sisi pipi. Wajah itu masih terlampau belia, dan belum sempat berduka karena
ini terlalu tiba-tiba.
Perih
di dada tempat peluru bermukim itu teramat panas, maka janganlah banyak
melakukan pergerakan. Karena Mawas ingin sekecil mungkin perih yang timbul.
Bulu-bulu merah kecokelatan itu makin basah oleh darah. Anak jantan itu masih
balita, dengan bulu kepala nyaris jarang-jarang, kepanikan perlahan menjalar,
dan duka bersifat sporadis yang menekuri tiap-tiap hati kawanan berang-berang
itu.
Gerombolan
Kastor—satu dari kawan Mawas—telanjur murka, karena orang utan kesayangannya
tinggal menunggu detik bertemu ajal. Dalam rangka menuntut balas, Kastor
melakukan serangan, dan kawanan berang-berang itu semakin berang. Lantas,
setelah laras panjang itu habis bedil-bedilnya, dengan mengorbankan beberapa
kawanan yang tertembak. Pemangsaan pun dimulai. Satu menyerang kaki, seketika
limbung, dilanjutkan dengan terkaman di pergelangan tangan. Sedangkan Kastor,
menganggap urat leher pemburu itu camilan, digigit saja serupa menggerogoti
batang pohon.
Sosok
hominid itu mati dikoyak-koyak. Di sebuah keadaan sunyi, dengan alunan nada
rimba, mengenaskan. Setelah berangnya pudar dan sadar akan apa yang terjadi,
berang-berang itu tergesa-gesa menghampiri Mawas yang tinggal menunggu
penutupan usia.
Kastor,
makhluk kecil itu, terdiam bersama kawanannya, mengelilingi tubuh Mawas yang
kelopak matanya makin tipis. Anak jantan Mawas makin bersedih, berulang kali
meyakinkan induknya supaya bertahan, lalu Mawas menanggapinya dengan air muka
yang berkata, “Kamu boleh sedih, Nak, tetapi tolong jangan banyak
menyentuhku dan melakukan pergerakan, karena makin perih rasanya akibat butiran
di dadaku ini!”
Kanopi-kanopi
rimba di atas kepala mereka: sangkar tidur milik Mawas yang belum tuntas.
Memang menyerupai sangkar burung, tetapi dalam bentuk yang lebih besar, dalam
wadah seukuran mangkuk raksasa. Melihat itu semua, Kastor yang dengan tubuh
mungilnya dongak vertikal dengan susah payah, menatap sedu ke arah sarang itu.
Semua dilakukan dengan merapatkan ketegaran, menyiapkan diri kehilangan seorang
kawan.
Pada
tempo yang begitu lampau, selepas melarikan diri dari himpunan pohon sawit
terdekat, Mawas berkelana jauh dan begitu soliter kehidupannya. Hutan adalah
langit, dan ayunan lengan milik Mawas adalah sayap-sayap yang membantunya
terbang melewati banyak kanopi-kanopi rimba.
“Mengapa
tidak membangun tempat tinggal yang bertahan lama, seperti kawananku?” begitu
tanya Kastor di jumpa pertama.
“Aku
tak punya kawanan,” jawab Mawas dengan mengelus anaknya lembut.
Hidup
Mawas seolah dikejar-kejar kehidupan yang tidak menginginkannya. Sosok hominid
selalu mencari-carinya, “Sebenarnya, adakah sisi hutan yang sama sekali belum
dimasuki mereka?” ungkap Mawas kepada Kastor yang sedang memelihara giginya.
Kastor
tak banyak mengingat sesuatu, ia tahu diri terhadap jenis posisinya sebagai
makhluk hidup, tetapi obrolan pertama itu masih membekas sampai saat ini.
Pertanyaan dahulu kala itu, tak benar-benar ditanggapi oleh Kastor. Kini, ia
bertanya ulang perihal di mana sebenarnya rumah milik Mawas.
Kalau
berjalan, lengan-lengan itu lebih panjang ketimbang tubuhnya sendiri. Sebelum
kelopak mata tertutup rapat, Mawas sempat memimpikan langit-langit di atasnya
melalui celah-celah pepohonan yang ketat menutupi langit-langit. “Kalau aku
punya sayap, mungkin hal ini tidak perlu terjadi,” pikirnya di saat-saat
terakhir kehidupan yang tidak lagi menginginkannya.
Perih
dadanya hilang, beserta segala hal yang pernah ia ingat tentang dirinya. Ketika
berada di langit, kalau dongak lagi ke atas, akan ada lagi langit-langit. Dan
kalau sudah di langit-langit itu, silakan dongak kembali, maka
langit-langit-langit akan ada lagi.
Mawas
melewati belukar jiwa. Tidak perlu kendaraan, karena tanpa kendali sama sekali
pun, tubuhnya bergerak leluasa melintasi benua kehidupan dan kematian. Setelah
bergerak dengan kecepatan tiada tanding, dia pun tak tahu mengarah ke mana.
Pada dekorasi keberadaannya itu, Mawas berhenti di hadapan tunas raksasa.
Pucuknya tumpul, tidak runcing. Mawas dongak ke atas, mengawasi permukaan atas.
Mawas menunduk ke bawah, tidak jelas ujung asal muasal tunas ini.
Seusai
semua hal tersebut, Mawas bertemu sebuah pengejawantahan hitam dan besar.
“Memang
kuakui, kamu memang yang paling cerdas di antara kita semua,” ungkap si
jantan hitam dengan punggung keperakan itu, “tetapi kalau di sini,
rasanya sudah kurang berguna.” Wajahnya teguh dan cukup aneh ketika Mawas
menyaksikan senyuman selamat datang itu.
“Kamu
ingin terbang? Sudah, sudah, tidak perlu kalau di sini,” ucapnya lantas
melanjutkan,”ada alasan kenapa di sana, tidak ada pemilik sayap seukuran
kita ini.”
Selagi
mengoleksi kembali ingatan terakhirnya, sosok besar dan hitam di hadapannya,
berkenaan dengan ramah tamah pertama itu, Mawas dijabat tangannya oleh gorila
tersebut.
“Harambe,”
pungkasnya memperkenalkan diri.
“Mawas,”
balas orang utan itu.
*
Kalau
ingin berkunjung, Mawas mendekati anak sungai dan riak-riak tubuhnya dapat
dirasakan Kastor beserta kawanannya itu. Kalau sudah begitu, Kastor muncul ke
permukaan dan membelakangi gundukan batang pohon itu dan menyambut kehadiran
Mawas. Kalau lengah sedikit saja, Mawas akan menyelam dengan sendirinya dan
mengagetkan seisi penghuni bendungan itu, ini terjadi ketika Mawas telah lama
disokong kemampuan renangnya.
Manusia
seringkali terganggu melihat sosok Mawas yang bersembunyi di kanopi, dan
keberadaannya yang redup itu cukup menakutkan dan ditanggapi dengan ditariknya
pelatuk-pelatuk, serta moncong senapan itu yang selalu diarahkan kepadanya.
Mawas
bukan pelari ulung, tidak pula gesit terbang dengan lengannya lewat dahan-dahan
rimba. Hal yang dapat dilakukan untuk lenyap dari buruan, hanyalah menutup diri
dan sekujur keberadaannya dalam kerimbaan.
Sekali
waktu, Mawas menggoda sosok hominid dan benar dicecar teror setelahnya. Melalui
sebuah upaya heroik untuk menyelamatkan diri, Mawas berakhir di anak sungai dan
gerombolan Kastor memiliki ide cemerlang untuk menyembunyikannya di kumpulan
kayu-kayu itu.
“Dia
sedang menyisir area ini, sebentar lagi berakhir di ujung anak sungai!” sergap
Mawas seketika kepada kawanan Kastor.
“Ikut
kami menyelam, di dalam bendungan cukup luas,” pungkas Kastor.
“Aku
tidak mahir berenang!”
“Kamu
ingin mati tenggelam atau tertembak?!” balas Kastor dengan tubuh mungilnya dan
melanjutkan, “tidak, tidak, mari kami tuntun bersama-sama.”
Tubuh
Mawas yang semula kepayahan ditelan air sungai, lalu didorong dan disokong oleh
kawanan Kastor serupa himpunan pelampung. Anak jantannya yang mungil itu,
dipeluknya erat sampai naik ke permukaan, lalu langit-langit terdiri dari
susunan kayu-kayu kokoh, dan itulah keadaan di dalam bendungan.
Kastor
jelas-jelas menangkap ngilu yang dirasakan Mawas. Ada beberapa bagian tubuh
yang berwarna tidak semestinya. Beberapa kulit orang utan itu tergores benda
yang bertamu ke tubuhnya dengan kecepatan tinggi.
“Satu
peluru tidak akan mematikanku, Kastor, jangan khawatir,” pungkas Mawas yang
mengerti kegusaran yang ditunjukkan Kastor.
“Satu
peluru, kalau mereka sepertimu. Kalau mereka seperti kami ini, yang jumlahnya
gerombolan, mati kamu dikeroyok kawanan manusia,” balas Kastor.
Mawas
telah lama diincar sosok hominid. Menjadi hama untuk sekelompok orang, dan
penyelamat untuk kepentingan seluas hutan hujan. Ini hanya perihal sudut
pandang mana yang menjengkelkan dan mana yang menentramkan. Sosok hominid itu,
satu dari keseluruhan kawanan manusia, tidak lekas kepuasannya kalau tidak
melihat bangkai Mawas tergeletak.
“Kapan-kapan,
kunjungilah kediamanku!” ungkap Mawas semringah, binar matanya menjelajah ke
sudut-sudut bendungan, “tapi sarangku tidak sehebat milikmu ini.”
“Kami,
bukan aku saja. Terima kasih pujiannya,” ucap Kastor dan berbicara lagi, “lagi
pula, tempatmu terlalu tinggi dan aku tidak bisa terbang sepertimu.”
“Tenang
saja, nanti akan aku sokong!” pungkas orang utan itu yang kini tidak mampu
menyembunyikan kekaguman terhadap tata letak dinding-dinding bendungan.
*
Tunas
yang raksasa itu, kalau dijejali dengan perhatian saksama, dapat terlihat
perlahan ukurannya semakin mengembang. Di mana pun itu, tunas hanya bagian
kecilnya dari bakal calon pohon yang tumbuh. Dengan besar ukuran tunasnya saja,
perlu disadari kalau pohonnya akan jutaan tahun kambium. Tunas itu, menjadi
semacam suar untuk segala rupa kehidupan sebelumnya.
Di
antara lalu lalang pertemuan itu, di antara yang disambut dan yang menyambut,
Mawas dan Harambe saling menyapa di haribaan suar kehidupan.
Sepanjang
pertemuan, Harambe mencoba jenaka. Segala sesuatu yang diutarakan Mawas,
sekecil apa pun itu, direspons dengan tawa renyah. Bentuk wajahnya yang lobak
gemuk di sisi kiri-tengah-kanan itu, beserta sisi atas-menuju-belakang yang
serupa punuk, memberi kesan garang dan ingin selalu murka. Dengan segala hal
tentang Harambe tersebut, Mawas makin terisap dengan kehadiran Harambe.
“Apa
masih ada perjalanan selanjutnya untukku?” tanya Mawas.
“Aku
masih ingin melihat tunas itu lebih lama,” jawab Harambe.
Setelah
memperhatikan keadaan tunas dengan saksama, lalu perlakuan saksama itu
dialihkan ke wajah Harambe, Mawas dapat melihat dekorasi wajahnya dengan
teramat jelas, “Pernahkah kamu melihat diri di hadapan cermin?”
“Tidak,”
singkat saja dibalas Harambe.
“Hidungmu,
membentuk simbol cinta,” pungkas Mawas. Ada sipu yang muncul dari diri Harambe
berkenaan dengan pengutaraan apa adanya tersebut. Setelah melakukan pertemuan
yang sebelumnya, Harambe diberikan pertemuan selanjutnya. Rantai pertemuan ini
terus berlanjut sampai estafet terakhir kehidupan.
“Terima
kasih,” ucap Harambe beserta sipu dan garang yang bawaan lahir.
“Itu
bukan pujian,” balas Mawas.
“Aku
menganggapnya pujian,” ucap Harambe kemudian.
“Aku
anggap itu ucapan biasa,” balas Mawas kemudian.
“Baiklah,”
ucap Harambe dan dilanjutkan, “anggap saja ucapan biasa itu pujian.”
“Baiklah…”
balas Mawas dan melanjutkan setelah beberapa saat, “punggungmu itu berwarna keperakan.”
“Benar
sekali, itu julukanku,” ucap Harambe.
“Mengapa
tidak mengucapkan ‘terima kasih’?” balas Mawas.
“Untuk
apa?”
“Tadi
itu pujian untukmu.”
“Aku
tidak menganggapnya pujian, hanya ucapan biasa.”
“Baiklah,”
balas Mawas dan melanjutkan, “anggap saja pujian itu ucapan biasa.”
Menerka
niat sungguhlah sulit. Terlebih kalau tidak diperbincangkan. Menerka niat tanpa
dapat membincangkannya terlebih dahulu, amatlah mustahil, hal ini merupakan
asal muasal mengapa Harambe berakhir di tempat tersebut. Mereka berdua,
berkelana menjelajah ingatan terakhir dan membincangkan hal tersebut
bersama-sama.
“Jadi,
kita berdua sama-sama tertembak,” pungkas Mawas.
“Betul.”
“Anak
yang terjatuh di kubangan air itu,” ucap Mawas dan dilanjutkan dengan pertanyaan
bernada desakan, “apa sebenarnya niatmu, Harambe?”
Dengan
semakin banyaknya pertemuan di sekeliling mereka, tunas dengan pasti dan
perlahan, menjadi mengembang. Waktu berlalu di haribaan tunas kehidupan dengan
begitu cepat. Apa apa saja perbincangan Mawas dan Harambe, adalah waktu yang
cukup untuk menumbuhkan flensa dari si jantan kesayangan Mawas.
Harambe
teringat di pertemuan sebelumnya bersama Amang. Pertemuan di haribaan yang
sama. Karena cara Mawas melihat Harambe, adalah cara yang sama oleh Harambe
dalam melihat Amang.
Ada
berang yang coba disembunyikan Mawas setelah mendengar Harambe mengutarakan
ingatan terakhirnya.
“Apa
yang menjadi niatku, sudah tidak penting,” ungkap Harambe.
“Manusia
menembakmu! Manusia yang menjadi bagian hidupmu di kebun binatang tersebut!”
“Betul,
tetapi, itu telah lama berlalu, Mawas,” ucap Harambe.
“Setiap
jamnya, manusia berbondong-bondong lahir di dunia, mereka beranak pinak hingga
jumlahnya milyaran! Hidupmu yang nyaris punah itu lebih berharga ketimbang
seekor manusia!”
“Jenismu
memang cerdas,” puji Harambe lantas menambahkan, “tidak betul, nyawaku tidak
lebih berharga ketimbang anak itu.
“Bahkan
kamu sama sekali tidak melukai anak itu! Lantas dibunuhnya saja kamu secara
mendadak! Kamu benar tidak ada niatan membunuh, bukan begitu, Harambe!?”
“Entahlah.”
Pembicaraan
ini menjadi semakin jatuh tempo. Harambe dapat bertemu dengan Mawas, karena
pertemuannya dengan Amang terjadi begitu singkat, tanpa sengit dalam
berbincang. Amang, yang lehernya itu mekar ketika berbincang, memiliki poni
yang juga bermekaran ke sisi kiri dan kanan, serupa membelah jalur tengah
kepalanya.
*
Kastor
berkunjung bersama beberapa kawan ke kanopi milik Mawas. Terduduk saja
berang-berang itu, melihat ketinggian yang begitu jauh. Kalau ingin ke bendungan
milik Kastor, perlu kemampuan berenang. Kalau ingin ke kanopi milik Mawas,
perlu kemampuan terbang.
“Namun,
belum selesai kurakit,” ungkap Mawas.
“Tidak
apa. Bisakah aku disokong menuju atas sana?” pinta Kastor.
Lantas,
terbanglah Mawas dengan ayunan lengannya yang sudah serupa sayap itu. Kastor,
dengan tubuh mungilnya, dirangkul erat oleh Mawas untuk naik ke atas sangkarnya
yang mangkuk raksasa itu.
Seusai
menjejaki permukaannya yang penuh dedaunan itu, “Yang benar saja, ini terlalu
tinggi,” pungkas Kastor.
“Tempat
yang tinggi, supaya aman dari pemburu,” ucap Mawas.
Setelah
puas menatap pemandangan dari atas, Kastor turun bersama Mawas ke permukaan
bawah pohon. Mereka saling bincang, saling menghaturkan keberadaannya di
langit-langit rimba.
Apa
daya tak dapat dihindari, meskipun sangkar kanopi telah dibikin melebihi tinggi
langit-langit, sosok hominid akan selalu menemui Mawas. Telah lama dilacak
keberadaan orang utan itu, yang dianggap mengganggu dan memiliki anak
menggemaskan yang dirasa dapat diambil sebagai alat berniaga.
Dengan
satu letupan yang memekakkan telinga, Mawas tumbang beserta segala hal tentang
keberadaan orang utan itu. Satu satwa menjadi tumbal, di haribaan habitatnya
sendiri.
Semua
hal terjadi begitu cepat, berang tak dapat dihindari oleh kawanan berang-berang
tersebut. Pemburu tersebut, dimangsa saja oleh kawanan Kastor.
Nyanyian
kematian Mawas diayunkan oleh lolongan dari kawanan siamang. Mereka berayun
cepat, terasa seperti terbang di sepanjang dahan-dahan rimba. Anak jantan masih
terduduk di samping jasad ibunya. Kastor, di tengah-tengah duka itu, memutuskan
untuk mengubur tubuh Mawas.
Garis
pertemuan kawanan Kastor terjadi dengan kawanan siamang. Sepanjang proses
berkabung, gerombolan lolongan tersebut sengaja dipersembahkan untuk kepergian
Mawas. Dari kejauhan, siamang tersebut mengelilingi kepergian Mawas, salah satu
dari kaumnya.
Anak
sekecil itu, si jantan tanpa flensa, mencoba memahami kehidupan yang belum
tuntas diajarkan oleh Mawas. Seharusnya, masih ada beberapa momen kehidupan
bersama Mawas. Rasanya baru tadi saja, diajarkan oleh induknya mengorek
semut-semut kecil dengan dahan berukuran lidi untuk bekal makanan.
Si
jantan itu, menatap kejauhan rimba lantas menuju dirinya sendiri. Berhari-hari
dihantam kehidupan hutan, mencerca kanopi yang selalu berlubang akibat tak
tuntas dirakit. Semua hal tentang kehidupan, belum tuntas diajarkan oleh Mawas
kepadanya.
Hanya
karena sokongan Kastor dan kehidupan yang menghendaki, lama kelamaan, flensa di
dua sisi itu makin tumbuh dan membesar beserta kehidupannya untuk menjelajah.
*
“Tunas
itu berbisik kepadaku,” ungkap Amang kepada Harambe. Tabung lehernya kembali
mengecil.
“Apa
katanya?” tanya Harambe.
“Waktu
bertemu kita sudah hampir habis. Aku akan meninggalkanmu di sini, sedangkan kamu
akan melakukan pertemuan di kemudian nanti.”
“Siapa?”
tanya Harambe lagi.
“Entahlah,
aku juga tak tahu bahwa akan bertemu denganmu.”
Pada
estafet ini, Harambe melakukan pertemuan dengan Amang. Ada sesuatu yang
disimpan oleh Amang untuk diserahkan kepada Harambe di akhir pertemuan. Itu
adalah perihal pertemuan-pertemuan dan tali yang saling tersambung di antara
benang-benang kehidupan dan kematian. Di antara itu semua, pertemuan oleh Amang
terjadi dengan perbincangan menarik dan amat sayang kalau terlewat oleh
Harambe.
“Di
pertemuanku sebelumnya, dia berbicara bahwa di pertemuan sebelum-sebelumnya
lagi, ada suatu pertemuan dengan Dodo,” pungkas Amang kepada Harambe.
Harambe
menyimak baik-baik ucapan Amang itu, bersama banyak jiwa yang terkandung di
sekeliling tunas raksasa tempat mereka melakukan rendezvous.
“Dari
yang kudapat, dia adalah yang terakhir dari kawanannya, setelah itu,
keberadaannya akan sama sekali punah.
“Kalau
kamu berakhir dengan tembakan, dia berakhir dengan cukup konyol. Bahwa dia
dimangsa oleh pelaut-pelaut dengan sukarela. Lebih tepatnya, karena terlalu
ramah, jadilah termakan jebakan.”
“Memang
beginilah kita, harus selalu waspada dan selalu dalam keadaan menyerang
dan bertahan,” balas Harambe.
“Apakah
ini menjadi semacam pembelaan untukmu?” tanya Amang beserta senyuman dengan
niat menggoda.
“Mungkin.
Namun, pada akhirnya akan sama saja, betul? Ada ataupun tidak, aku dan… siapa
tadi namanya?”
“Dodo.”
“Iya,
akhir cerita akan tetap sama, berakhir di sini.”
“Tetapi,
tetap saja, seharusnya kita bisa mendapat akhir dengan cara yang tidak
konyol,” pungkas Amang.
Setelah
melalui banyak kata-kata, Amang pamit dan berakhir saja pertemuan ini. Harambe
menatap kejauhan tunas, sembari menunggu siapa pertemuan selanjutnya yang akan
ditemuinya.
*
“Memang
seharusnya kita melakukan perlawanan, aku senang melihat kematian orang itu di
akhir kematianku,” pungkas Mawas kepada Harambe.
“Sejauh
ini, Mawas, apa yang dilakukan orang itu terhadapku, sama saja rasanya terhadap
apa yang Kastor lakukan kepada orang itu,” ucap Harambe dan melanjutkan, “kita
sama-sama mencoba melindungi anak kesayangan masing-masing.”
Sulit
untuk Mawas mencerna itu semua. Namun, dengan wajah garang tanpa berang sama
sekali, rasa-rasanya berang milik Mawas menjadi teduh setelah badai hutan
hujan.
“Mawas,
kurasa, tunas itu berbisik sesuatu kepadaku,” ungkap gorila itu dan
melanjutkan, “aku ingin menceritakan sesuatu, tentang pertemuan-pertemuan yang
telah lawas.”
Tidak
ada burung beterbangan yang seukuran gajah. Namun, tidak semua burung dapat
terbang. Jiwa yang masih berang, perlahan tunduk dengan ketenangan sikap.
Segala sesuatu akan berakhir, dan yang bernilai dari itu semua, adalah
perjuangan yang terjadi di tengah-tengah semua itu, atau setidaknya, bukan di
garis akhir segala sesuatu.
Rantai
pertemuan itu; rantai rendezvous; tak terputus sampai keterakhiran. Menuju
tunas yang akan pohon. Tempat tinggal jiwa-jiwa yang telah genap.
“Baiklah,
aku harus segera meninggalkanmu di sini,” ucap Harambe.
“Jadi,
aku hanya tinggal menunggu?” tanya Mawas.
“Betul.
Saat ini, mungkin flensa anakmu telah tumbuh,” ucap Harambe sebagai kalimat
akhirnya. Gorila itu diejawantah oleh nihil keberadaan. Mawas bersiap diri
dengan pertemuan selanjutnya. Estafet tidak terputus tersebut, hendak berlanjut
padanya.
Terbanglah
dirinya itu, melewati belukar jiwa. Tanpa kendaraan pun, dirinya yang mungil
itu dapat bergerak leluasa melintasi benua kehidupan dan kematian. Kecepatannya
tiada tanding, dan mengarah pada tunas raksasa itu. Pada dekorasi keberadaannya,
sesuatu di hadapannya tampak seperti kanopi rimba, tempat kawannya dahulu
tinggal. Pucuknya tumpul dan tidak runcing. Ketika dongak vertikal ke atas,
permukaannya makin tak terlihat, dan ketika tunduk ke bawah, ujung dari asal
muasalnya makin muskil kasat mata.
Seusai
semua hal tersebut, Kastor bertemu sebuah pengejawantahan merah kecokelatan,
dengan lengan-lengan panjangnya yang sudah seperti sayap.
“Bertemu
lagi kita,” ucap Mawas semringah terhadap tubuh mungilnya, “berang-berang
favoritku.”
[1]Flensa
merupakan bantalan pipi besar yang dimiliki oleh orang utan jantan dewasa.